“Quo
Vadis” Presidensialisme?
Makmur Keliat ; Pengajar FISIP Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 April 2014
PEMILU
legislatif baru saja selesai. Walau masih menantikan rekapitulasi perhitungan
suara resmi KPU, hampir dapat dipastikan komposisi perolehan suara setiap
partai di DPR akan menggambarkan komposisi hasil hitung cepat yang dilakukan
berbagai lembaga survei.
Terdapat
dua fakta politik dari hasil hitung cepat ini. Pertama, kekuatan politik di
DPR tetap tergambarkan sangat majemuk. Kedua, tak hanya majemuk, tetapi juga
tak ada partai yang mayoritas atau dominan di DPR. Sirkulasi pergantian elite
politik di DPR memang pasti akan terjadi. Sejumlah wajah baru akan muncul.
Namun, watak DPR sebagai institusi dengan banyak kutub politik dipastikan tak
akan mengalami perubahan substansial.
Konsekuensi strategis
Identifikasi
yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat setidaknya tiga konsekuensi
strategis dari hasil pemilu legislatif seperti ini dalam pengelolaan
kekuasaan di Indonesia di masa depan. Pertama, kemajemukan politik masyarakat
Indonesia harus diterima sebagai suatu faktor permanen. Partai politik adalah
instrumen untuk melembagakan kemajemukan itu. Kemajemukan ini tidak mungkin
dihilangkan kecuali parpolnya dihilangkan. Mengutip Erhard Eppler (2009),
situasi seperti ini logis.
Bukankah
parpol secara semantik berasal dari istilah Latin pars yang berarti ’semata-mata bagian dari masyarakat’.
Logikanya, penyederhanaan kemajemukan parpol di DPR hanya bisa dilakukan
dengan cara ”menyederhanakan” keragaman masyarakatnya. Namun, solusi dengan
strategi ”depolitisasi” politik seperti ini tidak mungkin akan dilakukan
dengan cara-cara otoritarian. Konsensus yang ada sejauh ini adalah tetap
melanjutkan proses politik demokrasi. Instrumen yang digunakan untuk
mengatasi masalah itu sejauh ini adalah dengan menetapkan ambang batas
parlemen (parliamentary threshold).
Namun, di sisi lain, pilihan konsolidasi demokrasi dengan instrumen seperti
ini membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk membawa hasil yang konkret.
Kedua,
terdapat kesulitan untuk menciptakan suatu institusi eksekutif yang efektif
dan kuat untuk lima tahun mendatang, bahkan jika pemilihan umum untuk
presiden Juli mendatang berhasil dilakukan hanya dalam satu putaran dan
bahkan jika presiden yang terpilih memperoleh popular vote luar biasa besar,
misalnya lebih dari 80 persen. Harus tetap dicatat, struktur kebijakan
fiskal, penataan institusi melalui pembuatan berbagai regulasi baru, dan
berbagai wewenang eksekutif lain masih perlu persetujuan dan kerja sama dari
DPR.
Keharusan
seperti ini tentu saja akan memunculkan dinamika politik yang terus-menerus
dan tarik-menarik antara institusi presiden dan berbagai kekuatan politik di
DPR. Adagium klasik Lasswell bahwa politik adalah siapa yang memperoleh apa,
kapan, dan dengan cara apa akan terwujud dalam hubungan tarik-menarik ini.
Proses seperti ini dalam pandangan publik tentu tak menyenangkan karena
cenderung akan dipahami sebagai proses bagi-bagi kekuasaan belaka.
Ketiga,
terdapat kesulitan untuk menciptakan suatu kebijakan ekonomi yang optimal.
Fenomena politisasi kebijakan tidak akan dapat dihindarkan betapapun kuatnya
muatan unsur ”teknokratis” dari kebijakan yang tengah diusulkan oleh
eksekutif. Karakter setiap kebijakan tidak akan dapat menjadi tajam dan
radikal, tetapi harus mengakomodasikan spektrum kepentingan politik yang
sangat luas melalui proses kompromi dan negosiasi yang terus-menerus.
Kebijakan yang berakar banyak (broad
based policy) seperti ini kemungkinan besar akan membuat tidak adanya
istilah kebijakan strategis.
Semua
akan menjadi ”strategis” karena semua hal jadi penting. Selain itu,
pragmatisme akan jadi watak utama yang menggerakkan kebijakan pemerintahan
mendatang. Politik sebagai praktik idiologis yang mencerahkan pada gilirannya
tentu saja tak akan bisa dimaksimalkan. Politik kemudian akan cenderung
dipahami sebagai rumusan kebijakan dalam muatan setengah konkret, setengah
membumi, tak langsung mengena sasaran.
Memenangkan Indonesia
Sesungguhnya
tiga konsekuensi ini bermuara pada satu isu penting: gagasan politik tentang
presidensialisme tak dapat dimaksimalkan. Dengan sistem kemajemukan parpol
yang ada saat ini, presiden tak akan tampak merefleksikan pimpinan puncak
tunggal eksekutif yang kuat dan efektif ketika ia dihadapkan dengan berbagai
kekuatan politik di institusi legislatif. Walau tak sepenuhnya sama, citra
politik presiden akan tampak lebih menyerupai citra politik perdana menteri
dalam sistem parlementer. Intinya, secara normatif Indonesia memiliki seorang
presiden, tetapi demi memperoleh legitimasi politik, perilaku politik
presiden nantinya akan tetap terstruktur dalam arena permainan politik
parlementarisme.
Perilaku
seperti ini tampak mulai muncul setelah berakhirnya pemilu legislatif.
Berbagai pertemuan antar-petinggi partai segera setelah hasil hitung cepat
diumumkan adalah ilustrasi paling nyata. Semua pertemuan itu menyimbolkan
adanya upaya ”mendamaikan” dua kebutuhan yang sangat mendesak: kebutuhan
menskenariokan institusi presiden yang efektif dan kuat dengan kebutuhan
memperoleh legitimasi politik dari kekuatan partai di parlemen.
Pertanyaannya, adakah jalan keluar lain di luar pola rangkaian pertemuan
tingkat tinggi yang tengah terjadi itu? Bagaimana keluar dari jebakan
presidensialisme gaya Indonesia dengan sistem multipartai seperti ini?
Ada dua
opsi yang tersedia. Pertama, pada tataran nilai. Dalam pandangan sekilas
tampaknya memang tak ada jalan pintas yang terpampang di depan mata. Namun,
tidak demikian seandainya setiap pemimpin parpol di negeri ini bersedia untuk
menanamkan kebajikan (virtue) bahwa
memenangi pemilu hanyalah langkah awal memenangkan Indonesia. Memenangi
pemilu, baik legislatif maupun jabatan presiden, bukanlah segala-galanya.
Memenangkan rakyat Indonesia setelah pesta pemilu seharusnya jauh lebih
penting daripada sekadar mempraktikkan bagi-bagi kekuasaan ala politik
Lasswell.
Pilihan
kedua, pada tataran kelembagaan. Pilihan yang tersedia pada tataran ini ada
dua. Pertama, dengan cara meningkatkan secara drastis ambang batas parlemen,
misalnya dengan meningkatkannya menjadi 10 persen. Pilihan seperti ini tentu
saja tak mudah karena akan dipandang sebagai bagian dari agenda ”depolitisasi
politik” yang semena-mena gaya Orde Baru. Tudingan seperti ini akan dapat
diminimalkan jika disertai dengan pilihan berikut, yaitu dengan memberikan
ruang bagi partai yang tak lolos ambang batas parlemen 10 persen itu untuk
melebur (merger) dengan partai
lain.
Satu
argumen untuk mendukung pilihan ini sangat sederhana. Secara ideologis,
parpol di Indonesia sebenarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu
yang berbasis nilai-nilai kebangsaan, kerakyatan, dan keagamaan. Karena itu,
diskusi dan wacana tentang kebutuhan untuk peleburan atas dasar kategorisasi
seperti ini barangkali memang mulai layak untuk dimulai dan dipikirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar