Alarm
Nasi Aking
Sutia Budi ; Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta
|
REPUBLIKA,
17 Maret 2015
Apa
kabar, Pak Presiden? Apa kabar, Kabinet Kerja? Kini sebagian rakyatmu telah
kembali lagi ke nasi aking dan tiwul. Nasi aking adalah nasi sisa yang
dijemur sampai kering lalu dikukus kembali untuk dapat dihidangkan.
Guna
menambah selera, nasi aking biasanya ditaburi garam dan kelapa. Tiwul adalah
makanan pengganti beras dari ketela atau singkong. Memilih nasi aking dan
tiwul tentu bukanlah keinginan atau sekadar mencoba makanan daur ulang.
Namun, itu dipilih karena desakan ekonomi yang menghantam. Biasanya, seiring
naiknya harga beras, harga nasi aking pun merangkak naik.
Berbagai
sumber telah mewartakan kita, daerah-daerah penghasil padi seperti Cirebon
dan Indramayu di Jawa Barat mengalami kejadian ironis. Pada Februari 2015,
sebagian warganya terpaksa mengonsumsi nasi aking. Alasannya karena ketiadaan
dan mahalnya harga beras. Nenek Rahma (70 tahun) dan tetangganya di Dusun
Jagalan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, juga terpaksa mengonsumsi
nasi aking. Nenek Samilah (80), warga Desa Karangwungu, Kecamatan
Karanggeneng, Kabupaten Lamongan, sudah tak mampu lagi membeli beras dan nasi
akinglah menjadi pilihan yang tak bisa ditawar.
Sebagian
warga Desa Purwo Asri, Kota Metro, Lampung, memilih tiwul sebagai pengganti
nasi. Makanan alternatif itu dipilih karena sulitnya memenuhi beban hidup. Di
Ibu Kota, sekitar 30 warga miskin di Jakarta Utara memilih nasi aking karena
tak kuat lagi membeli beras. Mereka terpaksa mencari nasi bekas sisa karyawan
Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Cilincing. Tragis memang, tapi
itulah pilihan yang harus diambil demi bertahan hidup.
Melalui
Bulog, pemerintah telah melakukan penyaluran raskin, operasi pasar (OP),
serta penurunan satuan tugas. Hal ini dilakukan agar distribusi beras sampai
ke sasaran serta memastikan harganya sesuai. Bulog yakin dengan dua
kewenangannya sebagaimana instruksi pemerintah, yakni melakukan OP dan
penyaluran raskin, dapat menekan dan mengendalikan harga beras.
Sisi
lain, banyak pengamat tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Khudori,
misalnya, meminta Bulog agar jangan hanya mengandalkan OP dan satgas dalam
distribusi, tapi juga koordinasi dengan pedagang eceran di pasar. Ke depan,
pemerintah juga perlu meningkatkan produksi dengan melakukan efisiensi tata
produksi, membenahi administrasi perdagangan beras dalam dan luar negeri.
Pemerintah pun perlu melakukan audit gudang dan distribusi agar titik-titik
permainan harga beras dapat terlihat. Dan yang tak kalah pentingnya
kelembagaan Bulog harus diperkuat agar menjadi instrumen pemerintah dalam
perannya sebagai pengendali harga (Republika, Februari 2015).
Sayangnya,
raskin yang telah disalurkan pun buruk kualitasnya. Beras yang diterima
masyarakat sudah berwarna kuning, bau apek, dan berkutu. Masyarakat melakukan
berbagai cara agar beras bisa dikonsumsi. Maka tak heran jika masyarakat
menilai, harga raskin yang dibayarkan tak sesuai dengan kualitas beras yang
didapatkan.
Swasembada
beras tampaknya masih menjadi mimpi yang sulit diwujudkan, padahal kita
adalah negara agraris. Dalam hierarki kebutuhan, beras adalah kebutuhan
dasar. Tapi ini selalu menjadi masalah tak berkesudahan. Pemerintah kembali
gugup ketika di beberapa daerah, rakyat kembali makan nasi aking. Pemerintah
selalu melemparkan senjata "mari bersabar" ketika rakyat makan
tiwul. Sungguh, tanpa disuruh pun, rakyat Indonesia sudah sabar.
Melemahnya
nilai tukar rupiah serta menurunnya beberapa indikator ekonomi makro tentu
harus jadi perhatian serius pemerintah. Namun, lagi-lagi bagi rakyat kecil,
beras adalah kebutuhan yang tak bisa ditunda. Artinya, perhatian pemerintah
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar beras sebagai makanan pokok di atas
segalanya. Walaupun kita sadari aspek-aspek itu saling berkaitan.
Menggugah
kembali nasihat Prof Sayogyo (1977) yang dikenal dengan Garis Kemiskinan
Sajogyo. Kelompok miskin adalah rumah tangga yang mengonsumsi pangan kurang
dari nilai tukar 240 kg beras setahun per kepala di pedesaan atau 369 kg di
perkotaan. Dari sini diperoleh angka kecukupan pangan, yakni 2.172 kalori per
orang per hari. Dengan memasukkan harga beras setempat, dapat dihitung jumlah
rupiah pengeluaran sebagai indikator garis kemiskinan.
Walau
pendapat itu dikritik pada masa berikutnya, tapi Sayogyo telah mengisyaratkan
pesan kepada kita ketersediaan beras merupakan hal utama. Si kaya dan si
miskin, di kota ataupun desa, semuanya membutuhkan beras. Angka di bawah
Garis Kemiskinan Sajogyo termasuk kategori miskin. Ingat, sebagian mereka
masih mampu membeli beras. Lalu, derajat kemiskinan apa yang layak disematkan
kepada mereka yang hari ini kembali makan nasi aking setiap harinya?
Jumlah
penduduk miskin Indonesia dalam Laporan BPS pada September 2014 mencapai
27,73 juta jiwa (10,96 persen). Jumlah ini akan semakin bertambah pada
triwulan I 2015 seiring naiknya harga beras. Apalagi, Garis Kemiskinan yang
digunakan pada September 2014 hanya Rp 296.681 per kapita per bulan untuk
daerah perdesaan dan Rp 326.853 untuk daerah perkotaan.
Penganekaragaman
pangan tentu menjadi agenda penting. Demikian halnya dengan kampanye pola
konsumsi gizi seimbang dengan mengurangi porsi karbohidrat (beras). Namun
sekali lagi, peradaban pangan kita adalah beras, nasi adalah identitas Indonesia,
dan pijakan peradaban kita adalah pertanian. Maka kebutuhan pokok rakyat yang
sulit ditawar tidak lain adalah beras.
Nasi
aking adalah alarm bagi Indonesia. Kehadirannya merupakan sebuah pertanda
bahaya bahwa darurat pangan benar-benar telah terjadi. Pemerintah melalui
jajarannya harus bertindak cepat dan nyata karena rakyat miskin tidak butuh
retorika.
Swasembada
pangan adalah prasyarat kedaulatan pangan dan beras adalah pangan yang paling
vital. Jangan bermimpi swasembada beras jika masih tebersit kata
"impor" di benak aparatur negara. Bustanul Arifin (2007)
menyatakan, karena beraslah hampir semua rezim kita jatuh atau dijatuhkan.
Ketika sebuah rezim lebih memilih menomorduakan kedaulatan pangan (memenuhi
kebutuhan beras rakyat), dengan sendirinya ia sedang menggali lubang
kuburnya.
Di
media, banyak yang sesumbar bahwa Indonesia akan mencapai swasembada pangan
khususnya untuk komoditas beras bisa terwujud tahun ini, lebih cepat
dibanding target pemerintah pada 2017. Jika memang benar adanya, rakyat ingin
segera merasakan. Pertanyaan berikutnya, jika beras sudah tersedia, lalu
mampukah si miskin membelinya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar