Dicari
: Pemimpin Pluralis yang Berani Mati
Fanny
Henry Tondo ; Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 20 Juni 2014
Situasi
yang plural merupakan sesuatu yang given di Indonesia. Situasi tersebut
tercermin dalam berbagai bentuk, seperti bahasa, suku, budaya, agama, dan
sebagainya.
Pluralitas
dalam dimensi bahasa misalnya, memperlihatkan Indonesia merupakan negara
kedua terbanyak jumlah bahasanya setelah Papua Nugini. Jika Papua Nugini
memiliki 837 bahasa, Indonesia terdiri atas 706 bahasa (Lewis dkk, 2014).
Pluralitas
merupakan suatu hal yang final dan tidak perlu dipersoalkan lagi.
Permasalahannya sekarang, bagaimana kita mempertahankan dan merawatnya. Dalam
hal ini, sangat diperlukan pemimpin pluralis yang tangguh dan berani
menyinergikan semua keberagaman tersebut untuk cita-cita bersama tanpa takut
terhadap berbagai ancaman yang muncul.
Pluralitas di Awal Republik
Pada
masa perjuangan kemerdekaan sampai awal berdirinya Republik ini, sudah tampak
nuansa pluralitas. Sumpah Pemuda, misalnya, diikrarkan pada 28 Oktober 1928
oleh para pemuda dari berbagai wilayah Tanah Air. Tidak saja datang dari
kawasan barat Indonesia, tetapi mereka juga banyak berasal dari kawasan timur
seperti Minahasa, Maluku, dan sebagainya.
Hal
tersebut merupakan fakta yang tak terbantahkan, pluralitas dalam segala
dimensinya telah tumbuh di negara ini seiring dicapainya kemerdekaan dari
pihak penjajah. Demikian pula dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Para pejuang dan tokoh-tokoh atau para pemimpin perjuangan pun berasal dari
latar belakang berbeda, baik agama maupun suku atau ras.
Semuanya
bersatu padu berjuang mempertahankan apa yang sudah dicapai dengan susah
payah, serta pengorbanan yang sangat mahal oleh para pejuang yang rela
mengorbankan harta dan nyawanya.
Kondisi
ini pun tetap berlangsung dan terjaga sampai pada masa pembangunan untuk
mengisi kemerdekaan hingga era Reformasi, walaupun tanpa menafikan berbagai
ancaman disintegrasi yang acap kali datang. Para pemimpin bangsa ini pun
berasal dari latar belakang suku yang beragam, diversitas tersebut sangatlah
tercermin pada tataran pemimpin elite sekalipun.
Model
Banyak
model pemimpin sebelumnya atau saat sekarang yang telah mampu menunjukkan
kepedulian dan penghargaan terhadap keberagaman dan keunikan Indonesia. Satu
di antaranya yang paling menonjol yaitu Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), yang memerintah antara 1999-2001.
Gus Dur
telah mampu mengakomodasi kepentingan berbagai elemen bangsa ini dan dapat
mengayomi serta memberikan rasa tenang kepada semua elemen bangsa. Wajarlah
bila beliau sangat terkenal sebagai tokoh pluralis tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga sampai di mancanegara.
Selain
Gus Dur, contoh lain yaitu Dr Sinyo Harry Sarundajang. Peraih doktor ilmu
politik UGM dan juga peserta Konvensi Capres Partai Demokrat ini, merupakan
tokoh pluralis lainnya yang dapat dijadikan model.
Selain
sebagai peraih sejumlah penghargaan nasional dan internasional, tokoh asal
Minahasa ini memiliki kemampuan merawat keberagaman. Hal ini terbukti di
Sulawesi Utara, provinsi yang dipimpinnya selama dua periode (2004-2009 dan
2010-2015). Provinsi ini sangat terkenal dengan tingginya toleransi dan
kerukunan antarumat beragama. Tentunya,
masih banyak lagi model pemimpin pluralis yang tak sempat disebutkan satu per
satu di sini.
Rawat Keberagaman
Pluralitas
hendaknya tidak dipandang sebagai suatu ancaman, tetapi sebagai potensi besar
untuk kemajuan bersama, kemajuan untuk sebuah negara besar yang didirikan
dengan banyak cucuran darah dan air mata oleh para pendiri bangsa ini.
Pengalaman
membuktikan, jika tidak ada upaya merawat dan menjaga keberagaman ini,
niscaya disintegrasi dalam berbagai tataran akan muncul di depan mata kita.
Cita-cita bersama yang telah ditetapkan para pendiri bangsa ini, untuk
Indonesia yang adil dan makmur, akan menjadi sia-sia belaka.
Konflik
horizontal yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara pada waktu lalu merupakan pelajaran
berharga yang tidak dapat dilupakan. Pengaruh yang diakibatkan konflik
tersebut telah menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi masyarakat, baik
secara fisik maupun mental.
Capaian
pembangunan yang telah diperoleh selama ini banyak yang hancur-lebur dan
sudah pasti kerugian terjadi di mana-mana, pembangunan harus dimulai dari
awal lagi.
Kerugian
materi, waktu, dan tenaga merupakan akibat apabila keberagaman tidak dirawat
dengan baik. Selain itu, tali persaudaraan akan putus dan penderitaan serta
sengsara juga yang akan dituai. Contohnya, dapat diperhatikan di berbagai
belahan dunia lainnya yang mengalami disintegrasi, seperti di Rusia. Harga
yang harus dibayar tentunya sangat mahal, termasuk nyawa manusia.
Oleh
karena itu, hal yang paling penting di atas semuanya yaitu pemimpin harus
berdiri di atas semua golongan dan mengakomodasi kepentingan semua elemen
bangsa dengan arif dan bijaksana. Jadi, tidak satu pun yang merasa
dinomorduakan.
Pemimpin
juga harus berani berdiri di atas kebenaran dan berani mengatakan salah kalau
suatu hal dinilai salah dan melanggar peraturan atau konvensi yang telah
disepakati bersama. Semoga Indonesia ke
depan memiliki pemimpin pluralis yang dapat melindungi dan menyejahterakan
semua warga bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar