Jurnalisme
Kemasan Tanpa Perasaan
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute
|
KORAN
SINDO, 01 Januari 2015
Tabir gelap hilangnya Pesawat Air Asia QZ8501 mulai terungkap
dengan ditemukannya serpihan pesawat dan jasad yang diduga penumpang oleh Tim
Basarnas di sekitar Selat Karimata, Selasa (30/ 12).
Seluruh kanal informasi mulai media arus utama hingga media sosial
dibanjiri berita seputar musibah ini. Yang mengejutkan sekaligus membuat
geram adalah tayangan sebuah stasiun televisi berita nasional yang secara
berulang-ulang menyiarkan jasad yang diduga penumpang tersebut secara
dramatis tanpa diblur!
Atas nama eksklusivitas dan kebaruan berita, stasiun televisi
tersebut seolah tanpa bersalah menerabas etika serta standar perilaku siaran
sekaligus menyakiti perasaan keluarga korban dan membuat resah masyarakat
yang menyimak produk jurnalisme kemasan mereka.
Resonansi Dramatis?
Tentu masyarakat butuh informasi yang cepat dan akurat untuk
mengetahui setiap perkembangan terkait dengan musibah pesawat Air Asia
tersebut. Hal ini, juga menjadi tugas media massa untuk mengabarkan setiap
kejadian yang menjadi perhatian publik. Tetapi mengabarkan suatu kejadian,
terlebih yang bersifat musibah dan bisa menimbulkan trauma psikologis dan
kesedihan mendalam pada banyak orang, butuh empati dan kehati-hatian dalam
memproduksi dan menyebarkannya.
Media audio-visual seperti televisi memiliki resonansi melebihi
kanal saluran informasi lainnya. Eksploitasi gambar dan narasi kesedihan
secara berlebihan akan menghadirkan dramatisasi fakta. Fenomena seperti ini
secara sadar menjerumuskan jurnalisme kemasan pada salah satu pelanggaran
yang sering diingatkan Paul Jhonson dalam artikelnya, The Media and Truth: Is There a Moral Duty? (1997), tentang Seven Deadly Sins sebagai dramatisasi
fakta.
Meskipun bukan fakta palsu, eksploitasi visual jasad mengambang
tanpa diblur menurut penulis sederajat dengan kesalahan saat media mengumbar
fakta palsu! Ada beberapa kritik terkait dengan resonansi dramatis yang
dikemasbeberapamediadalammusibah Air Asia QZ8501. Pertama, beberapa media
mengejar banyak keluarga korban untuk diwawancarai.
Kalau kita perhatikan secara seksama, di banyak tayangan yang
disiarkan live beberapa stasiun televisi, banyak keluarga korban yang merasa
terintimidasi oleh kerja jurnalis televisi. Bidikan kamera, berondongan
pertanyaan yang tentu secara sadar ditonton jutaan pemirsa, menjadi potongan
cerita yang diramu secara melodramatik.
Yang menyebalkan, saat keluarga korban tampak tak sanggup
menahan kesedihan dan takkuasa menahan nestapa yang harus mereka tanggung,
tanpa canggung jurnalis televisi tersebut justru mencoba mengambil sudut
gambar yang menjadi pesan ketidak berdayaan keluarga korban sebagai komoditi
ekslusivitas.
Tak disangkal, bahwa nilai humanistis menjadi salah unsur kuat
dalam nilai berita, tetapi tayangan tersebut secara sadar telah
mengintimidasi dan mengeksploitasi korban secara berlebihan. Di beberapa
tayangan, keluarga korban yang sudah berupaya menyetop wawancara, terus
dipancing dan dijerat untuk menjawab dengan pertanyaanpertanyaan yang
sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk publik dan juga keluarga yang
ditimpa musibah.
Kedua, banyak tayangan sejumlah televisi yang mencampuradukkan
kebutuhan informasi terkait dengan musibah hilangnya Air Asia QZ8501 dengan
spekulasi, isu, dan gosip jalanan. Sejumlah grafik dan visual lainnya menjadi
pengabsah paket kemasan untuk meyakinkan khalayak. Celakanya, di beberapa
stasiun televisi spekulasi diwadahi tanpa diperkuat datadata mendalam dan
analisis ahli secara verifikatif sehingga ulasan tampak di kulit permukaan.
Bercampurnya fakta dan asumsi mengenai penyebab musibah,
spekulasi keberadaan pesawat, dan bumbu-bumbu cerita menyedihkan seputar
korban dan keluarga korban lebih banyak memosisikan musibah ini sebagi
komoditi siaran. Fenomena semacam ini semakin meneguhkan tesis Douglas
Kellner dalam bukunya, Television and
the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan tingkah laku industri
penyiaran akan semakin ditentukan oleh the
logic of accumulation and exclusion.
Memang benar, bahwa musibah semacam ini mengundang rasa ingin tahu,
tetapi media massa terlebih banyak ditonton orang bukanlah saluran gosip,
isu, dan haru biru para korban dalam perspektif jualan “paket kesedihan”.
Salah satu bentuk logika komodifikasi musibah ini adalah tayangan kasatmata
jasad yang diduga penumpang tadi.
Mengacu pada tulisan Vincent Mosco dalam The Political Economi of Communication (1996), komodifikasi itu
merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditi
yang dapat dipasarkan. Sangat bisa dimaklumi, saat salah satu televisi berita
menayangkan berulang-ulang jasad penumpang tanpa diblur, sontak protes dan
sumpah serapah berhamburan dari keluarga korban yang sedang berkumpul di
Crisis Center Terminal 2 Juanda dan juga masyarakat beperhatian (attentive public) yang melek bahwa
tayangan tersebut melanggar kepatutan dan standar siaran!
Retrogresi Media
Kegelisahan soal tayangan musibah di televisi, sesungguhnya
bukan semata saat hilangnya pesawat Air Asia QZ8501 saja. Di banyak musibah
lain yang terjadi sebelumnya, kerap siaran berita juga kurang mengembangkan
“jurnalisme empati”. Secara substantif, hal ini juga berpotensi menyebabkan
retrogresi media atau pemburukan dan penurunan kualitas isi media karena
lemahnya standar kerja jurnalistik yang diterapkan.
Muncul sejumlah paradoks
peranmediadalammenjaga eksistensinya sebagai ruang publik. Ilmuwan John
Hartley dalam Politics of Picture : The
Creation of the Public in the Age of Popular Media (1992), menegaskan televisi,
koran, majalah, dan media lainnya merupakan domain publik, tempat di mana
publik sering diciptakan, oleh karenanya mengandung pemahaman public sphere.
Saat media lebih mengedepankan kepentingan kumulasi ekonomi atau
kepentingan politik pemilik maka faktanya urusan dan harapan publik
terpinggirkan dengan sendirinya. Prinsip bonum
commune atau media mengedepankan kepentingan umum dianggap utopia oleh
para pengelolanya. Media sebagai ruang publik terlebih yang menggunakan
frekuensi milik publik wajib menghormati nalar, etika dan regulasi yang
berlaku guna menjaga keadaban publik. Media dibutuhkan sebagai pemberi kabar,
bukan semata-mata penjual “paket kesedihan”! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar