Minggu, 22 Juni 2014

Dicari : Pemimpin Pluralis yang Berani Mati

Dicari : Pemimpin Pluralis yang Berani Mati

Fanny Henry Tondo  ;   Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) Jakarta
SINAR HARAPAN,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Situasi yang plural merupakan sesuatu yang given di Indonesia. Situasi tersebut tercermin dalam berbagai bentuk, seperti bahasa, suku, budaya, agama, dan sebagainya.

Pluralitas dalam dimensi bahasa misalnya, memperlihatkan Indonesia merupakan negara kedua terbanyak jumlah bahasanya setelah Papua Nugini. Jika Papua Nugini memiliki 837 bahasa, Indonesia terdiri atas 706 bahasa (Lewis dkk, 2014).

Pluralitas merupakan suatu hal yang final dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Permasalahannya sekarang, bagaimana kita mempertahankan dan merawatnya. Dalam hal ini, sangat diperlukan pemimpin pluralis yang tangguh dan berani menyinergikan semua keberagaman tersebut untuk cita-cita bersama tanpa takut terhadap berbagai ancaman yang muncul.

Pluralitas di Awal Republik

Pada masa perjuangan kemerdekaan sampai awal berdirinya Republik ini, sudah tampak nuansa pluralitas. Sumpah Pemuda, misalnya, diikrarkan pada 28 Oktober 1928 oleh para pemuda dari berbagai wilayah Tanah Air. Tidak saja datang dari kawasan barat Indonesia, tetapi mereka juga banyak berasal dari kawasan timur seperti Minahasa, Maluku, dan sebagainya.

Hal tersebut merupakan fakta yang tak terbantahkan, pluralitas dalam segala dimensinya telah tumbuh di negara ini seiring dicapainya kemerdekaan dari pihak penjajah. Demikian pula dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang dan tokoh-tokoh atau para pemimpin perjuangan pun berasal dari latar belakang berbeda, baik agama maupun suku atau ras.

Semuanya bersatu padu berjuang mempertahankan apa yang sudah dicapai dengan susah payah, serta pengorbanan yang sangat mahal oleh para pejuang yang rela mengorbankan harta dan nyawanya.

Kondisi ini pun tetap berlangsung dan terjaga sampai pada masa pembangunan untuk mengisi kemerdekaan hingga era Reformasi, walaupun tanpa menafikan berbagai ancaman disintegrasi yang acap kali datang. Para pemimpin bangsa ini pun berasal dari latar belakang suku yang beragam, diversitas tersebut sangatlah tercermin pada tataran pemimpin elite sekalipun.

Model

Banyak model pemimpin sebelumnya atau saat sekarang yang telah mampu menunjukkan kepedulian dan penghargaan terhadap keberagaman dan keunikan Indonesia. Satu di antaranya yang paling menonjol yaitu Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang memerintah antara 1999-2001.

Gus Dur telah mampu mengakomodasi kepentingan berbagai elemen bangsa ini dan dapat mengayomi serta memberikan rasa tenang kepada semua elemen bangsa. Wajarlah bila beliau sangat terkenal sebagai tokoh pluralis tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai di mancanegara.

Selain Gus Dur, contoh lain yaitu Dr Sinyo Harry Sarundajang. Peraih doktor ilmu politik UGM dan juga peserta Konvensi Capres Partai Demokrat ini, merupakan tokoh pluralis lainnya yang dapat dijadikan model.

Selain sebagai peraih sejumlah penghargaan nasional dan internasional, tokoh asal Minahasa ini memiliki kemampuan merawat keberagaman. Hal ini terbukti di Sulawesi Utara, provinsi yang dipimpinnya selama dua periode (2004-2009 dan 2010-2015). Provinsi ini sangat terkenal dengan tingginya toleransi dan kerukunan antarumat beragama.  Tentunya, masih banyak lagi model pemimpin pluralis yang tak sempat disebutkan satu per satu di sini.

Rawat Keberagaman

Pluralitas hendaknya tidak dipandang sebagai suatu ancaman, tetapi sebagai potensi besar untuk kemajuan bersama, kemajuan untuk sebuah negara besar yang didirikan dengan banyak cucuran darah dan air mata oleh para pendiri bangsa ini.

Pengalaman membuktikan, jika tidak ada upaya merawat dan menjaga keberagaman ini, niscaya disintegrasi dalam berbagai tataran akan muncul di depan mata kita. Cita-cita bersama yang telah ditetapkan para pendiri bangsa ini, untuk Indonesia yang adil dan makmur, akan menjadi sia-sia belaka.

Konflik horizontal yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara pada waktu lalu merupakan pelajaran berharga yang tidak dapat dilupakan. Pengaruh yang diakibatkan konflik tersebut telah menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi masyarakat, baik secara fisik maupun mental.

Capaian pembangunan yang telah diperoleh selama ini banyak yang hancur-lebur dan sudah pasti kerugian terjadi di mana-mana, pembangunan harus dimulai dari awal lagi.

Kerugian materi, waktu, dan tenaga merupakan akibat apabila keberagaman tidak dirawat dengan baik. Selain itu, tali persaudaraan akan putus dan penderitaan serta sengsara juga yang akan dituai. Contohnya, dapat diperhatikan di berbagai belahan dunia lainnya yang mengalami disintegrasi, seperti di Rusia. Harga yang harus dibayar tentunya sangat mahal, termasuk nyawa manusia.

Oleh karena itu, hal yang paling penting di atas semuanya yaitu pemimpin harus berdiri di atas semua golongan dan mengakomodasi kepentingan semua elemen bangsa dengan arif dan bijaksana. Jadi, tidak satu pun yang merasa dinomorduakan.

Pemimpin juga harus berani berdiri di atas kebenaran dan berani mengatakan salah kalau suatu hal dinilai salah dan melanggar peraturan atau konvensi yang telah disepakati bersama. Semoga Indonesia ke depan memiliki pemimpin pluralis yang dapat melindungi dan menyejahterakan semua warga bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar