Banyak
Peluang, Jangan Disia-siakan!
Faisal
Basri ; Pengamat Ekonomi
|
KOMPAS,
02 Juni 2014
KISAH-kisah
yang termaktub di dalam kitab suci bukanlah dongeng. Tak sedikit yang telah
dijadikan sebagai landasan pengembangan teori ekonomi. Salah satunya adalah
kisah Nabi Yusuf yang menginspirasikan teori siklus bisnis. Dalam Al Kitab
dan Al Quran dikisahkan Raja Mesir yang bermimpi melihat tujuh sapi kurus
yang memangsa tujuh sapi gemuk serta tujuh bulir gandum yang hijau dan bernas
serta tujuh bulir gandum yang kering dan kopong.
Hanya
Nabi Yusuf yang mampu menakbirkan mimpi raja yang menggambarkan bakal terjadi
tujuh tahun masa sulit (paceklik).
Sebelum tiba masa itu, tatkala iklim sedang baik, Nabi Yusuf meminta rakyat
Mesir bercocok tanam sebaik-baiknya dan tidak berfoya-foya menghabiskan hasil
panen yang melimpah. Hasil panen ditabung kecuali sedikit yang dipakai untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ternyata
benar terjadi masa paceklik. Namun, rakyat Mesir tidak mengalami kesulitan
karena mampu hidup dari tabungan mereka. Tabungan tidak hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup selama masa paceklik, tetapi juga bisa memenuhi
kebutuhan rakyat sejumlah negeri sekitar. Keuntungan berganda dinikmati
rakyat Mesir.
Seharusnya
kita malu karena tak kunjung mau belajar dari kisah ribuan tahun silam.
Tatkala harga komoditas menjulang, negara memperoleh hasil pajak yang
melonjak, semua dibelanjakan untuk hal yang bersifat konsumtif, bukannya
untuk meningkatkan kapasitas produksi di masa mendatang.
Lebih
parah lagi, peristiwa global kerap dijadikan biang kesalahan. Jika
perekonomian dunia memburuk, dipersalahkan menjadi penyebab ekspor turun.
Ketika perekonomian dunia membaik dan ekspor tetap turun, yang disalahkan
harga batubara yang melorot karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang turun
walau hanya 0,2 persen.
Sebaliknya,
jika perekonomian dunia membaik dan perekonomian Amerika Serikat pulih,
perumus kebijakan pun mengeluh.
Tugas pemerintah
adalah untuk menjinakkan fluktuasi perekonomian karena ada konjungtur
sehingga rakyat tidak berjibaku tanpa jaring-jaring pengaman. Ketika di
negara tetangga terjadi gejolak, kita harus mampu menangkap peluang.
Julukan
perekonomian Thailand sebagai Teflon
Economy karena bertahun-tahun bergeming menghadapi gejolak politik
akhirnya pudar. Gejolak politik berkepanjangan sejak 2006 sangat terasa
menekan perekonomian mereka. Sektor pariwisata yang menyumbang devisa sekitar
35 miliar dollar AS dan 10 persen produk domestik bruto pada triwulan I-2014
merosot 5 persen. Wisatawan asing turun 400.000 orang. Walau tidak separah
Thailand, Malaysia juga mengalami tekanan di sektor pariwisata pasca
hilangnya pesawat MH370 dan penculikan dua warga negara Tiongkok di Sabah.
Malaysia
dan Thailand menyedot wisatawan asing di ASEAN masing-masing 25 juta dan 22,4
juta kedatangan pada 2012. Pada tahun yang sama, Indonesia di posisi keempat
dengan 8 juta kedatangan, di bawah Singapura di posisi ketiga dengan 11,1
juta kedatangan. Pada 2013, wisatawan asing yang masuk ke Indonesia naik
menjadi 8,8 juta. Dalam tiga bulan pertama tahun 2014, kedatangan wisatawan
asing sudah 2,2 juta atau naik 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun
lalu. Jika kita bisa memanfaatkan peluang emas dinamika regional, wisatawan
asing ke seluruh tujuan wisata Indonesia bisa mencapai sekitar 10 juta.
Dengan
menggunakan data pengeluaran rerata wisatawan asing Januari-Maret 2014
sebesar 1.110 dollar AS, devisa yang diperoleh dari turis asing pada 2014
bakal mencapai lebih dari 11 miliar dollar AS.
Tensi
politik yang meninggi antara Jepang dan Tiongkok serta ketegangan yang
meningkat di Laut Tiongkok Selatan, terutama Vietnam dan Filipina, menambah
peluang Indonesia meraup penanaman modal asing langsung.
Sejak
2013, Indonesia sudah menjadi negara paling menjanjikan bagi perusahaan
manufaktur Jepang yang beroperasi di luar negeri. Sebelumnya, Tiongkok selalu
di posisi puncak. Posisi Thailand juga selalu lebih tinggi selama 2003 hingga
2011.
Sekaranglah
peluang Indonesia menerima lebih banyak investasi asing di sektor industri
manufaktur. Di antara industri manufaktur yang paling menonjol adalah
industri otomotif. Pertumbuhan produksi mobil di Indonesia sudah hampir dua
kali lipat dari Thailand. Sementara itu, pertumbuhan produksi di Thailand
sejak 2009 sudah tiga kali negatif dan tahun lalu nyaris stagnan.
Ekspor
mobil dalam bentuk utuh dan set completely
knocked down (CKD) pada 2013 sudah mencapai 276.000 unit dan tiga bulan
pertama tahun ini sebanyak 70.000 unit. Pada waktu bersamaan, impor mobil
turun sehingga defisit perdagangan otomotif turun cukup signifikan.
Masih
banyak lagi peluang yang terbentang di depan mata di tengah gejolak
perekonomian dunia dan regional yang tak berkesudahan. Mengeluh saja hanya
akan membuat kita terbawa arus tak menentu. Membuat kita semakin tak
berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar