Meneladani
Kesalehan Nabi
Ahmad Sahidah ;
Dosen
Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
JAWA
POS, 03 Januari 2015
PERAYAAN
Maulid hadir setiap tahun, sebagaimana hari-hari besar keagamaan yang lain.
Kekhasannya, peringatan ini merayakan kelahiran Nabi, panutan yang menjadi
rujukan tindak tanduk umat Islam. Tradisi tersebut sangat penting bagi umat
untuk menoleh ke belakang seraya berusaha meraih pesan apa yang bisa diambil
dari masa lalu. Namun, setelah sekian lama berjalan, kadang-kadang umat
merayakan hari besar ini dengan tontonan dan riuh rendah seperti sekaten.
Tentu, keramaian seperti itu tidak salah. Sebagai pedagang, Nabi sendiri
dalam hidupnya juga menjadi bagian dari kehidupan pasar, bahkan merantau
hingga jauh ke Syam (sekarang Syria).
Lalu,
di mana kehadiran Nabi dalam hiruk pikuk itu? Mungkin sosok fisiknya
tenggelam, namun pesonanya masih terbaca jelas dalam banyak kepustakaan
berbahasa Arab. Sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Kemungkinan membaca Sirah Rasul Ibn Ishaq dan As-Sirah An-Nabawiyyah Ibn
Hisyam adalah cara paling mudah untuk menelusuri kembali daya tarik Nabi.
Pada masa yang sama, ingatan tersebut bisa mendorong kita untuk memeriksa
kembali kebiasaan yang berlangsung selama ini. Kadang sudut pandang orang
lain perlu dibaca, seperti Muhammad: Biografi Sang Nabi, Karen Armstrong,
agar kisah Nabi bisa disampaikan dengan bahasa yang lebih segar. Bahkan, kita
tidak perlu khawatir membaca buku Muhammad yang ditulis secara kritis oleh
Maxime Rodinson agar tidak mudah melakukan kekerasan jika Nabi dihujat.
Di
kampung saya, Sumenep, Rabiulawal adalah bulan penuh berkah. Sebab, banyak
orang merayakan kelahiran Nabi dengan menanggap kumpulan hadrah dan
menyajikan makanan mewah. Bayangkan, ratusan orang berdiri tanpa bersuara,
hanya bunyi rebana dan nyanyian pujian menggema! Begitu syahdu dan khidmat.
Sepanjang bulan Maulid, di banyak sudut rumah kita bisa menikmati pujian
Burdah, Barzanji, dan Dibaan. Hingga kini, tidak ada peringatan, bahkan Idul
Fitri dan Idul Adha, yang membuat umat begitu dekat dengan pembawa
syafaat(pertolongan khas Nabi di hari kiamat). Tentu, peringatan kelahiran
junjungan tidak hanya berhenti di sini. Ada kisah lain yang perlu diungkap.
Perilaku
Dalam
Jejak-Jejak Rasulullah, Tariq Ramadhan mengungkap kesaksian para sahabat dan
istri baginda terhadap kebiasaan Rasul yang bersalat berjam-jam sepanjang
malam. A’isyah pernah bertanya tentang keteguhan Nabi bermunajat kepada Tuhan
meskipun Allah telah mengampuni seluruh dosa yang telah lalu dan yang akan
datang. Nabi pun menukasnya, ’’Apakah aku patut menjadi hamba yang tidak
bersyukur?’’ Menarik, Muhammad mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan
meskipun keluarganya tidak berlimpah harta benda. Sebuah pelajaran moral
bahwa hakikat kesyukuran itu lebih bersifat spiritual, berbanding material.
Meskipun
Nabi begitu kuat beribadah, ayahanda Fatimah itu tidak meminta pengikutnya
melakukan hal serupa. Ketika sahabatnya, seperti Utsman bin Mazun, ingin
meninggalkan kehidupan seksualnya, bersembahyang sepanjang malam, atau
berpuasa terus-menerus, Nabi mencegah dan berpesan agar menjauhi ibadah
berlebihan. Lebih jauh, Nabi menegaskan bahwa mereka perlu menjaga keseimbangan
antara ibadah, tidur, keluarga, malah tamu (kehidupan sosial). Jelas, Nabi
mengajak mereka untuk tidak menolak sisi manusiawi dan mengajarkan satu
perilaku penting, yaitu pengendalian diri.
Sementara
itu, dalam kehidupan material, Nabi hidup begitu sederhana. Rumahnya tidak
berisi perabot. Tidak jarang, baginda tidak memiliki apa-apa selain beberapa
butir kurma. Namun, keadaan itu tidak menyurutkan kecintaan Nabi kepada orang
miskin di sekelilingnya. Ketika menerima hadiah, anak Abdullah tersebut segera
berbagi dengan orang yang berhak menerima. Seperti dalam ibadah, Nabi tentu
tidak akan membebani sahabat, termasuk kita, untuk meniru sepenuhnya perilaku
sosial tersebut. Sahabat Nabi yang kaya, seperti Utsman bin Affan, menjadikan
hartanya untuk menyempurnakan kegiatan dakwah.
Selain
hubungan Tuhan dengan manusia, Nabi juga menunjukkan keberpihakan terhadap
kelestarian lingkungan. Itu ditunjukkan oleh Muhammad bahkan dalam
peperangan. Selain tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, dan penghuni
biara (ashab al-samawi), orang
Islam pada waktu itu dilarang menebang pohon, membakar ladang, memotong
tanaman yang sedang berbuah, dan membunuh binatang ternak. Bahkan, baginda
pernah menegur seorang sahabat, Sa’ad bin Waqqas, yang memubazirkan air
ketika berwudu. Kesadaran kosmologis beriringan dengan keteguhan teologis.
Pemisahan di antara keduanya membuat kesalehan oleng.
Pesan
Dari
catatan ringkas di atas, cetak biru menjadi muslim sejati itu begitu jelas.
Sebagai pemimpin, Nabi menjalani hidup seperti sebagian besar umatnya yang
miskin, tetapi suka bederma. Namun, sahabatnya tidak dihalang-halangi untuk
kaya. Justru, dengan teladan yang ditunjukkan secara nyata, banyak sahabat
yang rela mengeluarkan harta untuk kebajikan. Lebih jauh, Nabi tetap
membawakan diri sebagai manusia biasa dengan berpenampilan bersih, tapi
dengan baju yang sederhana dan tentu saja memiliki rumah tidak mewah. Dalam
teori keutamaan (virtue)
Aristoteles, Nabi mengambil jalan tengah (mean)
dari gaya hidup saudagar yang megah dan ahli shuffah, para sahabat yang
luntang-lantung dan hanya menumpukan hidupnya kepada ibadah.
Mungkin,
perilaku poligami agak riskan untuk ditiru. Persekutuan politik yang dibangun
oleh Nabi melalui perkawinan begitu nyata terkait dengan situasi kultural
kesukuan Arab. Selain itu, menurut Karen Armstrong dalam Muhammad: Biografi
Sang Nabi, apa yang dilakukan Muhammad terhadap perempuan terkait dengan
aturan perkawinan, waris bagi perempuan, dan sikap keseharian Nabi kepada
perempuan adalah revolusioner pada abad ke-7 ketika masa itu tradisi
patriarki Arab sangat merendahkan perempuan.
Akhirnya,
umat mesti bersyukur bahwa Nabi tidak meminta untuk beribadah sepanjang
malam. Sebagai ayah misalnya, seseorang mesti memperhatikan keperluan istri
dan anaknya. Demikian pula, ibadah wudu
bukan saja menghilangkan hadats kecil, tetapi juga menghemat air. Keselarasan
antara pemenuhan kehendak Tuhan dan kehendak alam (sunnatullah) senantiasa menjadi titik pijak untuk menentukan
nilai-nilai religius dan etik dalam dunia masa kini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar