Kamis, 22 Januari 2015

Hukuman Mati dalam Konteks Internasional

Hukuman Mati dalam Konteks Internasional

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 21 Januari 2015

                                                                                                                       


Polemik seputar hukuman mati masih hangat diperbincangkan masyarakat. Polemik ini semakin dalam ketika Brasil dan Belanda mengajukan protes dengan memanggil duta besarnya di Indonesia.

Ancaman serupa kemungkinan juga akan dilakukan Australia yang warga negaranya akan menerima eksekusi mati. Perdebatan kemudian bergeser menjadi masalah kehormatan dan kedaulatan negara yang menolak diintervensi melalui ancaman-ancaman tersebut.

Saya pikir kita perlu mengembalikan diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukuman mati pada hak hidup dan norma-normanya dalam hubungan internasional. Dua tema ini adalah tema yang amat sulit dan perlu kajian yang mendalam dan tentu tidak akan cukup dalam ruang yang terbatas ini.

Oleh sebab itu kolom ini mungkin hanya memberikan sebuah analisis untuk mengantarkan diskusi agar lebih konstruktif dan menyentuh masalah-masalah mendasar mengenai hukuman mati. Masalah pokok dari hukuman mati adalah sejauh mana hak hidup itu berlaku universal atau merupakan cultural relativism (berlaku khusus sesuai dengan konteks tertentu).

Apabila hak hidup tersebut berlaku universal, tidak ada pengecualian apa pun yang dapat digunakan untuk mencabut hak tersebut. Namun apabila ia berlaku khusus, ada kondisi tertentu yang memberi ruang untuk mencabut hukuman mati. Turunan dari paradigma tersebut secara sederhana adalah pertanyaan tentang apakah hak hidup ini sebuah keadaan yang sangat sakral atau bukan?

Melalui eksekusi enam terpidana mati, kita secara tidak langsung memasuki perdebatan tentang hak hidup ini. Namun hak hidup dalam konteks hak asasi manusia tidak hanya menyangkut hukuman mati. Hak hidup juga menjadi perdebatan dalam masalahmasalah eutanasia , aborsi, membunuh untuk mempertahankan diri, dan terkait dengan moralitas dalam peperangan.

Dalam masalah aborsi sebagai contoh, mereka yang menolak aborsi memiliki argumen bahwa janin dalam kandungan berapa pun usianya telah memiliki hak hidup yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun. Negara harus melindungi janin tersebut terutama karena si janin tidak memiliki kemampuan untuk membela diri.

Sementara mereka yang menyetujui aborsi mengaitkan hak hidup si janin dengan hak hidup sang ibu. Sang ibu juga berhak untuk mempertahankan hak hidupnya. Apabila sang ibu mendapat risiko baik psikologis maupun fisik karena janin yang dikandungnya, ia memiliki hak untuk mencabut hak hidup si janin.

Polemik itu juga berkembang dalam kasus hukuman mati. Pendapat yang mendukung hukuman mati sebagian besar memiliki argumen bahwa hak hidup terpidana dapat dicabut karena kejahatan kejam yang mereka lakukan. Sementara mereka yang menolak hukuman mati berpendapat bahwa hak hidup adalah sebuah kondisi yang sakral dan asasi di mana melalui hak itulah tujuan dari kehidupan manusia dilekatkan.

Apa yang menarik dari polemik tersebut adalah kecenderungan negara-negara di dunia untuk mengurangi daftar kejahatan berat yang dianggap dapat diganjar dengan hukuman mati dan di beberapa negara di Eropa, bahkan menghapuskan hukuman mati sebagai sanksi. Contoh adalah di China. Negara ini terkenal sebagai negara yang paling banyak melakukan eksekusi mati.

Sebuah lembaga hak asasi manusia yang beroperasi di China, Dui Hua Foundation, menyebutkan 5.000-6.000 eksekusi dilakukan pada tahun 2007 (Washington Post , 24/12/ 2008). Sepuluh tahun yang lalu, jumlahnya dapat mencapai puluhan ribu. Di China, kejahatan yang berat antara lain korupsi, bandar narkoba, pembunuhan, dan kejahatan lain.

China adalah negara yang paling banyak mengeksekusi hukuman mati. Sebelum tahun 2011, China memiliki 68 daftar kejahatan berat yang dapat diganjar hukuman mati. Namun dengan banyaknya tekanan, China mengurangi 13 kejahatan dari daftar tersebut. Kejahatan yang dikurangi antara lain menyelundupkan besi, mengajari metode mencuri, dan mencuri harta dalam makam kuburan.

Di Amerika Serikat, kecenderungan untuk mengurangi kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati juga terjadi dalam sistem hukumnya. Hal ini diawali dengan diperkenalkannya pengategorian pembunuhan tingkat pertama dan kedua. Kejahatan berat yang dapat dihukum mati adalah kejahatan tingkat pertama seperti pembunuhan berencana, pembakaran, pemerkosaan.

Daftar kejahatan ini semakin lama semakin berkurang dan syarat untuk dikategorikan sebagai pembunuhan tingkat pertama semakin diperberat. Sementara itu di tingkat pemerintahan federal, ada beberapa negara bagian yang tidak membolehkan hukuman mati, yang telah menghapuskan hukuman mati atau telah melakukan moratorium hukuman mati.

Ada 18 negara bagian yang telah menghapuskan hukuman mati. Negara bagian yang sejak awal tidak memiliki hukuman mati adalah Michigan (1846) dan Maryland adalah negara ke- 18 yang menghapuskan hukuman mati. Di Eropa, upaya untuk menghapuskan hukuman mati berawal dari berakhirnya Perang Dunia II. Kekejaman Nazi di bawah Hitler telah membawa trauma yang besar bagi masyarakat Eropa dan mengupayakan sebuah perangkat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan yang terjadi di masa lalu.

Dari wilayah inilah sejumlah perangkat hukum hak asasi manusia lahir dan diadopsi oleh PBB seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik serta beberapa konvensi lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Eropa menjadi ujung tombak dari advokasi masalah hak asasi manusia.

Di tingkat regional, mereka memiliki The Charter of Fundamental Rights of The European Union (EU) dan The European Convention on Human Rights of The Council of Europe yang secara tegas menghapus hukuman mati. Hanya Belarusia dan Kazakhstan yang masih mempraktikkan hukuman mati.

Menurunnya dan dihapuskannya hukuman mati di beberapa negara di dunia antara lain disebabkan alasan-alasan moral, filosofis, etik, dan zaman yang sudah semakin modern. Kelompok yang mendukung dan menolak hukuman mati adalah kenyataan yang tak dapat ditolak, tetapi dialog ilmiah atau politik diantara mereka berlangsung secara ilmiah dan objektif.

Selain itu ada studi-studi seputar efektivitas hukuman mati dalam mengurangi tingkat kejahatan yang ingin diberantas. Pengalaman itu juga perlu menjadi tantangan buat kita di Indonesia. Pemerintah perlu memfasilitasi atau menjelaskan denganbaikpilihan-pilihanyang mereka putuskan dalam soal hukuman mati dan jangan dibiarkan hanya menjadi debat kusir yang tidak produktif.

Dalam hubungan internasional, Indonesia juga perlu lebih elegan menyampaikan alasan-alasannya ketika mempertahankan hukuman mati; jawaban Indonesia perlu kontekstual dan tidak abai pada perkembangan zaman. Pada akhirnya bila pergaulan internasional bergerak ke arah penghapusan hukuman mati, argumen kedaulatan bangsa menjadi lemah (irrelevant). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar