Predikat
Swasembada
Sjamsoe’oed
Sadjad ; Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian,
Institut
Pertanian Bogor
|
KOMPAS,
31 Mei 2014
SIFAT sembada bagi orang Jawa
memang sangat unggul. Orangtua sangat berharap anak-anaknya bersikap sembada
kalau nantinya menjadi orang. Apalagi kalau predikat itu dicapai tanpa
bantuan orangtua. Jadilah dia swasembada dalam kehidupannya.
Predikat berswasembada tentu
tidak bisa 100 persen dimiliki di zaman modern, karena segala segi kehidupan
harus dijalani dengan sistem transaksional. Perlu makan dengan sedikit kecap
di nasi saja, kecapnya baru diperoleh melalui proses transaksional. Tidak
perlu susah payah berpredikat swasembada untuk membuat kecap sendiri.
Sistem transaksional dijalani
karena orang mempunyai sarana. Sarana itu berwujud uang. Oleh karena itu,
orang harus bekerja untuk mendapatkan uang. Tidak perlu menanam kedelai untuk
bisa menikmati kecap dalam menu makan.
Predikat swasembada juga menjadi
kebanggaan suatu negara, sehingga dari zaman kolonial predikat swasembada
pangan untuk seluruh bangsa selalu diupayakan.
Gerakan masyarakat untuk
berswasembada pangan yang diawali oleh swasembada beras lebih bergaung
dominan di zaman merdeka, lebih-lebih di era pemerintahan Orde Baru.
Dulu diperhatikan
Pada masa itu, petani menjadi
obyek bimbingan pemerintah untuk menopang suksesnya program swasembada pangan
pemerintah. Bahkan, bukan hanya berswasembada, pemerintah menargetkan
produksi lebih dari 10 juta ton beras sehingga bisa diekspor.
Namun, kenyataannya, petani
kurang bersemangat menanam kedelai, impor kedelai melonjak, devisa banyak
terkuras. Pemerintah lupa untuk mengatur harga dasar pembelian yang bisa
menggairahkan petani. Akibatnya petani produsen bahan pangan selalu dirugikan
dan akhirnya sektor pertanian menjadi ”gudangnya” rakyat miskin.
Betapa nelangsa manusia seperti
saya ini, yang umurnya berjalan menuju angka kepala sembilan dan separuh umur
saya diabdikan untuk ilmu pertanian. Namun, saya masih melihat kemiskinan
bangsa yang belum beranjak menjadi lebih cerah.
Bahkan, petani padi yang telah
meningkatkan produktivitas dari 2-3 ton per hektar menjadi 5-6 ton pun masih
belum bisa melepaskan diri dari garis kemiskinan. Apalagi kalau garis itu
berada pada penghasilan dua dollar AS sehari.
Sampai-sampai saya melontarkan
pertanyaan kepada seorang mahasiswa kandidat program doktor yang atas
rekomendasi promotornya menemui saya, apa benar (baca: tidak keliru) target
swasembada itu diprogramkan pemerintah sampai saat ini, kalau kenyataannya
upaya petani meningkatkan produksi tidak bisa menyejahterakan dan petani
tetap miskin.
Pertanyaan saya ini saya
mintakan kepada kandidat doktor itu untuk dijadikan salah satu hipotesis
dalam karya penulisan disertasinya.
Sayang sekali saya tidak bisa
mengikuti kelanjutan perkembangannya, karena selang dua-tiga hari berikutnya
saya mendapatkan informasi bahwa rekan saya yang saya kenal baik, promotor
kandidat doktor itu mendadak meninggal. Saya hanya bisa berharap
mudah-mudahan promotor penggantinya masih peduli juga pada swasembada pangan.
Entaskan petani
Dunia pedesaan dan pertanian
yang semestinya positif menunjang keberhasilan swasembada pangan, mestinya
juga bisa mengentaskan para petani dari kemiskinan. Kita bangga dengan
pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi apa faedahnya kalau pertumbuhan itu tidak
membawa kesejahteraan bagi kaum petani dan pedesaan.
Sistem transaksional di era
liberal berpasar bebas dicemari oleh penggunaan sistem ini untuk tindakan
negatif, seperti transaksional dalam proses pemilu atau pemilu kepala daerah,
sehingga konotasinya menjadi negatif di masyarakat.
Padahal, kalau sistem
transaksional tidak menjadi negatif, dan diterapkan di kalangan petani secara
positif, sistem itu bisa membawa petani ke medan keekonomian yang berdaya
sangat tinggi.
Bisa melahirkan aset
perekonomian kreatif yang nyata bisa melahirkan nilai tambah besar, dan
akhirnya bisa mengentaskannya dari kemiskinan.
Petani menjadi mandiri dan tidak
perlu selalu mengharapkan pemerintah mengeluarkan keputusan penetapan harga
pembelian minimum.
Bagaimana kalau kita ubah,
berpikir dari hilir dan tidak selalu dari hulu? Misalnya, dari pembangunan
industri desa yang ada kaitannya dengan perubahan pola makan kita.
Bagaimana kalau industri kreatif
kita manfaatkan untuk mengubah konstraksi pola makan nasi plus lauk-pauk
menjadi sebungkus kudapan yang tinggi nilai gizinya?
Berpikir hilirisasi dalam
melahirkan ekonomi kreativitas pedesaan industrial bisa menghilangkan budaya
petani tradisional yang nerimo ing pandum, karena sistem transaksional sudah
bisa merasuk ke dalam penalaran masyarakat termasuk petani dan masyarakat
desa. Sudah saatnya kita mengubah siasat dalam pembangunan swasembada pangan.
Semoga tulisan ini bisa menimbulkan aspirasi
bagi kalangan yang lebih luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar