Besaran
Bantuan Partai Politik
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
19 Maret 2015
Demi
kemandirian partai politik, bantuan keuangan dari negara perlu ditingkatkan.
Namun, jika langsung digelontor Rp 1 triliun, partai justru akan terperosok.
Oleh karena itu, diperlukan metode tepat untuk menentukan besaran bantuan
keuangan tersebut.
Undang-Undang
Partai Politik (UU No 2/2008) dan perubahannya (UU No 2/2011) menyebut tiga
sumber keuangan partai politik: iuran anggota, sumbangan individu dan badan
usaha, serta bantuan negara. Bantuan negara berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) untuk partai tingkat nasional dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk partai tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
Undang-undang
menentukan kriteria partai yang berhak mendapat bantuan, yaitu partai yang
memiliki kursi di DPR/DPRD. Mereka mendapatkan bantuan sesuai dengan
perolehan suara masing-masing. Sampai di sini UU No 2/2008 juncto UU No
2/2011 tidak menyebut berapa jumlah bantuan negara dan bagaimana metode
penghitungannya. Pengaturan soal ini diserahkan kepada peraturan pemerintah.
Peraturan
Pemerintah tentang Bantuan Keuangan Partai Politik (PP No 5/2009) dan
perubahannya (PP No 83/2012) merumuskan formula untuk menentukan besaran
bantuan. Ini bunyinya: ”Besaran bantuan
per suara peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran APBN/APBD periode
sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi
DPR/DPRD periode sebelumnya”.
Atas
dasar formula itu, sembilan partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2009
mendapat bantuan Rp 108 per suara; sedangkan nilai per suara partai peraih
kursi DPRD berbeda-beda untuk setiap daerah. Total uang yang diterima
sembilan partai peraih kursi DPR Rp 9,2 miliar. Bantuan Rp 108 per suara itu
jika dikonversikan ke 10 partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2014 mencapai
Rp 13,2 miliar (Kompas, 10/3/2015).
Kebutuhan partai
Para
pengurus partai mengeluh, bantuan sebesar itu sangat kecil jika dibandingkan
dengan kebutuhan partai. Namun, seberapa kecilnya bantuan itu, tidak pernah
jelas. Sebab, partai juga tidak pernah memublikasikan laporan keuangan
mereka. Jika pun ada, angkanya diragukan karena laporan keuangan itu tak
disertai bukti-bukti transaksi.
Sebagai
perbandingan, Selandia Baru sama sekali tidak memberi bantuan partai;
sebaliknya Uzbekistan, negara menangung semua pengeluaran partai. Inggris,
Italia, dan Australia, negara membantu 30 persen kebutuhan partai; lalu
Austria, Swedia, dan Meksiko, negara membantu 70 persen kebutuhan partai.
Sementara Perancis, Denmark, dan Jepang, negara menyumbang 50 persen
kebutuhan partai.
Jadi,
pengetahuan tentang berapa kebutuhan dana partai per tahun sangat penting
agar negara bisa membuat kebijakan tepat untuk menentukan jumlah bantuan.
Selama hal itu tidak diketahui, selama itu juga kebijakan penetapan jumlah
bantuan hanya menebak-nebak, sehingga berapa pun yang ditetapkan akan selalu
dipersoalkan.
Mengacu
pada hasil penelitian Veri Junaidi dkk (Anomali Keuangan Partai Politik,
Perludem dan Kemitraan, 2011), Partai Amanat Nasional (PAN) perlu dana Rp
52,1 miliar per tahun. Rinciannya: operasional sekretariat Rp 1,4 miliar,
perjalanan dinas Rp 8,2 miliar, konsolidasi organisasi Rp 8,2 miliar,
pendidikan politik dan kaderisasi Rp 33,7 miliar, dan unjuk publik Rp 6,7
miliar. Dengan 6.273.462 suara yang diraih pada Pemilu 2009, PAN menerima
bantuan Rp 677 juta per tahun. Jika dibandingkan, bantuan negara yang
diterima PAN per tahun sesungguhnya hanya 1,32 persen dari total kebutuhan
partai per tahun.
Angka
1,32 persen tentu juga berlaku untuk partai lain. Sementara angka ini yang
bisa dipegang, sebab tidak ada dokumen atau hasil penelitian lain yang
menunjukkan total kebutuhan partai per tahun. Yang jelas, angka itu memang
mengonfirmasi keluhan para pengurus partai politik bahwa bantuan negara
selama ini memang sangat kecil.
Peningkatan bertahap
Jika
memang bantuan keuangan partai selama ini hanya 1,32 persen dari total
kebutuhan per tahun, menaikkan jumlah bantuan memang merupakan tuntutan
logis. Pertanyaannya adalah sampai seberapa banyak negara akan membantu
partai dari total dana yang dibutuhkan per tahun dan bagaimana mencapainya?
Sebagai
kebijakan awal saya usulkan agar bantuan negara ke partai politik ditetapkan
maksimal 30 persen dari total kebutuhan partai. Angka ini bisa dievaluasi
setiap lima tahun, bisa dinaikkan lagi, atau malah diturunkan, sesuai kinerja
partai.
Namun,
cara manaikkannya tidak bisa langsung 30 persen, tetapi bertahap: 2015 (5
persen), 2016 (10 persen), 2017 (15 persen), 2018 (20 persen), dan 2019 (30
persen). Sepuluh partai yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2014 mestinya
menerima Rp 13,2 miliar atau 1,32 persen kebutuhan partai, sebaiknya tahun
2015 ini dinaikkan menjadi Rp 66 miliar. Selanjutnya, 2016 (Rp 132 miliar),
2017 (Rp 198 miliar), 2018 (Rp 264 miliar), dan 2019 (Rp 398 miliar).
Kenaikan
harus dilakukan bertahap demi menunggu kesiapan partai dalam mengelola dana,
sekaligus melatih para pengurus partai untuk disiplin membuat laporan
penggunaan dana sesuai tuntutan audit. Jika bantuan langsung dinaikkan 30
persen, partai tak hanya kesulitan mengelola, tetapi para pengurusnya juga
bisa terjebak korupsi.
Ubah rumus
Untuk
bisa menaikkan bantuan keuangan partai politik secara bertahap, PP No 5/2009
juncto PP No 83/2012 harus diubah. Sebab, PP inilah yang melahirkan formula
sehingga menghasilkan nilai Rp 108 per suara. Formula yang terkesan sangat ”matematis”
ini sebetulnya bermasalah, khususnya jika digunakan untuk menghitung bantuan
partai dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota.
Selain
nilainya tidak merata (bergantung pada besaran sumbangan periode sebelumnya),
juga tidak sesuai dengan postur APBD masing-masing daerah. Penetapan harga
per suara lebih baik dikaitkan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang
sudah lazim.
Di
beberapa negara, penetapan harga suara menggunakan mekanisme upah minimal
sebagai tolok ukur. Karena upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan
berbeda di setiap daerah, maka harga suara juga bisa berubah setiap tahun dan
berbeda di setiap daerah.
Misalnya
ditetapkan harga suara adalah x persen dari upah minimal di daerah yang
bersangkutan. Kalau suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi dari daerah
lain, biasanya anggaran daerah tersebut juga akan lebih besar dari anggaran
daerah lain. Dengan demikian, harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai
dengan besaran upah minimal yang juga mencerminkan besaran anggaran daerah
masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar