Koalisi
Presidensial atawa Parlementer
Oce
Madril ; Dosen
Fakultas Hukum UGM,
Peneliti
Pusat Kajian Antikorupsi UGM
|
TEMPO.CO,
18 Juni 2014
Komisi
Pemilihan Umum telah menetapkan dua pasangan calon yang akan mengikuti
Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Keduanya diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu
legislatif 2014. Tidak adanya partai politik yang memenuhi syarat
presidential threshold--memperoleh suara nasional minimal 25 persen atau
kursi parlemen sebesar minimal 20 persen--membuat partai-partai bergabung
(berkoalisi) untuk memunculkan calon presiden. Publik menyaksikan bagaimana alotnya
pembicaraan dan negosiasi antar-partai politik untuk mengusung salah satu
calon. Perolehan suara dan kursi di parlemen menjadi salah satu pertimbangan
utama.
Koalisi
yang mendukung Jokowi-JK terdiri atas empat partai politik: PDIP (109 kursi),
PKB (47 kursi), Nasional Demokrat (35 kursi), dan Hanura (16 kursi). Total
perolehan kursi parlemen pendukung koalisi Jokowi-JK adalah 207 kursi.
Sedangkan koalisi Prabowo-Hatta didukung oleh lima partai politik: Gerindra
(73 kursi), Golkar (91 kursi), PAN (49 kursi), PKS (40 kursi), dan PPP 39
kursi). Total perolehan kursi parlemen pendukung koalisi Prabowo-Hatta adalah
292 kursi. Hanya Partai Demokrat (61 kursi) yang tidak secara resmi menjadi
pengusung capres dan cawapres.
Koalisi
yang dibangun oleh masing-masing calon menunjukkan satu hal: kekuatan
dukungan di parlemen sangat diperhitungkan. Selain sebagai syarat untuk
mengajukan pasangan calon, dukungan partai di parlemen berguna untuk
meloloskan kebijakan-kebijakan penting presiden terpilih. Meskipun konstitusi
Indonesia menganut sistem presidensial, besarnya kekuasaan parlemen membuat
setiap presiden harus "menjaga
hubungan baik" dengan parlemen. Hal inilah yang sering disebut oleh
akademisi hukum tata negara sebagai fenomena "presidensial citarasa parlementer".
Walaupun
UUD 1945 tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara
yang menganut sistem presidensial, ciri-ciri utama sistem itu dapat ditemukan
dalam konstitusi. Misalnya penegasan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan
negara, adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, dan presiden
hanya dapat dijatuhkan melalui prosedur hukum jika melanggar konstitusi. Tapi
sistem presidensial Indonesia ditandemkan dengan sistem multipartai yang
tidak sederhana. Di sinilah letak persoalannya, sistem multipartai tersebut
membuat praktek pemerintahan seolah-olah menjadi parlementer.
Menguatnya
karakter parlementer dalam sistem presidensial Indonesia juga disebabkan oleh
besarnya kekuasaan yang dimiliki parlemen (DPR). Konstitusi UUD 1945
pasca-amendemen memberi fondasi yang kokoh bagi kewenangan DPR. Penguatan
parlemen tidak terlepas dari sejarah kelam pemerintahan Orde Baru yang
memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol (executive heavy).
DPR
pasca-amendemen berkuasa penuh atas fungsi legislasi, pengawasan, dan
anggaran. Tanpa persetujuan DPR, sebuah rancangan Undang-Undang (RUU)
mustahil dapat diberlakukan. Juga, walaupun Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan bahwa Badan Anggaran DPR tidak bisa terlibat dalam pembahasan
rancangan anggaran dan belanja negara (RAPBN) secara lebih detail, tetap saja
pemerintah membutuhkan persetujuan DPR agar RAPBN dapat diterapkan.
Selain
itu, DPR saat ini memiliki kewenangan pengawasan yang jauh lebih kuat
daripada sebelumnya. DPR dapat dengan mudah meloloskan hak interpelasi, hak
angket, bahkan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pemakzulan
presiden dan atau wakil presiden. Kebijakan nasional yang kontroversial
(tidak populer) dapat menjadi amunisi DPR untuk menyerang presiden.
Pengawasan DPR tidak hanya pada presiden, tapi juga pada kementerian dan
lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Menteri dan pejabat pemerintahan bisa
disibukkan oleh berbagai rapat dengan komisi terkait di DPR, baik soal
program, kebijakan, maupun anggaran.
Menguatnya
karakter parlementer diperparah oleh model koalisi pemerintahan.
Pasca-reformasi, tidak ada partai politik yang mayoritas dan dominan yang
dapat membentuk pemerintahan sendiri. Kekuatan partai politik terbagi hampir
merata. Kondisi ini memaksa setiap presiden untuk membentuk koalisi partai
politik yang mendukung pemerintah. Sebenarnya, presiden bisa saja membentuk
pemerintahan sendiri tanpa melibatkan partai politik lain. Hal ini
dimungkinkan karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan oleh
partai politik. Namun apakah presiden siap dengan konsekuensi akan diganggu
terus-menerus oleh partai-partai yang ada di DPR? Sebagaimana pengalaman
pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang hanya didukung oleh
minoritas partai di DPR dan akhirnya berujung pada pemakzulan.
Tujuan
utama pembentukan pemerintahan koalisi adalah demi stabilitas dukungan
politik di parlemen. Sebab, pertama, partai yang tidak bergabung bisa
membentuk poros oposisi di parlemen. Kedua, sulitnya menjaga komitmen koalisi
partai-partai pengusung pemerintah. Secara formal, boleh jadi ada koalisi.
Namun, dalam prakteknya, partai koalisi bisa saja menyeberang ke poros
oposisi dalam isu-isu tertentu di parlemen. Hal ini tentu akan menyulitkan
pemerintah. Lebih jauh, situasi ini dapat membentuk apa yang disebut oleh
Morris P. Fiorina dalam Divided
Government in the American States (1994) sebagai pemerintahan yang
terbelah (divided government), di
mana pemerintah dan parlemen dikuasai oleh partai (koalisi) yang berbeda,
sehingga menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif.
Sistem
multipartai yang tidak sederhana, besarnya kekuasaan DPR, dan rapuhnya
koalisi akan membuat presiden terpilih tersandera secara politik, baik oleh
partai politik maupun oleh parlemen. Solusinya, presiden terpilih harus dapat
membentuk pemerintahan koalisi yang efektif, baik di pemerintahan maupun di
parlemen. Koalisi efektif bukan berarti mengakomodasi semua partai, tapi
minimal menguasai 50 persen +1 kursi di parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar