Kita
Tidak Sedang Berperang
Mohamad
Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
|
KORAN
SINDO, 16 Juni 2014
Bahkan
dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang
menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang,
dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai
memancing-mancing kemarahan pihak “sana”.
Barang
siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan menjadi yang
kalah. Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri,
sebetulnya ada pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di
mata para arif bijaksana itu, dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila
kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih hancur-hancuran, “kalah menjadi
abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan ajaran keluhuran hidup
yang digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu.
Di sini
ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan
peperangan dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas
Buddha, sayang pada binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan
keluhuran tingkah laku yang membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi
merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi
kecoa sebagai cara hidup yang “stupid”.
Dia
bilang, kurang lebih: “It is stupid
when nations fight in a war. It is not stupid if we respect toward life.”
Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan kenyamanan,
serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila
dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, apalagi sekadar
dalam suasana kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu. Kita
sekadar sedang bersaing untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
Persaingan
itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang,
kita yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk
memperoleh penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila
bahkan dalam perang pun kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar
kepantasan etis, kita boleh curang?
Dalam
persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang
kita sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak,
yang kita harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan
keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang,
kemenangan tak akan punya makna. Selama kita menjabat, kecurangan menghantui.
Selama
kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan
bila kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak
dibenarkan etika, bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika,
dan kearifan seolah tak ada lagi di tengah kita, tapi semua masih menjadi
bagian dari kehidupan dan darah daging kita sendiri. Orang Jawa punya panduan
etis: “becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita semua
tampak jejaknya.
Budi
baik berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum
kehidupan ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa
pun yang terjadi. Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka
jaya di atas segala rekayasa yang meniadakan keluhuran hidup.
Selama
masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa
luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun
tak hitam-putih. Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang caracara
para calonpemimpinitutampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan
dan harapan yang didambakan.
Tapi,
ada pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka
kalau para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil
berteriak tentang “kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan
apa yang bakal dicapai dengan sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan
saling “membunuh” seperti itu? Kita lupa, ini hanya kampanye, hanya tahap
perjuangan untuk memenangkan kursi presiden dan wakilnya. Kita lupa ini bukan
perang.
Ini
bukan permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai
“mitra” persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para
tim suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak
“mitra” sebelah sana agar kita, bila menang, kita menang dalam keanggunan,
kita menang secara bersih, dan terhormat?
Lalu
kita sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita
pemimpin, kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak,
kita bertindak lebih terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa
kampanye yang singkat ini? Calon pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang
bersikap sebagai pemimpin, yang memberi arah, yang memberi kemungkinan dan
pilihan-pilihan yang kaya, penuh perspektif, dan bukan sikap permusuhan? Kita
ingin mewujudkan makna “persatuan” dan “kesatuan” bangsa.
Dengan
apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu
perang yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita
nyatakan itu secara jelas dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita
memiliki sesuatu yang layak kita andalkan. Kita yakinkan rakyat bahwa kita
memiliki suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita semaikan di dunia
pendidikan dan kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama
bangsa kita dan dengan bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa
yang suka damai yang menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran
agama?
Para
penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua
mengamati kita dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap
sepak terjang kita direkam dan diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam
gelap, di mana hanya kita yang ada. Tiap saat, tiap menit, tiap detik, kita
dipantau. Mereka itu yang bakal menentukan kemenangan kita. Apa yang hendak
kita tawarkan kepada dunia?
Di zaman
serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang
selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita.
Dunia melekat di dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa
yang kita tawarkan pada dunia internasional? Keamanan, ketenteraman, dan
jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum radikal apa yang bisa kita tunjukkan
pada dunia?
Bagaimana
meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan
berbasis agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia
bahwa kita memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang.
Tapi,
menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah
dengan cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak sedang
bermusuhan dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar