Indonesia
Butuh Maskapai yang Kuat
Arista
Atmadjati ; Dosen
Mata Kuliah "Aviation" Prodi S1 Pariwisata –FIB –UGM Yogyakarta, Praktisi
Penerbangan Nasional
|
KORAN
JAKARTA, 19 Juni 2014
Indonesia
telah menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang sustainable dalam satu dekade terakhir ini, utamanya di Asia. Hal
itu berimbas positif pada bisnis penerbangan niaga. Sejak tahun 2001,
kelahiran beberapa maskapai penerbangan yang masih eksis sampai dengan saat
ini, seperti Lion Air, Citilink, kemudian disusul Sriwijaya Air, Express air,
Air Asia Indonesia, dan sekitar 13 maskapai berjadwal lainnya, menjadi berkah
dari deregulasi bisnis penerbangan yang dibuka oleh Pemerintah RI kala itu.
Beberapa
maskapai kelahiran era tahun 2000-an yang masih eksis dan sukses antara lain
Lion Air, Wing Air, Sriwijaya Air, Express Air, Susi Air, Citilink, Tri Nusa,
Sky Aviation, Avia Star, dan terakhir Batik Air – tentu dengan segmen market
yang berbeda-beda sesuai dengan konsep pelayanan yang diberikan setiap
maskapai, rute yang ditempuh, dan jumlah kekuatan armada yang dimilikinya.
Bagaimana dengan dua maskapai pelat merah yang sudah ada, yakni Garuda
Indonesia dan Merpati Airline, yang sudah puluhan tahun lahir jauh sebelum
adik-adiknya didirikan?
Garuda
Indonesia berdiri tahun 1949, dan Merpati Nusantara lahir tahun 1962. Sejauh
ini, Garuda Indonesia tetap dan semakin berkibar di market domestic dengan
konsep layanan full service airline. Garuda Indonesia nyaris tanpa pesaing
berarti sampai dengan saat ini. Hanya Batik Air yang mungkin bisa membuat
Garuda kebat-kebit dalam persaingan 5–10 tahun ke depan.
Lalu,
bagaimana dengan eksistensi Merpati Airline? Sejak 10 tahun terakhir ini,
lahirnya beberapa maskapai baru yang ada di pasar persaingan, seperti Lion,
Sriwijaya, dan Indonesia Air Asia, tampaknya bukan membuat Merpti semakin
tangguh menghadapi kerasnya persaingan, malah maskapai Merpati (MZ) semakin
tergerus market share-nya, dari tahun 1980 masih menduduki porsi market share
domestik di atas 20 pct, sekarang malah menjadi hanya 1 digit.
Di depan
mata kita, tahun 2015, Indonesia harus menghadapi era global liberalisasi
dunia bisnis penerbangan minimal pada level ASEAN yang kita sudah paham akan
memasuki ASEAN Open Sky Limited pada tahun 2015 dengan prediksi jumlah
penumpang udara di Indonesia saja akan menembus angka 100 juta.
Dengan
mayoritas mengandalkan pada pesawat buatan Tiongkok MA 60 turbo propeller
peninggalan pembelian era direksi lama serta beberapa Boeing Narrow Body 737
klasik, tampaknya Merpati harus bertarung di market penerbangan dengan
adik-adiknya yang memakai fleet yang relatif lebih baru dan andal.
Lihat
saja Lion dengan B 737/900ER, Sriwijaya sudah memakai beberapa 737/800 NG
seperti yang Garuda punya, Citilink yang memakai armada Airbus AB 320 brand
new, belum di rute perintis dan Indonesia timur pelosok Papua dan Ambon,
market share Merpati juga mulai digerus oleh Susi Air dengan semua armada
small aircraft-nya yang all brand new memakai merek Grand Caravan, dan
Piaggio aircraft buatan USA.
Sejauh
ini, memang kinerja Merpati masih terseok-seok, dan puncak krisisnya, pasokan
avtur dari Pertamina di-hold untuk beberapa kota penerbangan karena utang MZ
ke Pertamina sudah melebihi kesepakatan, 100 miliar, sudah menembus 120
miliar rupiah.
Sebenarnya
masyarakat Yogyakarta juga kehilangan jasa Merpati ini. Merpati selalu
melayani rute dari Jogja ke Jakarta dan Jogja ke Bandung PP sehingga
kapasitas seat di Adisucipto juga sedikit berkurang dengan “tidak terbangnya”
Merpati kurang-lebih enam bulan ini.
Sebetulnya,
untuk keluar dari persoalan akut ini bukanlah hal yang tidak mungkin. Dalam
kasus di Merpati, sebetulnya dengan kekuatan dan harta yang menjadi prinsip
dasar bisnis penerbangan, yakni AOC (Air Operator Certificate) yang sangat
fital dan ditopang networking (rute) dan fleet (armada),
Merpati
sampai dengan saat ini memunyai pelanggan yang fanatik dan loyal, utamanya di
Papua, Kepulauan Maluku, dan NTT. Tak heran sebagian masyarakat Papua, saking
terbiasanya naik Merpati, walau sekarang ada Garuda Indonesia masuk ke Papua,
masayarakat Papua menyebut Garuda Indonesia dengan sebutan pesawat “Merpati
ekor biru”, sebagaimana Merpati yang asli ekornya dengan warna kuning, saking
kecintaan yang mendalam orang Papua menyebut Garuda adalah Merpati ekor biru.
Bukan
main, mind set dan brand merk yang kuat adalah modal utama tim sales
marketing Merpati untuk kembali meraih pasar bila dana talangan 400 miliar
sebagai modal penyertaan pemerintah sukses disetujui oleh PPA, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian BUMN jadi dicairkan.
Mengingat
Merpati adalah maskapai yang dibentuk Presiden RI Sukarno tahun 1962 ,
notabene sudah berumur 52 tahun dan 100 persen sahamnya dimiliki oleh
pemerintah (97 persen Kementerian Keuangan dan 3 persen Garuda Indonesia).
Ini
maskapai yang asli putra bangsa Indonesia yang semestinya di-back up oleh
pemerintah di tengah bisnis penerbangan yang liberal saat ini walau di
kawasan regional beberapa maskapai lokal kita telah berganti pemegangnya
seperti Awair pindah ke Air Asia, Mandala Airline sebagian di tangan Tiger
Air Singapura, Batavia hampir lolos ke Tiger juga, lalu apakah nasib Merpati
mau seperti itu?
Sebagai
aset nasional, hal itu tidak boleh terjadi. Kegagalan Merpati sama dengan
kegagalan regulator c.q Pemerintah RI dalam membina dan mencari jalan keluar
solusi yang arif bagi BUMN-nya. Strategi jual, akusisi, dan lainnya adalah
strategi yang sangat prematur, dangkal, dan tidak memililiki visi ke depan
mengenai persaingan bisnis penerbangan di ASEAN. Atau apakah kita mau jadi
penonton saja nantinya?
Ada 26
pesawat dan 66 rute, sudah 20 rute yang dipangkas oleh direksi lama, itu
sudah menjadi aset yang luar biasa bagi Merpati untuk bangkit lagi. Merpati
memang masih terbebani dengan utang yang luar biasa besarnya melebihi asetnya,
utangnya 6,2 triliun.
Namun,
sebagai alat transportasi yang sangat diperlukan untuk negara kepulauan yang
besar seperti Indonesia ini, dan transportasi yang cepat untuk memfasilitasi
kecepatan pertumbuhan Indonesia di masa depan utamanya di kepulauan kepulauan
Indonesia Timur, selayaknya pemerintah RI dan semua stake holder, baik itu
parlemen, eksekutif (kantor BUMN dan Kementerian Perhubungan) perlu
memberikan opsi penyelamatan ke Merpati dengan beberapa langkah sebagai
berikut.
1.Utang
MZ 6,2 triliun sebagaian besar juga utang ke BUMN milik pemerintah seperti
Pertamina, PAP, seharusnya dijadikan modal penyertaan pemerintah saja.
2.Melakukan
restrukturisasi utang ke pihak lessor asing yang dijembatani oleh pemerintah,
bisa berupa government guarantee letters atau bantuan proses renegosiasi
jadwal pembayaran utang.
3.Maskapai
flag carrier Garuda Indonesia yang juga memunyai saham 5 pct di Merpati, bisa
di-approach untuk memberikan technical assistance ke MZ agar terjadi proses
transformasi dari Garuda ke Merpati, paling tidak bisa mencontoh keadaan
Garuda yang pernah juga mengalami masa sulit tahun 1990-an kemudian Garuda
bisa juga sukses melakukan proses turn around ke arah positif.
Kenapa
Merpati harus dibantu semua stakeholder? Memproteksi dua maskapai nasional
Garuda dan Merpati utamanya adalah salah satu upaya dalam rangka memperkuat
fungsi pertahanan dari sisi ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi,
politik, sosial, budaya), apalagi selama ini Merpati sudah akrab dan memunyai
skill dan net working dan branding yang bagus di wilayah Indonesia Timur,
artinya misi membantu Merpati sejalan juga dengan spirit mengembangkan dan
mempercepat pembangunan di Indonesia Timur dalam program MP3EI Indonesia
wilayah Timur, dan alat transportasi faktor penting untuk mempercepat semua
proses pembangunan itu.
Daripada
membangun sebuah maskapai baru yang modal awalnya secara textbook 4 triliun
dengan pengalaman yang baru, saya rasa lebih rasional bila dana sebesar itu
untuk menyehatkan maskapai pelat merah kita Merpati. Tentu bila semua
stakeholder sudah mau berkomitmen membantu Merpti, kalangan manajeman dan
semua staf MZ juga harus tahu diri, introspeksi.
Kuncinya,
semua jajaran Merpati harus bekerja extraordinary, memunyai sense of crisis
di semua lini, menciptakan musuh bersama seperti meraih kepercayaan kembali
pelanggannya, mengurangi beban utang dengan menaikkan seat load factor dan
weight load factor sehingga revenue juga meningkat dan harus kreatif
menciptakan peluang seperti yang sudah ada selama ini KSO Kerjasa operasi
dengan Pemda-2 yang tiap kabupaten adalah salah satu terobosan jitu di
samping misalnya merebut charter flight untuk angkutan kampanye Pemilu
mendatang, merebut feeder angkutan haji ke embarkasi dan masih banyak lagi.
Semoga dua maskapai pelat merah Garuda dan Merpati tetap akan eksis di tengah
zaman liberalisasi dalam bisnis penerbangan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar