Mengawasi
Dana Desa
Mory Yana Gultom ; Asisten Ombudsman Republik Indonesia
|
JAWA
POS, 05 Januari 2015
Membangun
desa adalah tugas utama pemerintahan yang memiliki banyak makna strategis.
Sebab, jika rakyat di pedesaan memiliki suatu daya ekonomi, ekonomi seluruh
bangsa akan merasakan manfaatnya. Itu sejalan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa yang diikuti Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai
peraturan pelaksananya.
Amanat UU
tersebut sangat jelas. Secara yuridis, poin yang paling krusial adalah
alokasi anggaran untuk desa. UU itu mengamanatkan bahwa 10 persen dari dana
perimbangan di luar dana transfer daerah, setelah dikurangi dana alokasi
khusus, akan diterima desa. Diperkirakan, jumlah tersebut bisa mencapai
sekitar Rp 103,6 triliun yang akan dibagi ke 74.000 desa se-Indonesia. Dengan
demikian, setiap desa akan memperoleh dana sekitar Rp 1,4 miliar per tahun.
Tentu saja dana yang cukup besar tersebut menuntut desa melakukan perubahan,
penguatan secara internal dalam organisasi pemerintahan desa yang lebih
efektif, profesional, transparan, dan akuntabel.
Simalakama
Di satu sisi,
dana yang digelontorkan itu merupakan elemen penting bagi keberhasilan
pembangunan desa. Namun, di sisi lain, itu justru menjadi sebuah ancaman yang
terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary)
pada 2015 ini. Jika mengacu ke realitas masih kuatnya sikap dan perilaku
seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat –tidak
terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya– potensi
mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.
Kita tidak
bisa mengabaikan doktrin Lord Acton (1834–1902) yang menyebut ”Power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely”. Kekuasaan itu cenderung untuk digunakan korupsi
atau kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi
secara mutlak pula. Kekuasaan di tingkat desa pun demikian, bahkan bisa
dikatakan istimewa. Letak desa yang relatif terpencil (tersembunyi) membuat
penguasanya cenderung lebih bebas berbuat sesuai kehendaknya. Siapa yang jadi
penguasa di desa, ia mendapatkan kepercayaan secara yuridis untuk memerankan
diri dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya desa, termasuk sumber dana
yang diperoleh dari pemerintahan pusat atau daerah. Ada kesan ”enggan” dari
pihak pemerintah untuk mengawasi langsung.
Jabatan
kepala desa pun potensial menjadi katalisator terjadinya korupsi. Ketika
belum ada tawaran dana Rp 1 miliar lebih, tidak sedikit kepala desa yang jadi
tersangka karena menyalahgunakan anggaran APBN/APBD. Sangat mungkin jumlah
oknum itu semakin meningkat pasca pencairan dana desa.
Pengawasan
Untuk
mencegah atau setidaknya meminimalkan kemungkinan aparat desa menyalahgunakan
wewenang terkait dana yang tersedia, pengawasan menjadi sebuah hal yang tak
boleh dikendurkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pertama, pemerintah
harus memastikan adanya keterbukaan informasi di seluruh lapisan masyarakat,
hingga ke pelosok sekalipun. Masyarakat harus tahu, berapa besaran dana atau
anggaran serta pengalokasiannya. Pentingnya sistem informasi pembangunan desa
itu ditegaskan dalam pasal 86 UU Desa. Isinya, desa berhak mendapatkan akses
informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan pemerintah
kabupaten/kota.
Sistem
informasi yang dimaksud tak harus berbasis teknologi karena tidak relavan
dengan kondisi lingkungan dan sosial. Termarginalnya desa dari akses
informasi terlihat dari distribusi media cetak yang saat ini belum menjangkau
sebagian besar kawasan pedesaan. Sedangkan siaran televisi umumnya masih
menyajikan konten hiburan semata, terutama. Apalagi siaran radio, lebih sulit
diakses karena jangkauan frekuensinya yang terbatas.
Karena itu,
aparat desa perlu memublikasikan setiap informasi dengan selebaran yang
ditempel di mading-mading kantor kepala desa. Mulai rencana alokasi hingga
progres yang sudah dicapai. Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk
urusan tertentu ke kantor kepala desa dapat mengetahui perkembangan yang ada.
Kedua, sistem
informasi sederhana itu harus dilengkapi media pengaduan yang dapat
diberdayakan masyarakat. Misalnya, nomor telepon atau nomor tujuan pesan
layanan singkat yang melalui itu masyarakat dapat dengan aktif melaporkan
segala hal yang dianggap atau diduga merupakan penyimpangan prosedur atau
kemungkinan maladministrasi kepada pemerintah pengelola pengaduan.
Ketiga,
sejalan dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, gerakan pembangunan harus
bertumpu pada kekuatan rakyat. Rakyatlah yang tahu persoalan desa secara
kontekstual, rakyat juga lebih mengerti kekuatan dan kelemahnnya, mereka pula
yang tahu kebutuhan mereka yang paling prioritas, pun mengukur tingkat
keberhasilan pembangunannya. Intinya, masyarakat berdaulat penuh atas
desanya, atas wilayahnya.
Untuk itu,
diperlukan kepercayaan penuh terhadap masyarakat. Pemerintah harus yakin
bahwa masyarakat desa mau dan mampu bekerja untuk desanya. Sebuah hal yang
sangat sulit dilakukan oleh pemerintah pada umumnya. Yang sering menerapkan
pola pikir bahwa warga desa tidak akan mampu mengelola pemerintahan
sebagaimana mestinya.
Namun, harus
diingat: Memberikan kepercayaan tidak berarti pemerintah lepas tangan dan
melimpahkan tanggung jawab kepada aparat desa. SKPD wajib terjun/blusukan
melakukan pendampingan, pendidikan manajerial, hingga pengawasan serta
pengevaluasian kinerja secara berkala, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor
25 Tahun 2009 pasal 10 ayat 1 tentang Pelayanan Publik.
Pada intinya,
memberikan gelontoran dana dalam jumlah yang relatif besar kepada setiap desa
memaksa pemerintah bekerja lebih hati-hati dan bijaksana. Negara harus hadir
di tengah-tengah desa. Pun, harus mampu melibatkan masyarakat agar mengawasi
aparatur secara aktif. Jika tidak, pengalokasian dana desa yang tak sedikit
itu tidak lebih dari sebuah sumber ”proyek” baru yang akan dimanfaatkan
oknum-oknum baru pula, bukannya mencapai sasaran pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar