Sekolah
Perdamaian
John de Santo ; Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta;
Pemerhati Masalah Perdamaian
|
KOMPAS,
02 Januari 2015
DARI
mata para astronot, Planet Bumi sangat indah. Menggelantung tenang di tengah
samudra kegelapan yang bisu tak bertepi bersama planet-planet lain. Bumi
adalah satu-satunya planet yang menjanjikan kehidupan, harapan, dan
kerinduan. ”Watak bumi memang damai,” ujar Yuri Gagarin, kosmonot Rusia yang
pertama kali ke luar angkasa dengan pesawat roket Vostok I.
Akan
tetapi, mengapa bumi yang berwatak damai ini semakin bergolak? Mengapa banyak negara menguras sumber daya
untuk membangun institusi-institusi militer dan mesin-mesin perang, tetapi
mengabaikan sekolah atau pusat-pusat perdamaian untuk melestarikan bumi dan
peradabannya?
Perlu
kita akui, sejak peristiwa 9/11, bumi kita seolah tidak habis-habisnya
dirundung krisis. Ada krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup, krisis
kebudayaan, krisis nilai-nilai kemanusiaan, dan krisis perdamaian.
Jurang
kaya dan miskin semakin lebar. Konflik masih terjadi di mana-mana. Nyawa
orang-orang yang tidak berdosa, termasuk nyawa anak-anak sekolah yang sedang
merajut masa depan, meregang sia-sia. Bumi yang
kecil
dengan peradaban yang semakin tua ini tetap saja memendam prasangka,
kebencian, intoleransi terhadap perbedaan, dan keinginan untuk menyelesaikan
berbagai persoalan melalui kekerasan.
Terus dirundung krisis
Dari
rentang sejarah peradaban umat manusia selama 4.000 tahun, hanya ada 268
tahun yang damai (Personnel Journal,
2013). Selama kurun waktu itu, ada 8.000 perjanjian yang telah dibuat dan
dilanggar.
Bahkan,
di Benua Eropa tercatat 286 kali perang selama 300 tahun terakhir. Akankah
generasi sekarang menambah panjang rentang waktu konflik dalam sejarah
peradaban umat manusia di bumi?
Sebenarnya
tidak terlalu sulit untuk mencapai perdamaian dunia jika ada visi bersama
tentang perdamaian itu. Visi bersama ini, hemat penulis, dapat dikembangkan
melalui pendidikan dan pusat-pusat perdamaian di seluruh dunia. Melalui
pendidikan, pikiran orang dapat bertumbuh dan terbuka terhadap berbagai
sumber wacana dan pengetahuan yang mencerahkan.
Hanya
dalam konteks sekolah perdamaian, dapatlah dikembangkan langkah-langkah untuk
membangun perdamaian, seperti dialog, demokratisasi, keadilan sosial,
solidaritas terhadap kemanusiaan, dan kesederhanaan hidup.
Pertama,
melalui dialog, generasi muda belajar tentang watak kekerasan yang selalu
menawarkan jalan pintas yang tidak menjamin perdamaian abadi. Sebab,
kekerasan adalah anak kandung
kemarahan dan rasa dendam. Kekerasan, pada akhirnya, hanya akan
melahirkan kekerasan lain. Sementara melalui dialog, orang belajar tentang
disiplin diri, memandang sebuah persoalan dari berbagai sudut tinjauan,
mengembangkan seni mendengarkan, dan mengupayakan solusi jangka panjang yang
menguntungkan semua pihak.
Kedua,
demokratisasi merupakan materi yang harus dikembangkan dalam sekolah
perdamaian. Demokratisasi merupakan manifestasi dari keinginan sebagian besar
masyarakat dunia. Masyarakat dunia mengharapkan suaranya didengarkan oleh
penguasa. Mereka juga mengharapkan cara-cara legal dan tanpa kekerasan untuk
menyingkirkan pejabat-pejabat korup yang hanya menggunakan jabatan untuk
memperkaya diri.
Ketiga,
perdamaian tak mungkin tercapai tanpa keadilan. Seorang dokter tidak mungkin
dapat menyembuhkan pasiennya dengan mengabaikan luka bernanah di kaki pasien
itu. Meskipun keadilan sempurna adalah sebuah utopia, paling tidak
ada
upaya-upaya konkret dari pemerintah negara-negara di dunia untuk mengurangi
penderitaan rakyatnya akibat persoalan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan.
Keempat,
dalam rangka keadilan sosial, sekolah perdamaian perlu mengedepankan pula
topik tentang kesederhanaan hidup. Generasi muda perlu dibimbing untuk
mewaspadai ideologi materialistik dan konsumeristik yang semakin membelenggu
dunia. Mereka perlu kritis terhadap kekuatan ekonomi dan semua industri
periklanan yang berlomba-lomba mempromosikan gagasan tentang bagaimana orang ditentukan
oleh apa yang dimilikinya.
Kesederhanaan
hidup membantu orang untuk belajar menguasai diri dan mengambil sikap
moderasi dalam hal konsumsi. Hidup ini tidak sekadar memiliki dan
mengonsumsi.
Kelima,
solidaritas terhadap kemanusiaan merupakan topik lain yang perlu diajarkan di
dalam sekolah perdamaian.
Generasi
muda perlu disadarkan bahwa dalam rangka perdamaian dunia, dedikasi dan
kepatuhan seharusnya dilakukan berdasarkan standar-standar universal.
Bahwasanya kita harus siap sedia untuk bahu-membahu membangun kesejahteraan
dunia. Sikap apatis hanya akan menyuburkan egosentrisme dan chauvinisme
sempit.
Perdamaian sejati
Tujuan
utama sekolah perdamaian adalah pengembangan pengetahuan yang memungkinkan
eksplorasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia, lingkungan hidup,
kejahatan struktural, kebebasan, semangat anti kekerasan, kepedulian sosial,
respek terhadap diri sendiri, empati, dan toleransi.
Sekolah
perdamaian merupakan tempat paling ideal bagi anak-anak muda untuk mengasah
kemampuan menilai perasaan pribadi, sarana untuk bernegosiasi, dan untuk
melakukan kompromi.
Visi
yang ingin dicapai sekolah perdamaian adalah perdamaian sejati, yang ditandai
oleh hubungan yang harmonis di antara anggota masyarakat dalam satu bangsa
dan masyarakat antarbangsa. Prasangka dan permusuhan digantikan oleh rasa
aman akibat terpenuhinya kesejahteraan sosial dan ekonomi serta pengakuan
terhadap persamaan hak-hak politik semua orang sebagai warga dari suatu
negara tertentu, sekaligus sebagai manusia yang bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar