Sesudah
Harga BBM Diturunkan
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
PEMERINTAH
cukup sigap menurunkan harga bahan bakar minyak premium dari Rp 8.500 menjadi
Rp 7.600 per liter. Banyak yang bertanya, kenapa tidak sejak awal pemerintah
tidak terburu-buru menaikkan harga BBM premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500
per liter pada 18 November 2014? Bukankah kenaikan harga tersebut telanjur
menyebabkan ”kerusakan” ekonomi berupa inflasi 2014 mencapai 8,36 persen?
Inflasi tahun 2013 sebesar 8,38 persen ketika pemerintah juga menaikkan harga
BBM.
Menurut saya,
kebijakan tersebut tidak salah, dengan dua alasan. Pertama, pemerintah harus
menghentikan ”kegilaan” subsidi BBM pada 2014 yang, jika dibiarkan, angkanya
sudah tidak masuk akal: sekitar Rp 250 triliun. Kenaikan harga BBM bersubsidi
seharusnya sudah bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, misalnya pada
pertengahan 2014. Menaikkan harga pada November 2014 sesungguhnya sangat
terlambat karena pada titik tersebut subsidi sudah mencapai Rp 220 triliun.
Ini juga merupakan ”kerusakan” ekonomi.
Angka ini
sulit ditoleransi sehingga menimbulkan persepsi negatif oleh pasar, yang
terekspresikan melalui pelemahan rupiah. Kalau pemerintah membiarkan kondisi
ini berlarut-larut, kepercayaan pasar terhadap kondisi fiskal dan
kredibilitas pemerintah bakal runyam. Dampaknya bisa berupa pelarian modal,
terutama ke Amerika Serikat (sudden
reversal) yang perekonomiannya sedang bagus.
Kedua, meski
harga minyak dunia sudah meluncur jatuh dari 105 dollar AS per barrel (Juni
2014) ke 80 dollar AS per barrel (Oktober 2014), sulit membayangkan penurunan
harga masih terus berlanjut. Bahkan, sekarang pada level yang tak
terbayangkan, 55 dollar AS per barrel. Saat pemerintah menaikkan harga BBM
pada 18 November 2014, masih ada keyakinan kuat harga minyak dunia bakal
kembali ke level ”normal”, yakni 90 dollar AS per barrel atau setidaknya 80
dollar AS per barrel.
Pasalnya,
dunia kelebihan pasokan minyak 2 juta barrel per hari. Apalagi, ditemukan
cadangan minyak nonkonvensional di AS berupa shale oil, yakni minyak yang diperoleh dari memanaskan bebatuan
di tiga negara bagian AS, Colorado-Utah-Wyoming, sebanyak 1 triliun barrel.
Penemuan ini revolusioner, yang akan menyebabkan harga minyak dunia menjadi
murah untuk jangka waktu yang panjang. Harga minyak turun diduga keras tidak
lagi bersifat sementara!
Oleh karena
itu, saya setuju jika pemerintah ”hanya” berani memproyeksikan harga minyak
dunia 70 dollar AS per barrel pada APBN 2015. Proyeksi ini tergolong logis
dan aman. Berdasarkan asumsi itu, diperoleh harga premium Rp 7.600 per liter.
Jika saja pemerintah lebih ”berani” mempertajam asumsi, misalnya harga minyak
dunia diproyeksikan 60 dollar AS per barrel, bisa jadi harga eceran BBM
premium maksimal Rp 7.000 per liter. Dengan kata lain, dengan harga minyak
sekarang 55 dollar AS per barrel, sesungguhnya pemerintah mendapatkan laba
minimal Rp 600 per liter.
Salahkah
pemerintah dalam posisi sekarang ”menarik laba”? Tidak apa-apa karena tidak
ada yang bisa menjamin bahwa harga minyak dunia 55 dollar AS per barrel bakal
bertahan lama. Selalu ada kemungkinan harga kembali naik meski tampaknya
sulit menembus 80 dollar AS per barrel. Silakan saja pemerintah kini
”menabung” dari laba penjualan BBM premium, tetapi uangnya kelak dialokasikan
untuk menyubsidi BBM premium jika harga minyak dunia tiba-tiba naik, misalnya
di atas 70 dollar AS per barrel.
Selagi
mendapat momentum harga minyak dunia rendah, serta prospek ke depan juga tampaknya
bakal rendah, pemerintah memang sebaiknya melepas subsidi BBM. Subsidi
terpaksa dilakukan jika, misalnya, harga keekonomian mencapai Rp 8.000 per
liter atau jika harga minyak dunia melampaui 80 dollar AS per barrel.
Saat ini,
masyarakat mulai paham dan bisa menerima harga eceran BBM, misalnya, mencapai
Rp 8.000 per liter. Yang penting, pemerintah segera mengembalikan dana
penghematan Rp 270 triliun kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan
infrastruktur, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta proteksi terhadap
penduduk miskin berupa transfer tunai langsung. Semua hal itu akan menjadi
stimulus yang bisa menggerakkan angka pengganda perekonomian Indonesia.
Tambahan
belanja infrastruktur oleh pemerintah setidaknya Rp 150 triliun, sebagai
penambah alokasi sebelumnya Rp 200 triliun, sehingga total Rp 350 triliun
benar-benar akan menjadi motor penggerak perekonomian yang signifikan pada
2015. Tugas pemerintah agar dana sebesar itu benar-benar dapat diserap secara
efektif.
Sementara
itu, meski inflasi tahunan kini 8,36 persen, Bank Indonesia jangan
serta-merta menaikkan suku bunga acuan BI Rate. Pelaku pasar kini menatap
inflasi ke depan (ex ante), bukan
inflasi yang sudah terjadi (ex post).
Ekspektasi inflasi 2015 akan 4-5 persen sehingga BI Rate 7,75 persen sudah
memadai. Kombinasi inflasi rendah (5 persen) dan stimulus fiskal Rp 270
triliun merupakan kunci penggerak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
setidaknya 5,5 persen pada 2015. Oleh karena itu, tetaplah menatap tahun baru
dengan kacamata positif, tanpa meremehkan dinamika perekonomian global yang
kadang kala tak terduga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar