“Obor
Rakyat” dan Residu Demokrasi
Agus
Sudibyo ; Direktur
Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS,
17 Juni 2014
DARI
beberapa sisi, tabloid Obor Rakyat yang menghebohkan masyarakat belakangan
ini karena kampanye negatifnya yang intensif terhadap calon presiden Joko
Widodo jelas tidak dapat diidentifikasi sebagai pers, apalagi pers yang
profesional. Tabloid yang belakangan gemar mengangkat isu SARA itu terbit
tanpa badan hukum yang jelas. Padahal, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999
menegaskan, setiap penerbitan pers harus berbadan hukum Indonesia.
Sebagaimana
telah disoroti Dewan Pers, susunan redaksi dan alamat penerbitan Obor Rakyat
juga tidak cukup jelas. Demi pertanggungjawaban kepada publik dan obyek
pemberitaan, perusahaan pers harus mencantumkan penanggung jawab, struktur,
dan alamat redaksi. Yang tak kalah penting adalah sisi profesionalisme
jurnalistik. Boleh saja Obor Rakyat mengungkit kejelekan-kejelekan capres
Jokowi. Masyarakat butuh informasi tentang capres selengkap-lengkapnya,
termasuk sisi negatifnya.
Namun,
pengungkapan sisi negatif capres harus benar-benar memenuhi prinsip
verifikasi: didasarkan pada informasi yang valid, ada proses check and recheck, memberikan kesempatan
klarifikasi sebelum berita dipublikasikan, memenuhi asas praduga tak
bersalah, dan menggunakan bentuk pengungkapan yang tidak tendensius atau
menghakimi.
Syarat-syarat
ini kelihatan sekali tidak dipenuhi Obor Rakyat. Masalah berikutnya, jelas sekali
hanya capres Jokowi yang menjadi ”obyek serangan” Obor Rakyat. Andai saja
Obor Rakyat juga bersikap yang sama terhadap capres Prabowo Subianto akan
lain ceritanya. Pers profesional akan selalu bersikap secara kritis sekaligus
proporsional terhadap semua pihak. Hal yang tak kalah penting, menyudutkan
capres dengan isu SARA sungguh tidak kondusif bagi pendidikan politik dan
pendidikan kewarganegaraan. Bangsa Indonesia sedang dalam proses memilih
pemimpin terbaik, ibaratnya tanpa memperhatikan persoalan bibit, bebet, dan
bobot.
Proses hukum
Lalu apa
yang dapat dilakukan terhadap media seperti Obor Rakyat? Media yang terbit
tanpa badan hukum yang jelas dapat dipersoalkan secara hukum dengan merujuk
pada UU Pers. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah pembelajaran bersama
apa pun hasil akhirnya. Namun, dalam konteks Pilpres 2014 tentu tidak akan
banyak dampaknya karena proses hukum perlu waktu yang panjang, sementara
pilpres tinggal menghitung hari.
Obor
Rakyat adalah residu dari demokrasi yang kita nikmati sejauh ini di
Indonesia. Dalam iklim demokrasi, siapa pun boleh mendirikan media. Atas nama
demokrasi, mekanisme SIUPP dan segala bentuk pembatasan terhadap pers harus
dihapuskan dan tidak akan dihidupkan lagi hanya karena fenomena seperti Obor
Rakyat. Namun, kebebasan mendirikan media itu tidak serta-merta dibarengi
dengan kesadaran, tanggung jawab, serta moralitas yang kondusif bagi
penciptaan ruang publik media yang demokratis dan mencerahkan. Beberapa pihak
mendirikan media dan menggunakannya dengan semangat bermain-main,
bereksperimen, ataupun dengan motif yang tidak berkaitan dengan imperatif
mencerdaskan masyarakat seperti layaknya mendasari beroperasinya institusi
pers yang profesional.
Dimensi
residual dari demokrasi ini juga terlihat dalam fenomena media sosial yang
hari-hari ini juga demikian kusut dengan praktik-praktik kampanye negatif.
Potensi demokratis-deliberatif media sosial untuk sementara tertutupi oleh
negativitas yang belum ditemukan cara mengatasinya: menjadi ajang mencerca,
menelanjangi, dan membunuh karakter tanpa ada kesempatan memadai bagi korban
untuk membela diri.
Demokrasi
pada momen dan fase tertentu memang melahirkan para free rider yang acuh tak
acuh. Demokrasi juga menghasilkan surplus kebebasan, tetapi defisit tanggung
jawab. Mengutip tokoh pers Jakob Oetama, kebebasan pers kita baru pada tahap
bebas dari belenggu tirani politik (freedom
from) dan belum beranjak ke tahap mampu memanfaatkan kebebasan itu untuk
sepenuhnya mencerdaskan masyarakat (freedom
for).
Apa mau
dikata, kita harus siap menghadapi situasi yang demikian ini sambil
terus-menerus mencari jalan keluarnya dan tanpa berpikir untuk kembali ke
masa lalu.
Namun,
penulis yakin bahwa dalam perjalanan demokratisasi masyarakat juga semakin
dewasa. Masyarakat semakin tidak mudah terpancing agitasi dan provokasi.
Masyarakat juga sudah cukup kenyang dimanipulasi para pemimpin yang suka
berkasak-kusuk dan hantam sana hantam sini untuk kepentingan diri sendiri.
Masyarakat mempertimbangkan informasi dan stimulus dari berbagai penjuru.
Hasil
pemilu legislatif bulan April lalu menunjukkan, kampanye intensif di
media-media televisi sekalipun tidak cukup signifikan untuk menggiring
pilihan politik masyarakat.
Media dan politik
Kunci
untuk menanggulangi residu-residu demokrasi itu adalah pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan melek media (media literacy). Ini yang terasa kosong dan tidak ada yang
mengerjakan menjelang pilpres kali ini. Masyarakat perlu terus-menerus
diingatkan bahwa informasi media tetap penting, tetapi perlu disaring dan
disikapi secara kritis.
Media
bisa saja salah, berpihak atau disetir oleh kepentingan politik tertentu. Ada
media yang profesional, ada media yang abal-abal. Oleh karena itu, masyarakat
harus didorong untuk bersikap rasional terhadap media. Penegakan peraturan
yang dilakukan KPI dan Dewan Pers juga sangat bergantung pada pendidikan
melek media ini.
Satu hal
lagi, demokrasi di Indonesia sesungguhnya belum mapan benar. Bandul politik
bisa saja tiba-tiba mengarah ke politik yang otoritarian seperti telah
terjadi di Mesir dan Thailand. Kita tidak dapat memastikan sikap pemerintahan
mendatang lebih ramah terhadap kebebasan pers dan berpendapat.
Karena
itu, semestinya kita lebih bijaksana menggunakan kebebasan itu. Bisa jadi
kesembronoan kita dalam menggunakan kebebasan itu akan menjadi alasan bagi
pemerintahan mendatang untuk kembali mengatur-atur kehidupan pers dan
masyarakat sipil seperti dahulu kala. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar