Efektivitas
Penegakan Hukum Presiden Jokowi
Abdul Hakim G Nusantara ; Ketua Komnas HAM 2002-2007; Advokat/Arbiter
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
GEBRAKAN
hukum Presiden Joko Widodo, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan dan
menolak grasi para terpidana mati pengedar narkoba disambut antusias oleh
sebagian masyarakat. Namun, penolakan grasi atas terpidana mati pengedar
narkoba terus dipersoalkan legitimasinya oleh pembela hak asasi manusia
karena melanggar hak hidup sebagai HAM konstitusional universal. Gebrakan
hukum Jokowi itu menyampaikan pesan yang jelas kepada rakyat Indonesia dan
dunia bahwa dia serius dalam menegakkan daulat hukum.
Namun, ini
baru permulaan kisah yang belum dapat disimpulkan. Efektivitas penegakan
hukum dalam makna konsistensi prinsip, kebijakan, dan tindakan hukum,
berkurangnya secara signifikan korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan, serta bentuk kejahatan umum lainnya masih harus
dibuktikan dalam masa kepresidenan
Jokowi.
Dalam sistem
daulat hukum demokrasi konstitusional Indonesia, Presiden punya tanggung
jawab penegakan hukum melalui tiga institusi. Pertama, institusi pejabat tata
usaha negara (PTUN) non atau kuasi yudisial, seperti kementerian dan jajarannya,
lembaga pemerintah non-kementerian—baik sipil maupun militer, dan jajarannya,
pemda dan jajarannya. Mereka inilah, menurut Roger Cotterrel (Cotterrel 2012 : 337-349), para agen
penyelenggara hukum yang mengelola kebijakan dan perizinan bagi berbagai
aktivitas ekonomi, sosial, politik, keamanan, dan budaya yang dilakukan oleh
individu atau kelompok masyarakat.
Penegakan
hukum di sektor ini jelas dimaksudkan untuk menghilangkan atau setidaknya
meminimalkan korupsi dan bersamaan dengan itu memaksimalkan pelayanan publik,
pendapatan negara, dan melindungi aset publik. Di sektor ini, dari mulai
pemerintahan Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono tak berhasil mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif.
Kedua,
institusi Polri sebagai penyidik yang punya wewenang penyelidikan dan
penyidikan segala rupa perkara pidana, mulai dari urusan rumah tangga sampai
urusan publik. Reformasi Polri selama lebih dari satu dasawarsa belum berjaya
membersihkan dirinya dari praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan
kekerasan berlebihan. Bahkan, saat ini acap terjadi bentrokan antara oknum
polisi dan oknum TNI.
Ketiga,
institusi kejaksaan sebagai penuntut belum sepenuhnya tuntas menjalankan
reformasi. Kejaksaan belum berhasil pula membersihkan dirinya dari praktik
korupsi dan penyalahgunaan wewenang, mengakibatkan rendahnya kepercayaan
masyarakat atas integritas para jaksa.
Koordinasi dan sinergi
PTUN non atau
kuasi yudisial, polisi, dan jaksa punya tugas dan wewenang—termasuk
diskresi—untuk menegakkan hukum di lingkungan masing-masing dengan beragam
sasaran. Walaupun tugas, wewenang, dan diskresi para penyelenggara hukum itu
berbeda, sesungguhnya berhubungan. Misalnya, PTUN di bidang kesehatan
memastikan semua pemangku kepentingan mematuhi standar dan persyaratan yang
ditetapkan. Setiap pelanggaran pasti dikenai sanksi administratif atau,
apabila ada unsur pidana, akan diselidiki dan disidik oleh pegawai penyidik
dan atau polisi, yang kemudian bisa jadi akan diikuti dengan penuntutan oleh
jaksa.
Keputusan-keputusan
untuk melakukan tindakan hukum atas suatu kasus di sektor tertentu tak
terhindarkan mengundang pertimbangan dan diskresi dari setiap penyelenggara
hukum itu, yang bisa pula mengundang perbedaan pendapat dan benturan yang
membawa dampak pada efektvitas penegakan hukum.
Karena itu,
PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, dan jaksa sebagai subsistem dalam
sistem penyelenggaraan dan penegakan hukum di bawah presiden harus mampu
berkoordinasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang
kebijakannya ditetapkan oleh presiden. Persis di situ letak kelemahan
penegakan hukum di Indonesia, yaitu presiden gagal mengoordinasi dan
menyinergikan pelaksanaan tugas penegakan hukum yang semestinya dilakukan,
yang berakibat rendahnya efektivitas penegakan hukum di Indonesia.
Efektivitas
penegakan hukum ditentukan pula oleh faktor-faktor, seperti kejelasan hukum,
pengetahuan, dan pemahaman atas hukum yang berlaku, situasi kasus yang
dihadapi, kecerdasan, dan keberanian penegak hukum untuk mengambil keputusan,
sumber daya yang memadai, dan peran serta masyarakat.
Maka,
efektivitas penegakan hukum Presiden Jokowi akan ditentukan oleh, pertama,
konsistensi prinsip, kebijakan, dan tindakan hukum berkenaan kejelasan
wilayah prioritas penegakan hukum. Kedua, mengoordinasikan dan menyinergikan
PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, jaksa sebagai subsistem dari sistem
penegakan hukum. Ketiga, keberanian dan kecerdasan mengambil putusan atas
berbagai kasus yang dihadapi, termasuk penggunaan diskresi yang bertanggung
jawab. Keempat, sumber daya yang cukup dan dukungan masyarakat luas. Kelima,
pengadilan yang bersih, responsif, dan
progresif terhadap tuntutan keadilan publik.
Akhirnya,
perlu dikemukakan bahwa efektivitas penegakan hukum di bawah Presiden Jokowi
harus diukur dengan indikator, antara lain konsistensi dalam prinsip,
kebijakan dan tindakan hukum, menurunnya secara signifikan korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan di jajaran PTUN, polri, dan jaksa, serta kejahatan
umum lainnya; meningkatnya kualitas dan aksesibilitas pelayanan publik; rasa
aman dan nyaman dalam kehidupan di kalangan masyarakat luas; meluasnya budaya
kepatuhan hukum; serta meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Dengan
demikian, jika semua indikator itu dapat dipenuhi pada era kepemimpinan
Jokowi, kita bersama akan berada dalam kehidupan hukum yang lebih baik
daripada zaman sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar