MASALAH KETIMPANGAN KESEJAHTERAAN
Kesempatan
juga Tak Merata
Laporan
Diskusi Panel Ahli Ekonomi
|
KOMPAS,
13 Juni 2014
KESENJANGAN
selama ini identik dengan ketidakmerataan pendapatan atau pengeluaran. Namun,
yang tidak boleh dilupakan, ada juga kesenjangan atau ketimpangan kesempatan.
Ketimpangan
kesempatan bisa dimaknai sebagai ketidaksetaraan dalam mengakses suatu hal.
Kesempatan yang timpang itu, antara lain, akses terhadap pendidikan,
kesehatan, dan jasa keuangan.
Akses
terhadap pendidikan terlihat dari data rata-rata lama sekolah sebagai
indikator melihat kualitas penduduk dalam menempuh pendidikan formal. Data
Badan Pusat Statistik tahun 2012 menunjukkan ketimpangan akses tersebut. Di
pedesaan, rata-rata lama sekolah penduduknya sekitar 6,8 tahun. Penduduk desa
umumnya bersekolah hingga kelas I SMP. Di perkotaan, rata-rata lama sekolah
sekitar 9,4 tahun. Artinya, penduduk kota umumnya mengenyam pendidikan hingga
kelas I SMA.
Ketimpangan
akses pendidikan juga terjadi pada laki-laki dan perempuan. Di perkotaan,
rata-rata lama sekolah laki-laki sekitar 9,8 tahun, sedangkan perempuan
sekitar 9 tahun. Di pedesaan, rata-rata lama sekolah laki-laki sekitar 7,2
tahun, lebih tinggi daripada perempuan yang sekitar 6,3 tahun.
Kesenjangan
akses pendidikan yang lebih nyata terjadi pada kelompok umur. Angka
partisipasi sekolah (APS) kelompok umur 7-12 tahun di perkotaan sekitar 98,82
persen, sedangkan di pedesaan sekitar 97,18 persen. Pada kelompok umur 13-15
tahun APS di perkotaan sekitar 92,37 persen, sedangkan di pedesaan sekitar
87,24 persen. Pada kelompok umur lebih tinggi, 16-18 tahun, APS di perkotaan
66,66 persen, di pedesaan 55,04 persen.
Kesenjangan
itu tecermin dalam tingkat pendidikan tenaga kerja yang menggunakan batasan
usia penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja. Pada Maret 2014, sekitar 46,8
persen tenaga kerja di Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Pada periode
sama, tenaga kerja dengan pendidikan universitas hanya 7,5 persen dari
seluruh tenaga kerja.
Kesehatan
Antara
pedesaan dan perkotaan juga terjadi ketimpangan akses bidang kesehatan.
Keterjangkauan anak umur 12-59 bulan terhadap imunisasi di perkotaan lebih
dari 90 persen. Imunisasi ini mencakup BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis
B. Di pedesaan, imunisasi BCG, DPT, dan polio menjangkau lebih dari 90 persen
anak umur 12-59 bulan, tetapi imunisasi campak dan hepatitis B masih kurang
dari 90 persen.
Akses
kesehatan berupa pertolongan persalinan juga timpang antara pedesaan dan
perkotaan. Persalinan dengan bantuan dokter di perkotaan cukup tinggi, 24,27
persen, sedangkan di pedesaan hanya 9,97 persen. Kelahiran bayi dengan
pertolongan bidan di perkotaan 66,98 persen, di pedesaan sekitar 64,54
persen. Sebaliknya, pertolongan dukun tradisional dalam persalinan di
pedesaan 22,48 persen, tiga kali di perkotaan (7,86 persen).
Dukun
tradisional adalah orang yang tak memiliki keterampilan medis meski sering
membantu persalinan. Idealnya, persalinan dibantu tenaga medis atau seseorang
berketerampilan medis.
Ketimpangan
itu juga terjadi secara geografis. Di Provinsi Sulawesi Barat, sekitar 45,94
persen kelahiran bayi menggunakan bantuan dukun. Persentase di atas 40-an
persen untuk persalinan dengan bantuan dukun juga terjadi di Provinsi Maluku
Utara sekitar 45,01 persen, Maluku sekitar 44,85 persen, dan Sulawesi Tengah
sekitar 41,39 persen.
Keuangan
Ketimpangan
kesempatan yang juga berdampak signifikan terhadap perekonomian dan
kesejahteraan adalah akses terhadap jasa keuangan. Indonesia dengan sekitar
249 juta penduduk—155 juta di antaranya dewasa—dan 44 persen tinggal di
perkotaan memiliki 120 bank komersial, sekitar 4.194 bank perkreditan rakyat,
sekitar 187.598 koperasi, dan sekitar 600.000 lembaga keuangan mikro.
Data
Bank Indonesia menunjukkan sebaran akses terhadap bank atau ATM per 100.000
penduduk bervariasi. Di DKI Jakarta, per 100.000 penduduk ada 79 bank dan 237
ATM. Di Kalimantan Timur, per 100.000 penduduk rata-rata terdapat 36,8 bank
dan 70,9 ATM. Namun, di Nusa Tenggara Timur, rata-rata hanya 17,7 bank dan
19,1 ATM per 100.000 penduduk.
Sebaran
bank dan ATM itu berpengaruh terhadap sebaran kredit yang timpang meski bank
mengikuti kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan ekonomi yang mengikuti bank.
Porsi
kredit lebih besar dari 10 persen terjadi di wilayah dengan akses perbankan
cukup mudah, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Daerah
dengan akses perbankan tidak terlalu mudah, seperti Nusa Tenggara Timur dan
Maluku, porsi kredit perbankan juga rendah.
Ambil
contoh usaha mikro, kecil, dan menengah yang jumlahnya 56,5 juta dengan
serapan 97,2 persen dari tenaga kerja di Indonesia dan menyumbang 59,1 persen
produk domestik bruto. Keterbatasan akses UMKM terhadap layanan jasa keuangan
mengakibatkan akses terhadap kredit terbatas. Padahal, faktor permodalan
merupakan penghambat utama ekspansi UMKM, sekitar 50,17 persen.
Secara
global akses masyarakat Indonesia terhadap layanan jasa keuangan masih rendah
dibandingkan dengan negara lain. Ini tecermin pada Indeks Inklusi Keuangan
yang menunjukkan persentase orang dewasa yang memiliki rekening di sektor
keuangan formal.
Indeks
Inklusi Keuangan Indonesia 19,6 persen lebih rendah daripada Vietnam (21,4
persen), Filipina (26,5 persen), India (35,2 persen), dan Malaysia (66,7
persen).
Upaya
meningkatkan akses keuangan, antara lain, melalui pengembangan layanan
keuangan digital yang memanfaatkan akses telepon seluler yang jangkauannya
lebih luas.
Terbatasnya
akses pendidikan, kesehatan, dan jasa keuangan telah menahan upaya
meningkatkan pendapatan. Akses kesempatan yang semakin timpang turut
memperparah kesenjangan pendapatan. Pada akhirnya, harus ada solusi untuk
memperluas sebesar-besarnya akses kesempatan bagi masyarakat Indonesia. Tanpa
terkecuali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar