Tubuh
Primordial dari Sebuah Festival Teater
Ahda Imran ;
Penyair, Esais
|
KOMPAS,
06 April 2014
Tak
pernah ada di Indonesia sebuah festival teater berbahasa daerah yang secara
kontinu berlangsung sepanjang 25 tahun, seperti Festival Drama Basa Sunda
(FDBS). Berlangsung dua tahunan sejak 1988, di Gedung Kesenian Rumantang
Siang Bandung, dan diselenggarakan oleh Teater Sunda Kiwari (TSK). Peneraan
kata ”drama basa Sunda” menjelaskan bentuk pertunjukan yang dianut oleh
festival ini, yaitu teater modern dalam bahasa daerah. Peneraan ini sekaligus
sedang menjelaskan hasrat TSK mensyiarkan anutan ideologi estetika mereka,
yakni menaruh atau memaknai bahasa dan tubuh primordial (Sunda) di atas
panggung teater modern.
Festival
ini seakan ingin menawarkan perspektif berikutnya demi memeriksa asumsi bahwa
jagat teater modern adalah teater urban. Jagat yang setidaknya terkesan kuat
menaruh setiap pertunjukan berbahasa lokal sebagai yang bukan teater modern.
Bila pun ada, lokalitas itu tak lebih sekadar demi meneguhkan apa yang
disebut dengan teater modern Indonesia, sebagaimana mengemuka dalam tema
perhelatan Forum Teater Empat Kota 1976 di Jakarta: ”Warna Daerah dalam Teater Indonesia”. Atau, yang mudah ditemukan
dalam berbagai produksi kelompok teater modern dengan latar warna dan idiom
budaya daerah.
Pertama
kali diselenggarakan tahun 1988, festival ini seolah memaklumatkan suatu
sikap di tengah jarak yang luas antara bentuk teater tradisional dan modern.
Maklumat yang pula dinyatakan oleh TSK ketika kelompok ini didirikan tahun
1975 lewat penamaan ”Sunda Kiwari”. Sebuah frasa yang mengambil jarak tegas
terhadap jejak masa lalu yaitu bentuk teater tradisional Sunda, seperti
Longser.
Sikap
ini juga mengandung hasrat untuk berkompromi atau menemukan semacam konsensus
estetis dengan konsepsi seni modern. Namun, seraya itu pula TSK melainkan
identitas mereka dari orientasi kultural yang diusung oleh teater modern
seperti Studiklub Teater Bandung (STB), yang di tahun 1970-an menjadi
”patron” kelompok-kelompok teater di Bandung.
Tubuh yang genting
Lebih
dari sekadar demi mensyiarkan anutan sebuah konsep estetis, FDBS merupakan
ikhtiar merawat dan memaknai narasi tubuh primordial (Sunda) dalam bentuk
teater modern. Demi keperluan itulah naskah wajib yang disediakan seluruhnya
mengambil latar budaya Sunda. Semacam cara
untuk
merayakan narasi tubuh yang lain di luar narasi bahasa dan tubuh urban yang
selalu dilekatkan pada teater modern Indonesia. Pendeknya, FDBS merupakan
peristiwa merayakan pemaknaan narasi dan tubuh primordial dalam watak dan
bentuk teater modern.
Tetapi,
perayaan ini ternyata memperlihatkan gelagat yang lumayan genting pada watak
tubuh primordial yang kian menyusut akibat pengalaman tubuh yang dibesarkan
oleh teks-teks urban. Akibatnya, referensi aktor dengan segala ihwal yang
berada di balik penanda teks (bahasa) primordial tampak kian menipis. Gelagat
yang tak cukup dicurigai karena perkara teknis pemeranan atau penyutradaraan.
Melainkan dari segala ihwal yang bertaut dengan lenyapnya batasan geografis
antara kota dan lembur (kampung) yang berimplikasi pada hubungan pengalaman
berbahasa dan tubuh. Ini bahkan kerap dijumpai pada kelompok-kelompok teater
yang berasal dari daerah: Ciamis, Tasik, Sukabumi, Sumedang, atau Kuningan.
Terlebih peserta umumnya adalah kelompok teater dari berbagai daerah yang
seluruhnya anak muda.
Setidaknya
dari tiga atau dua pelaksanaan FDBS terakhir, terasa betapa tubuh primordial
(Sunda) itu tergagap-gagap berkorespondensi dengan segala penanda di balik
teks (lakon). Mulai dari gestur yang kehilangan referensinya sebagai tubuh
primordial, hingga keganjilan mengartikulasikan situasi tubuh dalam
pengalaman berbahasa. Pengalaman yang bahkan pernah dijumpai oleh kelompok
Mainteater ketika mereka mementaskan naskah berbahasa Sunda ”Sandekala” (Godi Suwarna) yang
disutradarai Wawan Sofwan tahun 2008. Pengalaman berbahasa yang membuat tubuh
para aktor berada dalam situasi yang tidak senyaman ketika naskah ini kembali
dipentaskan dalam bahasa Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Tetapi,
barangkali kegentingan ini juga sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang membuat
festival ini menjadi bagian dari cara menelisik bagaimana realitas urban
memengaruhi pengalaman tubuh primordial. Ketiadaan jarak mental dan
pembesaran watak tubuh urban telah membuat tubuh para aktor bekerja keras
untuk mempersempit jaraknya dengan narasi primordial. Terutama lagi sejumlah
naskah yang disediakan dalam festival ini masih belum beranjak dari narasi
ihwal lembur dengan watak teks yang baku.
Kegentingan
tubuh primordial akibat pembesaran tubuh urban sesungguhnya ialah risiko yang
niscaya dalam gerak modernitas. Oleh sebab itulah, penampilan berpuluh
kelompok teater dalam festival yang akan dimulai bulan April 2014 mendatang
ini, tampaknya bukan sekadar ingin dimaknai sebagai peristiwa teater.
Melainkan peristiwa manakala tubuh primordial berupaya melakukan interupsi
atas pembesaran narasi tubuh urban, seraya berharap kegentingan itu kelak
berujung pada peluang berikutnya dalam memaknai kekinian dan identitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar