Jangan
Ratapi Rupiah
Budi Hikmat ; Chief Economist and Director for Investor
Relation
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Maret 2015
“Fear
today, forget tomorrow.“
(Ordinary World, Duran-Duran 1993)
EKONOM selalu punya jawaban
luwes untuk pertanyaan sampai kapan rupiah melemah? Jawaban baku ialah hingga
terjadi penurunan permintaan dolar dan peningkatan permintaan rupiah. Jawaban
pragmatis itu memang terkait dengan fenomena penguatan dolar global, seperti
tecermin pada kejatuhan harga emas. Penguatan dolar jelas merupakan faktor
eksternal yang berada di luar kendali pemerintah kita. Sebaiknya
kita tidak perlu menangisi pelemahan rupiah.
Namun, ratapilah mengapa kita
belum memiliki kapasitas untuk mengapitalisasi penguatan ekonomi AS dan
dolar. Untuk itulah, kita harus segera meningkatkan daya saing yang
sebetulnya sudah terangkat oleh pelemahan rupiah.
Seperti terlihat pada
peraga, selama setahun terakhir indeks dolar global DXY sudah menguat sebesar
25,5%. Indeks tersebut dibentuk berdasarkan mata uang euro, yen JPY, pound
GBP, dolar Kanada CAD, krona Swedia, dan frank Swiss CHF.Terlihat mata uang
pembentuk DXY tersebut mengalami pelemahan tajam jika dibandingkan dengan
tahun lalu.
Pengalaman menunjukkan
penguatan dolar sering terjadi ketika ekonomi AS kuat sekali, seperti
sekarang, dan lemah sekali (sewaktu krisis 2008). Keputusan the Fed
mengakhiri quantitative easing ditengarai bakal mengurangi pasokan dolar.
Sementara itu, likuiditas euro dan yen bakal melonjak karena kedua kawasan
itu terus melakukan quantitative easing.
Harus disampaikan bahwa kinerja rupiah tidak
terlalu buruk bila dibandingkan dengan mata uang negara berkembang. Tengok
saja lira Brasil yang sudah terpangkas sekitar 28%. Ringgit Malaysia melemah
5,4% sepanjang tahun ini setelah bank sentralnya melepas sekitar US$20 miliar
dalam waktu sebulan terakhir. Cadangan devisa Malaysia yang sekitar US$101
miliar sudah lebih rendah ketimbang Indonesia yang mencapai US$115 miliar.
Demikian juga yang dialami Rusia selama setahun terakhir, cadangan devisanya
melorot US$122 miliar untuk menstabilkan rubel yang terpuruk 41% pada periode
yang sama.
Perbaikan
neraca berjalan
Lalu apa yang tengah
dilakukan pemerintah untuk mengatasi gejolak nilai tukar rupiah yang sudah
melewati batas Rp13.000 per dolar?
Bersama sejumlah analis
senior, pekan lalu saya menghadiri undangan bertemu dengan Menteri Keuangan
dan Bank Indonesia.Dengan belajar dari pengalaman Malaysia dan Rusia, menurut
BI tidak ada bank sentral negara berkembang yang akan `mati-matian' merespons
tren penguatan dolar dengan melakukan intervensi melepas cadangan devisa.
Langkah itu kurang efektif dan malah merugikan negara di kemudian hari.
Untuk itulah BI dan
pemerintah bersepakat untuk fokus pada pengendalian neraca berjalan sebagai
upaya mengendalikan permintaan terhadap valas. Menerapkan kebijakan
struktural yang kredibel dengan mengendalikan besaran dan kualitas defisit
neraca berjalan ini menjadi penting dalam mencermati kejatuhan mata uang
Turki. Defisit neraca berjalan negara ini sekitar 5% GDP atau dua kali
Indonesia.
Setelah dinilai berhasil
mengendalikan defisit neraca minyak dengan memangkas subsidi BBM, pemerintah
bergerak dengan meningkatkan kinerja neraca perdagangan nonmigas, neraca
jasa, dan neraca pendapatan. Kebijakan yang dimaksud terdiri dari:
• Insentif pajak mulai
April 2015 bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia yang tidak
mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaan induk di negara asal.
Kebijakan ini harus dilaksanakan segera mengingat arus repratriasi keuntungan
biasa meningkat pada triwulan kedua yang tahun ini bisa bersesuaian dengan
risiko kenaikan bunga the Fed.
• Insentif pajak bagi
perusahaan Indonesia yang produknya minimal 30% untuk pasar ekspor.
• Penyelesaian peraturan
pemerintah untuk galangan kapal nasional yang nantinya tidak dipungut PPN.
• Mendorong BUMN untuk
melakukan reasuransi untuk memperbaiki neraca keuangan
• Pengetatan produk impor
dengan pengenaan bea antidumping dengan tindakan pengamanan sementara.
• Meningkatkan kunjungan
turis asing dengan membebaskan visa untuk negara yang berpotensi mengirim
lebih banyak turis.
• Menambah penggunaan
biofuel sampai dengan 20% untuk menghemat devisa impor solar.
AS
juga terkena dampak
Ada indikasi bahwa
penguatan dolar yang pesat mulai menggerogoti daya saing AS. Bloomberg pekan
lalu melaporkan terjadi penurunan Bloomberg Surprise Index untuk AS
(ECSURPUS) hingga mendekati kondisi 2009. Pada dasarnya penurunan ECSURPUS
itu menunjukkan realisasi penjualan barang eceran dan otomotif tidak sebesar
yang diproyeksikan.
Peluang penguatan rupiah
terbuka mengingat Indonesia bersama India dianggap dua negara berkembang yang
memiliki potensi pertumbuhan terbilang tinggi dan pengelolaan makroekonomi
yang hati-hati. Kedua negara ini diyakini menjadi tujuan relokasi investasi
yang semula banyak ditempatkan di Rusia dan Brasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar