G30S dan Rekonsiliasi Kultural
Munawir Aziz ; Peneliti, Alumnus Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada (UGM)
|
KORAN
TEMPO, 02 Oktober 2014
Peristiwa
Gerakan 30 September (G-30 S) pada 1965 merupakan tragedi sejarah yang sampai
saat ini masih diperdebatkan. Kontestasi pengetahuan tentang tragedi ini
meliputi siapa aktor, korban, dan penonton yang terlibat dalam pusaran
peristiwa tersebut.
Publikasi
hasil riset dan karya akademis yang mengisahkan peristiwa itu belum
sepenuhnya menjadi karya komprehensif tentang bagaimana alur sejarah yang
sesungguhnya. Sesungguhnya bisa dimengerti kenapa peristiwa 1965 menjadi
"fase gelap". Ini karena saat peristiwa terjadi, terdapat beragam
kepentingan ekonomi, politik, dan pengetahuan dalam skala regional, nasional,
hingga internasional. Selain itu, kontestasi ideologi setelah Perang Dunia II
juga berimbas pada perumusan falsafah bangsa dalam fase awal kemerdekaan.
Meski
demikian, gesekan-gesekan ideologi sampai sekarang masih berlangsung. Namun
peta kepentingan dan komunitas yang terlibat di dalamnya berubah. Sekarang
ini, ideologi-ideologi keislaman trans-nasional menggempur kekuatan
Pancasila, sebagai benteng untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Karena itu, perlu ada kejernihan cara pandang dalam melihat
kontestasi ideologi trans-nasional dan kepentingan di baliknya setelah masa
Orde Baru. Selain itu, perlu ada kesepahaman tentang posisi korban dan pelaku
pada fase sejarah dekade kedua masa kemerdekaan, yakni pada akhir
kepemimpinan Sukarno.
Penjernihan
tentang posisi korban dan pelaku amat penting untuk merumuskan upaya
rekonsiliasi terhadap tragedi 1965. Gagasan rekonsiliasi ini memang tidak
mudah untuk dilakukan dalam skala nasional. Namun perlu langkah-langkah
kultural dengan menjembatani perbedaan latar belakang kelompok dengan
pandangan masa kini terhadap keutuhan Indonesia. Apa yang diperjuangkan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi presiden perlu diapresiasi sebagai
langkah politik yang berani. Gus Dur pernah mengajukan usul agar TAP MPRS
XXV/66, yang mengatur masalah larangan pencabutan ajaran komunis. Usul ini
ditentang habis-habisan oleh kelompok Islam formalis-puritan yang terlalu
khawatir kader-kader komunis bakal muncul kembali.
Sesungguhnya,
pelajaran penting dari ide Gus Dur itu adalah bangsa ini merupakan bangsa
ksatria yang mau mengakui kesalahan dan belajar dari fase sejarah yang gelap.
Kesediaan mengakui kesalahan pada akhirnya akan memberi ruang bagi komunikasi
kultural antar-kelompok, sehingga tidak ada lagi pertarungan politik yang
merugikan keutuhan bangsa. Rekonsiliasi kultural inilah yang kemudian
dikerjakan oleh aktivis Syarikat di Yogyakarta, yang mengembangkan
jaringan-jaringan komunitas yang peduli kepada keluarga korban tragedi 1965
dan anggota PKI yang terdiskriminasi.
Rekonsiliasi kultural perlu dikembangkan secara lebih menyeluruh dengan
melacak peristiwa-peristiwa gelap yang terjadi dalam rentang sejarah bangsa
ini, misalnya peristiwa pada 1998, yang menjadi sejarah gelap bagi
orang-orang Cina di negeri ini. Rekonsiliasi kultural merupakan bagian dari
visi "revolusi mental" yang perlu dikembangkan jika bangsa ini
ingin menjadi besar di bawah pemimpin yang bertumpu pada politik kebangsaan
dan kerakyatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar