Kamis, 22 Januari 2015

Perdagangan Perempuan dan Peredaran Narkoba

Perdagangan Perempuan dan Peredaran Narkoba

Sulistyowati Irianto  ;   Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI;
Ketua Program Pascasarjana UI
KOMPAS, 21 Januari 2015

                                                                                                                       


PRODUKSI dan pengedaran narkoba di Indonesia memang sudah sampai titik yang sangat membahayakan bangsa. Namun, upaya pemberantasannya harus dilandasi peta  pengetahuan yang mendasar tentang pengedaran narkoba dan berbagai persoalan terkait. Tanpa penanganan yang komprehensif, hukuman mati tidak akan berefek  maksimal terhadap pemberantasan narkoba.

Di antara mereka yang  dihukum mati karena kasus narkoba adalah para perempuan. Penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender ( PKWJ) Universitas Indonesia   yang mengambil lokasi di Lapas Wanita Tangerang  menunjukkan bahwa   di antara mereka adalah  perempuan yang menjadi korban perdagangan  manusia. Ditemukan adanya indikasi perdagangan manusia (perempuan) dalam peredaran narkoba, yang menjadikan perempuan sebagai kurir narkoba, bahkan dilibatkan dalam sindikat internasional.

Perdagangan perempuan

Atribut perdagangan manusia di antaranya adalah rekrutmen (dengan cara mengelabui), migrasi (pemindahan), motivasi keuntungan, unsur kekerasan, serta penempatan korban dalam pekerjaan yang membahayakan  dan merendahkan dirinya, seperti pelacur, pekerja paksa, pengemis, pengedar narkotika, dan diambil organ tubuhnya. Migrasi  dilakukan  untuk tujuan mengisolasi perempuan dari bahasa dan budaya asing setempat serta sukar mengakses komunikasi atau  kemungkinan bantuan dari pihak lain. Dalam fenomena pengedaran narkoba, ciri-ciri perdagangan manusia itu dapat dikenali.

Dalam perdagangan manusia yang menjadikan perempuan sebagai kurir narkoba, sungguh pun terdapat unsur consent atau korban menyadari tindakannya, seharusnya tidak menyebabkan tindak pidana perdagangan orang menjadi hapus. Sebab, korban berada di bawah tekanan.

Bagaimana cara perekrutan perempuan? Di antaranya adalah menjadikan mereka pacar, wanita simpanan, atau istri. Pelaku di antaranya adalah laki-laki asing. Setelah ada relasi,  mereka dipaksa dan mengalami kekerasan untuk menjadi kurir narkoba, bahkan dilibatkan dalam sindikat internasional. Hubungan tersebut bisa diperluas, perempuan kekasih atau istri merekrut perempuan lain dari kerabat atau teman. Para perempuan ini berasal dari negara dunia ketiga, seperti Indonesia, Thailand, dan Myanmar, dan mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Mereka adalah perempuan baik-baik,  perempuan muda, atau ibu rumah tangga dengan profil beragam.

Ada  janda miskin, orangtua tunggal dengan dua anak , dan berjualan sayur di suatu kampung di Thailand, bersedia menelan 45 butir narkoba karena dijanjikan uang untuk membayar sekolah anaknya. Ada perempuan muda Myanmar yang  dikelabui suaminya dan terjerat dalam perdagangan manusia.

Ada pula perempuan Indonesia yang dipaksa suaminya berkebangsaan asing mengedarkan narkoba  ke luar negeri dan dipukuli jika menolak. Ada perempuan  yang ayahnya terbelit utang dan rumah mereka terancam disita, ia direkrut oleh saudara perempuannya  menjadi kurir dan dijanjikan bisa mempertahankan rumah ayahnya.

Hukum acara pidana mewajibkan mereka yang terancam hukuman di atas 5 tahun penjara untuk didampingi pengacara yang mengerti bahasa dan seluruh proses persidangan. Perempuan asing yang tertangkap kasus narkoba itu memang didampingi pengacara, tetapi pengacara negara (pro-bono) yang tidak sepenuhnya bisa berkomunikasi baik, tidak mengerti bahasa Indonesia, dan tidak mengerti jalannya persidangan.

Bahkan, ketika hakim mengetuk palu menjatuhkan hukuman mati, ia tidak paham dan baru tahu setelah dijenguk oleh per- wakilan negaranya. Ada yang baru menyadari bahwa fakta terhadapnya selama proses persidangan  tidak benar setelah dia belajar bahasa Indonesia selama di penjara. Pertanyaan feminis terhadap hukum/proses persidangan adalah, apakah pengalaman dan realitas perempuan diperhitungkan oleh hukum?

Dalam logika hukum, tugas hakim adalah ”mencari kecocokan”  antara berita acara polisi, barang bukti, tuduhan jaksa, dan pasal undang-undang yang dikenakan. Jika semua unsur terpenuhi, secara prosedural sudah benar.

Ketiadaan perspektif perempuan

Apalagi, paradigma hakim sebagai ”corong undang-undang” masih sangat kuat, apakah  si pelaku  adalah produsen, bandar besar, kurir, pengguna, perempuan atau laki-laki,  tidak penting. Dengan ketiadaan perspektif perempuan, memang tidak akan tampak adanya relasi kuasa dalam jalinan aktor pengedaran narkoba. Tidak tampak adanya indikasi perdagangan perempuan. Hal yang tampak justru adanya unsur consent,   ”Perempuannya sukarela, kok.”

Tulisan ini tidak bermaksud menggugat hukum dan proses persidangan, tetapi hanya ingin menggambarkan pengalaman dan realitas  kemanusiaan para perempuan yang terjerat  kasus narkoba dengan akibat yang paling fatal. Para pengambil kebijakan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) harus paham bagaimana narkoba sudah begitu masif memasuki ranah  keseharian para perempuan.

Lima hal

Pencegahannya harus sangat komprehensif  dan tepat. Beberapa hal dapat diusulkan.

Pertama, berantas kemiskinan karena sebagian besar orang miskin adalah perempuan, berstatus sebagai orangtua tunggal,  berpendidikan rendah, tidak memiliki pengetahuan hukum, dan mudah terjebak pengedaran narkoba.

Kedua, sosialisasi di kalangan keluarga agar anak perempuan mereka tidak terjerat dalam perekrutan perdagangan manusia, yang menjadikan mereka sebagai kurir narkoba.

Ketiga, penegak hukum harus bersih dari korupsi karena sukarnya pemberantasan narkoba berpangkal pada korupsi.

Keempat,  perkuat kerja sama kawasan antarnegara dalam pencegahan dan pemberantasan.

Kelima, penguatan perspektif perempuan di kalangan penegak hukum agar mampu dan peka dalam membuat pertimbangan dan putusan yang membedakan antara pelaku kejahatan narkoba dan korban perdagangan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar