Minggu, 01 Juni 2014

Kenapa Dolly Harus Ditutup?

Kenapa Dolly Harus Ditutup?

Restoe Prawironegoro Ibrahim  ;  Budayawan,
Alumnus Bengkel Muda Surabaya, Kini berdomisili di Jakarta
SINAR HARAPAN,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Irama musik berbagai aliran mengalun dengan keras di beberapa wisma, para GM (gamblang makelar) menawarkan jasanya kepada setiap lelaki yang lewat di depan wisma tersebut. Itu adalah gambaran aktivitas di Dolly, sebuah lokalisasi di Surabaya.

Penghuni Dolly, rata-rata dari beberapa daerah seperti Malang, Trenggalek, Kediri. Sedang mereka yang berasal Surabaya, bekerja di Dolly dengan model “paruh waktu” atau freelance.

Potret di atas kini hanya tinggal kenangan. Dolly akhirnya ditutup oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini ngotot dolly segera ditutup pada 19 Juni 2014.

Alasannya, realitas sosial yang ditangkap di lokalisasi tersebut membuat anak-anak kerap menjadi korban. Banyak perempuan di bawah umur yang dipekerjakan, padahal masih dalam usia sekolah. Begitu sumber media menuliskannya.

Berbicara soal lokalisasi pelacuran Kota Surabaya, kita harus mengenal lebih dulu dari mana datangnya bisnis seks ini. Pada 1882, pertama kali di Kota Surabaya muncul pelacuran sebuah rumah bordil yang bernama Bandara.

Lokasinya terletak di Jalan Jakarta, penghuninya cuma sembikan mucikari. Terjadilah pengoperasian pembersihan, akhirnya para mucikari banyak berlarian ke sebuah kampung bernama Kremil, Bangunrejo, dan Dupak.

Diakui atau tidak, lokalisasi prostitusi kerap menjadi pemicu pembangunan. Seperti Kupang Gunung Timur, yang dulu masih tanah kuburan akhirnya “disulap” menjadi lokalisasi pelacuran, kemudian berkembang.

Lokasinya yang sangat berdekatan dengan perkampungan warga dan berhimpitan dengan masjid maupun langgar memang memengaruhi kehidupan sosial warga sekitar. Karena ini, saya setuju sekali dengan pernyataan Tri Rismaharani, harus ada antisipasi dampak luas tersebut.

Dengan harapan, semua ulama maupun tokoh agama mengerti alasan Tri Rismaharani cepat-cepat menutup bisnis seks sebelum puasa.

Di sisi lain, menutup lokalisasi pelacuran tidak segampang yang dibayangkan, seperti “menggusur” tempat orang berdagang di kaki lima. Inilah yang perlu diberi pendekatan rohani, jasmani, maupun hukum.

Ini memang tugas yang sangat penting sekali, bukan hanya bagi Risma. Tapi juga bagi semua warga Surabaya, agar bisa membantu Walikota. Memang, menyoal pelacuran, banyak yang berargumen bahwa inilah kodrat alam, bahwa Tuhan menciptakan sorga dan neraka. Masing-masing mempunyai fasilitator, karena perlakuan seseorang dengan kapasitasnya yang ada.

Kalau ada pemerintah daerah yang memberikan kebijakan kepada lokalisasi, berilah solusi yang terbaik bagi para pekerja seks komersial tersebut.

Asal Nama Dolly

Dolly adalah sebuah potret pelacuran yang awalnya “sangat” sulit digusur maupun ditutup, apalagi untuk diungsikan ke tempat lain, meski memang sangat berdekatan dengan perkampungan sekitar.

Awalnya, Dolly cuma sebuah pekuburan Tionghoa, berupa tanah kosong. Tiba-tiba saja, muncul sosok bernama Dolly. Ia seorang perempuan yang mempunyai perangai seperti laki-laki, tomboy.

Sebelum berubah seperti laki-laki, Dolly masih sempat berumah tangga dengan laki-laki idamannya. Dalam perkawinanya, Dolly membuahkan seorang putra bernama Edy. Ia juga mengambil anak angkat bernama Bambang. Akhirnya, Dolly berusaha pelacuran. Ia mengangkat mucikari yang berasal dari Kampung Semolosewu. Di sinilah mulai dengan sebutan “Papi Dolly”, namanya terangkat. Ia mengelola satu wisma bernama Mamamia.

Tak lama, dibangun sebuah wisma bernama Barbara yang dikelola orang keturunan Belanda, di lokasi itu. Muncul kemudian Wisma TKT dan Sembilan Belas. Akhirnya, jadilah perkampungan itu menjadi nama Gang Dolly pada awal 1970.

Dalam perkembangannya, Dolly memang tidak pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung ke sana. Padahal, banyak tumbuh lokalisasi lain, seperti Moroseneng, Bangunsari, Kremil, Lasem, dan Rembang. Ada pula kompleks pelacuran yang bernama “Jarak” sebagai tempat “hijrah” lelaki hidung belang.

Dalam sejarahnya, tak ada orang yang berani “menutup”nya. Pihak yang berwenang pun tidak pernah memberikan satu kebijakan tegas soal ini. Bahkan pengaruh Dolly seakan dikukuhkan lewat pemberitaan media .

Dan, Dolly mengukukuhkan diri sebagai tempat pelacuran high class. Namun, kini, riwayatnya ada di tangan seorang perempuan bernama Tri Rismaharani. Selamat Bu Risma!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar