“The
Invisible Hand” Dorong Pencapresan Jokowi
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
21 Maret 2014
Kalau
dicermati tanpa pretensi, Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jaya yang
dicapreskan PDI Perjuangan, terkesan tidak terlalu ambisius menjadi Presiden
RI. Kesan itu terlihat dari berbagai respon eksplisit dan bahasa tubuhnya.
Sikap
Jokowi datar saja sewaktu Jumat 14 Maret 2014 pagi, menjelaskan kepada pers
tentang apa yang sudah dikantornginya dari Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri. Raut mukanya, sama sekali tidak sumringah misalnya. Bahasanya
tidak meledak-ledak. Tidak terucap kata terima kasih kepada Ketua Umum DPP
PDIP Megawati. Sekalipun pencapresannya merupakan sebuah kehormatan dan
langkah tersendiri yang diberikan oleh partai nasionalis tersebut.
"Saya
sudah mengantongi mandat Ketua Umum Ibu Megawati menjadi capres PDIP dan saya
siap," katanya beberapa jam menjelang namanya diumumkan Puan Maharani,
Ketua Pemenangan Pemilu PDIP.
Itu
saja. Dan penegasan itu dilakukan di tengah kesibukannya melakukan kunjungan
di sebuah kampung di Ibu Kota. Jokowi juga tidak menggelar konperensi pers
pasca pengumuman pencapresannya oleh Puan Maharani di Markas Besar PDIP, Lenteng
Agung, Jakarta Selatan. Hingga seminggu pasca pengumuman pencapresannya,
Jokowi masih tetap seperti dulu. Tidak berubah.
Kesan
lainnya yang agak mempribadi, Jokowi sepertinya "minder". Kalau
membayangkan SBY, Presiden yang mungkin akan digantikannya, Jokowi seperti
membayangkan tubuh tambun SBY sementara dirinya yang terlalu kerempeng. SBY
seorang jenderal bergelar doktor dan pernah mendapat pendidikan di Amerika
Serikat, sementara Jokowi hanya seorang insinyur sipil dari sebuah
universitas lokal.
Perhatikan
jawabannya atas pertanyaan wartawan ketika menyebut Abraham Samad, Ketua KPK,
sebagai sosok yang diminati Prabowo Subianto menjadi cawapres. "Yah
kalau Pak Abraham Samad, dia cocok untuk menjadi Presiden...", begitu
jawab Jokowi.
Lain
yang ditanya, lain yang dijawab. Yang ditanyakan kemungkinan Samad menjadi
Orang Nomor Dua, tetapi oleh Jokowi dijawab: Ketua KPK itu cocok menjadi
Presiden!
Megawati,
Puan Maharani dan petinggi PDIP lainnya boleh jadi dibuat bingung dengan
pernyataan Jokowi seperti itu. Sebab jawabannya terkesan kosong, tidak
nyambung dengan konteks yang dipertanyakan. Jokowi belum merasa sebagai
seorang calon presiden.
Yah,
itulah Jokowi. Jawabannya seputar presiden dan kepresidenan, tanpa beban.
Semakin mempertegas Gubernur DKI Jaya periode 2012-2017 ini, bukanlah seorang
ambisius. Sikap Jokowi seperti 'acuh tak acuh' atas pencapresan dirinya,
memicu komentar yang mengaitkan campur tangan kekuatan yang tak terlihat.
Ada
"invisible hand", yang mendorong Jokowi menjadi capres. Ada campur
tangan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam perjalanan penting setiap manusia. Jokowi
memang bukan sosok yang punya cita-cita menjadi Presiden. Oleh sebab itu dia
tidak pernah mempersiapkan diri seperti politisi lainnya.
Tetapi
kuasa Tuhan Sang Maha Penguasa, menakdirkan Jokowi justru yang menjadi salah
seorang capres dalam Pilpres 2014. Megawati yang ditengarai masih
bercita-cita nyapres, mau tidak mau mengorbankan egonya. Megawati berikan
tiket capres PDIP kepada Jokowi.
Jokowi
tidak pernah melobi dukungan apalagi melamar. Tetapi lembaga-lembaga
surveilah yang 'membesarkannya'. Jokowi tidak pernah mengumbar kehebatannya
sebagai birokrat. Tapi berbagai kelompok masyarakat - yang tidak mengenalnya
langsung, justru membentuk barisan relawan untuk mendukung pencapresannya.
Uniknya
lagi para relawan, tidak menagih uang sponsor dari Jokowi. Walaupun kita
perlu curiga, kalau Jokowi jadi Presiden, para relawan ini kemungkinan besar
akan berbondong-bondong menagih upeti ke Jokowi.
Jokowi
boleh jadi akan dicatat sejarawan Indonesia sebagai satu-satunya tokoh
'ndeso' yang didaulat jutaan simpatisan dari ndeso sampai kota untuk menjadi
capres. Inilah sebuah fenoma baru dalam kehidupan politik Indonesia 2014.
Fenomena
Jokowi ini sangat kontras dengan peta politik Indonesia secara keseluruhan.
Fenomena Indonesia menjelang Pilpres 2014, terdapat sejumlah politisi senior
yang terlalu memaksakan diri supaya bisa menjadi calon presiden.
Dengan
membuat berbagai ragam alat pencitraan, mereka simpulkan sendiri, merekalah
yang paling disukai rakyat. Opini rakyat mereka catut. Belum apa-apa sudah
berbohong kepada rakyat.
Sekalipun
hasil survei-survei mengatakan tingkat elektabilitas mereka tetap di bawah
posisi Jokowi, tetapi mereka tidak menganggap hasil survei itu sebagai bahan
rujukan yang valid.
Sewaktu
PDIP belum mengumumkan pencapresan Jokowi, para politisi ambisius, berusaha
mendekat dan menggandeng mantan Wali Kota Solo itu, sebagai pasangan cawapres
mereka. Jokowi menjelma secara tiba-tiba seperti gadis desa yang cantik
alamiah. Para pejaka kota pun berbondong-bondong menawarkan kembang dan
sejumlah wewangian.
Tetapi
begitu Jokowi ditetapkan oleh PDIP, tiba-tiba Gubernur DKI itu, mendapat
berbagai serangan. Dia menjadi wanita desa yang dianggap kampungan. Dia perlu
dipenjara. Salah satu serangan dengan metode baru yaitu menggugat secara
hukum.
Dengan
mengatas namakan warga Jakarta, sebuah tim pengacara mengajukan gugatan atas
pencapres Jokowi. Pencapresan dianggap merugikan warga Jakarta, pihak yang
katanya sudah diberi janji-janji Jokowi ketika di 2012 berkampanye menjadi
Gubernur DKI.
Kesannya,
serangan itu terlalu mengada-ada atau dipaksakan. Bahkan bisa saja bagian
dari rekayasa para politisi yang kecewa terhadap Jokowi. Lewat gugatan
tersebut, Capres PDIP ini diserang supaya namanya rusak. Kalau sudah rusak,
ada harapan kekuatan Jokowi di Pilpres 2014, melemah.
Apakah
cara ini masuk kategori kampanye hitam? Entahlah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar