Defisit
Moral Bernegara
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 06 Maret 2015
Rabu kemarin saya danYudi Latif diundang diskusi di kantor
Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) berbicara tentang Pancasila dan
Kebangsaan. Tanpa ada kompromi sebelumnya, ternyata kami berbicara dengan
kesimpulan yang sama.
Bahwa Pancasila sebagai ideologi bernegara, itu sudah
selesai. Yang memprihatinkan adalah justru nilai-nilai Pancasila yang pernah
tumbuh dalam masyarakat dan menjadi panduan serta spirit para generasi awal
Republik ini semakin terkikis. Nilai-nilai kemanusiaan yang berketuhanan, berkeadilan,
dan berorientasi kerakyatan semakin menipis, ditinggalkan dan dikhianati.
Kita mengalami defisit moral-ideologis dalam berbangsa dan
bernegara. Tabungan moral warisan para pendahulu semakin menipis, sementara
kita tidak melakukan reinvestasi moral untuk kita wariskan pada generasi
penerus. Jika di sana terdapat sekian banyak teori kepemimpinan, salah satu
teori yang disepakati bersama adalah memimpinlah dengan keteladanan.
Pemimpin yang memberikan suri teladan ini semakin sulit
ditemukan. Para pendiri Republik ini adalah para politisi dan sekaligus juga
negarawan. Mereka biasa berbeda dan bertengkar tentang pandangan politiknya.
Namun, etika politik tetap dijaga dan kepentingan bangsa-negara di atas
kepentingan serta loyalitas politik golongan. Sekarang ini yang terjadi
sebaliknya.
Orang rela mengorbankan kepentingan rakyat dan negara demi
kepentingan diri dan kelompoknya. Fungsi hukum yang sedianya untuk menjaga
keadilan dan melindungi warga agar tidak dizalimi orang lain, kadang kala
yang terjadi adalah mempermainkan hukum, dengan otoritas dan jabatan yang
dimiliki, untuk membenarkan yang salah semata karena kepentingannya
terganggu.
Yang menyedihkan, defisit moral politik ini juga melanda
lingkungan parpol yang merupakan tulang punggung dan aktor demokrasi serta
pemasok politisi serta pejabat negara. Banyak kader parpol yang masuk penjara
karena melakukan tindak pidana korupsi. Lalu parpol juga terjangkit
perpecahan antarelitenya.
Setiap ada musyawarah atau kongres nasional untuk
pergantian pimpinan, selalu beredar uang untuk membeli loyalitas dan membeli
suara dukungan. Ini realitas politik yang pahit dilihat dan diterima. Ketika
idealisme dan etika politik tak lagi tumbuh di lingkungan parpol,
kelanjutannya panggung negara juga terkenaimbasnya karenadalamerademokrasi
yang namanya pemerintah adalah panggung bagi wakilwakil parpol.
Masyarakat sekarang ini merasa semakin sulit menunjuk
politisi yang bisa dijadikan suri teladan baik secara moral maupun
intelektual. Dahulu para aktivis dan pejuang politik adalah juga pencinta
ilmu. Mereka rata-rata pencinta buku sehingga terlihat keluasan wawasannya.
Tentu saja sekarang masih ada yang memiliki kualitas seperti itu. Namun
terasa semakin langka.
Yang menonjol sosok politisi adalah juga pemain bisnis dan
pelobi. Ketika seseorang masuk ranah politik praktis, yang ada di benaknya
adalah kalkulasi untung-rugi secara ekonomi. Seorang politisi adalah juga
seorang pelobi yang berlangsung di belakang layar. Yang kemudian keluar ke
publik hanyalah beberapa pernyataan singkat tanpa wawasan intelektual dan
kenegarawanan, bahkan sering membingungkan rakyat.
Belakangan ini terjadi dinamika dan akrobat politik yang
membuat rakyat bingung, kecewa, dan lelah. Prapemilu massa terbagi menjadi
dua kelompok pendukung, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH). Tetapi ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan Budi
Gunawan menjadi kapolri, suara KMP mendukung kebijakan Jokowi, sementara
suara KIH sangat kritis pada Jokowi.
Padahal, Jokowi jadi presiden diusung oleh KIH. Pelajaran
dan tontonan politik apa yang hendak disampaikan pada rakyat? Yang juga
menyedihkan adalah lembaga KPK yang masih mendapat dukungan tertinggi rakyat,
justru mengalami pingsan di saat Jokowi pilihan rakyat menjadi presiden.
Kalau Presiden Jokowi tidak segera mengambil kebijakan
tegas prorakyat, kepercayaan rakyat pada pemerintah pasti akan menurun. Jadi,
bermula dari defisit moral berbangsa dan bernegara, eksesnya bisa ke mana-mana.
Bangsa ini akan kehilangan momentum untuk bangkit dan maju. Kekompakan gerak
bersama antara pemerintah dan rakyat tidak terjadi. Kriminalitas dan
radikalisme akan muncul di mana-mana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar