Langkah
Tegas Perangi Kartel Narkoba
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Januari 2015
PELAKSANAAN eksekusi mati gelombang
pertama atas keenam pelaku kejahatan narkoba menuai pro dan kontra. Kontroversi
publik yang terjadi, sejatinya lebih terfokus pada isu laten yang tak
berkesudahan mengenai persoalan hukuman mati, bukan pada signifikansi sikap
tegas yang diambil Pemerintahan JokowiJk untuk melanjutkan `perang' terhadap
kejahatan narkoba dengan menolak permohonan grasi dari para pelaku kejahatan
narkoba.
Sejatinya, keputusan Presiden
Jokowi untuk menolak permohonan grasi dari para pelaku kejahatan narkoba yang
memang merupakan ranah kewenangan hak prerogatif presiden sesuai dengan UUD
Negara RI 1945 merupakan kelanjutan dan implementasi dari salah satu janji
kampanyenya di era kontestasi pilpres yang lalu.
Publik perlu menyegarkan kembali
memori kolektif, bahwa pada Mahkamah Konstitusi (MK) pernah diminta para
terpidana narkoba untuk menganulir pasal di UU narkotika yang mengancam
kejahatan narkoba dengan hukuman mati. Namun, MK yang saat itu diketuai Jimly
Asshiddiqie menolak permohonan uji materiil tersebut. Dalam putusannya, MK
berpendapat hukuman mati tetap diperlukan sebagai bentuk kekuatan terhadap
hukuman. Bila itu dikabulkan, MK menganggap di UU lain tidak boleh ada juga
pasal yang mengancam dengan hukuman mati.
Dengan demikian, ancaman pidana
mati dalam UU Narkotika tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku. Hal itu
membawa konsekuensi bahwa seluruh ketentuan perundang-undangan di Indonesia
yang mengatur pidana mati harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
berlaku. Dengan demikian, menurut putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, ancaman
pidana mati dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Tindak Pidana
Korupsi, dan UU Pengadilan HAM, memiliki posisi konstitusionalitas yang
paralel. MK juga menganggap, jika permohonan para terpidana narkoba itu
dikabulkan, kejahatan narkoba dan lainnya akan semakin marak di Indonesia.
Implikasi penolakan hukuman mati
juga akan berpengaruh ke jenis kejahatan lain, seperti terorisme dan korupsi.
Salah satu amar putusan MK tersebut juga mempersoalkan, yakni bagaimana
tanggung jawab, seluruh komponen bangsa dan negara, serta rakyat Indonesia
dalam rangka menjaga kedaulatan, tumpah darah, generasi penerus bangsa,
kelangsungan hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, manakala masalah
narkotika semakin semarak di Indonesia. Jika terorisme menyebar ke manamana,
apakah dengan ancaman pidana penjara yang tidak berat?
Dengan demikian, dalam perspektif
hukum ketatanegaraan, sudah tidak ada lagi isu yang mempertanyakan
konstitusionalitas hukuman mati untuk kategori kejahatan kejahatan berat
tertentu. Sebagai derivasi Pasal 14 ayat (1) UUD Negara RI 1945, Pasal 4 ayat
(1) UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi menegaskan kedudukan grasi sebagai
cakupan hak prerogatif presiden yang sifatnya open limitatif. Arti nya, kewenangan pemberian grasi sejatinya
secara yu ridis diserahkan se penuhnya kepada per timbangan presiden untuk
mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut dengan memperhatikan
pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Keputusan presiden dapat berupa
pemberian atau penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi
tersebut paling lambat tiga bulan, terhitung sejak diterimanya pertimbangan
Mahkamah Agung. Dengan mencermati rumusan ketentuan dalam UU Grasi tersebut,
terlihat jelas bahwa Keputusan (beschikking)
Presiden dalam pemberian grasi sudah melewati tahapan yang secara prosedural
cukup panjang dan diputuskan dengan pertimbangan saksama karena presiden tak
bisa mengabaikan begitu saja pertimbangan Mahkamah Agung sebagai puncak
peradilan yang pernah memutuskan di ranah yudikatif perkara yang diajukan
permohonan grasi tersebut.
Kedudukan grasi tersebut sejatinya
hanya menjadi pranata ketatanegaraan yang menjadi instrumen korektif. Berdasarkan
pertimbanganpertimbangan kemanusiaan, manakala presiden melihat perlunya diberikan
keputusan grasi yang bisa berupa, yakni a. peringanan atau perubahan jenis
pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan
pidana.Dengan kata lain, melalui penolakan pemberian grasi, presiden
mempersilakan hukum bekerja secara normal sesuai dengan mekanisme criminal justice system tanpa
intervensi presiden dalam pemberian grasi.
Implikasi politis secara
internasional terhadap pelaksanaan pemberian grasi dari beberapa narapidana
kejahatan berat narkoba yang kebetulan berkewarganegaraan asing, merupakan
keniscayaan yang perlu dilihat dari sudut politik domestik setiap negara
tersebut. Buntut pelaksanaan eksekusi atas enam orang terpidana mati kasus
narkoba, Minggu (18/1/2015) dini hari, yakni Brasil telah menarik duta
besarnya dari Jakarta. Demikian juga Belanda telah menarik duta besarnya dari
Indonesia. Itu sebagai reaksi atas eksekusi mati terhadap warga negara
mereka. Sementara, Australia masih terus melobi untuk pembebasan dua warganya
yang terpidana mati kasus narkoba dari eksekusi berikutnya.Kedua warga negara
Australia itu ialah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, yang dikenal sebagai
anggota Bali Nine yang terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman mati karena
mencoba menyelundupkan narkoba ke Australia dari Denpasar, Bali.
Risiko politik yang terjadi
sebagai reaksi terhadap langkah tegas Presiden Jokowi dalam memerangi kartel
narkoba tak perlu menjadi hambatan dalam melaksanakan kebijakan pemerintah
untuk bersikap tegas terhadap sindikasi narkoba yang konon, bahkan sudah
menyusup dalam jaringan birokrasi penegak hukum dan lingkungan lembaga
pemasyarakatan.
Tentunya, untuk lebih
mengefektifkan langkah tegas perang terhadap kartel narkoba reformasi
birokrasi dan pembersihan birokrasi (bureaucratic
cleansing) di lingkungan penegak hukum juga perlu terus dilanjutkan. Itu
sebagai langkah preventif untuk memotong mata rantai kejahatan narkoba di
lingkungan birokrasi aparat penegak hukum. Perang terhadap kartel narkoba
memang memerlukan cara-cara luar biasa (extraordinary),
sebagaimana karakteristik kejahatan narkoba yang juga bertipologi sebagai extraordinary crime. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar