Pesta
Demokrasi
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 06 April 2014
Di
mana-mana yang namanya ”pesta” selalu bermakna keceriaan, suka-suka, dan
hura-hura. Tidak ada orang berpesta, tetapi harus berpikir serius seperti
anak sekolah sedang mengejakan PR (pekerjaan rumah) atau pengusaha sedang
menghitung budget untuk memenangkan tender.
Pesta
dan serius adalah dua hal yang bertolak belakang. Sesudah orang serius sekian
lama, bolehlah sesekali orang berpesta: pesta ulang tahun, pesta HUT DKI,
pesta tahun baru, pesta lulus sekolah, atau pesta yang lain. Pesta miras
(minuman keras) atau pesta narkoba bahkan disebut pesta juga karena memang
isinya hanya hura-hura belaka. Tetapi di samping hura-hura, ada dua ciri lain
dari setiap pesta. Yang pertama, persiapannya biasanya serius. Makin tinggi
tingkat keriaan yang diharapkan makin serius persiapannya. Ibu-ibu yang mau
memestakan ulang tahun anaknya sudah memikirkannya sejak lama.
Dia cari
lokasi yang baik, yang banyak mainan anak-anaknya. Dan para ibunya juga
senang karena bisa makan enak, dia siapkan tukang sulap yang paling pinter
ngibulin anak kecil dan sebagainya. Kalau suatu pesta mengandung unsur surprise, persiapannya lebih rumit
lagi karena orang-orang tertentu harus diajak kongkalikong untuk membuat
sasaran terkejut dan akhirnya tertawa bahagia. Pesta miras dan narkoba pun
perlu persiapan yang serius, mulai pengadaan barangnya sampai pemilihan
tempat yang aman dari pengawasan polisi. Ciri kedua dari pesta adalah bahwa
pada saat pesta ada anomali (kelainan) yang justru diperbolehkan bahkan
disarankan untuk memeriahkan pesta itu.
Di pesta
Valentine semua berpakaian warna pink, di pesta Halloween semua orang
bertopeng yang seram-seram, malah ada yang pakai baju pocong, yaitu baju-baju
yang tidak akan dipakai ke sekolah misalnya. Di HUT DKI ada kembang api yang
di malam takbiran pun dilarang. Di pesta tahun baru, pas jam 00.00
orang-orang cikaciki (artinya:
cium-kanan cium-kiri walaupun bukan muhrim), yang berbeda dari cipika-cipiki (cium-pipi-kanan cium-pipi-kiri)
yang lazim dilakukan di Indonesia (walaupun dengan sesama jenis). Apalagi
kalau pesta miras atau narkoba, pasti hampir seluruhnya anomali.
Ciri
yang terakhir adalah pascapesta, biasanya orang-orang langsung pulang,
kembali ke urusan masing-masing, barangkali masih tersenyam-senyum
mengingat-ingat betapa serunya pesta barusan, tetapi sesudah itu lupa.
Urusan- urusan pascapesta biasanya dilakukan oleh OB (office boy), atau PRT (pembantu rumah tangga), atau Dinas
Kebersihan, bahkan tidak jarang sampah terserak begitu saja di bekas lokasi
pesta (biasanya di tempat umum) tanpa ada yang membereskannya.
Untuk
menghindari itu, sekarang ada yang namanya WO (wedding organizer) yaitu perusahaan yang mengurus pesta
perkawinan dari mulai persiapannya sampai bersih-bersih pascapestanya
sehingga keluarga dua mempelai bisa tidur nyenyak pascapesta (walaupun kedua
mempelai sendiri biasanya tidak tidur semalaman karena asyik saling
bereksperimen).
Karena
ciri-ciri pesta yang seperti itu, saya tidak habis pikir, mengapa pemilu
selalu disebut sebagai ”pesta demokrasi”?
Wajarlah
kalau di setiap pemilu selalu ramai dengan pagelaran musik dangdut, dengan
menghadirkan penyanyi montok seronok, dan selalu ada pembagian uang sebagai
tanda ikut bersukacita (sama dengan kebiasaan angpau atau bagi-bagi duit di hari raya Imlek atau Idul Fitri),
yang katanya tidak ada kaitannya dengan politik uang. Wajarlah kalau banyak
yang golput karena mereka pikir pemilu ini bukan hal yang serius, cuma orang
pesta-pesta saja. Pantas juga jika setelah pemilu tidak ada orang yang
memikirkan bagaimana kelanjutannya, tidak ada yang mau bertanggung jawab.
Namanya
juga pesta. Pascapesta bagian OB atau Dinas Kebersihanlah yang mengurus.
Wajar juga kalau di pesta demokrasi itu ada konflik, berantem, tawuran, malah
bunuh-bunuhan. Tengoklah pesta-pesta dangdut atau musik rock yang sering
diselenggarakan di mana-mana, hampir selalu berakhir dengan ricuh,
tonjok-tonjokkan, ataupun tawuran, bahkan beberapa di antaranya sampai ada
yang tewas. Gara-garanya hanya saling senggol (namanya juga goyang itik,
pastilah senggol-senggolan, mana ada gerombolan itik tidak senggol-senggolan).
Padahal
sebenarnya pemilu adalah hal yang sangat serius banget. Waktu orang sedang
mencoblos itu pada hakikatnya sama dengan seorang anak sekolah yang akhirnya
melingkari satu jawaban dari pilihan ganda yaitu setelah ia berpikir serius
untuk beberapa saat (bahkan kalau itu PR yang dikerjakan di rumah, anak itu
sudah bertanya ke papa-mamanya, ke kakak, ke PRT, bahkan ke satpamnya dulu
sebelum ia melingkari jawaban yang benar yang justru didapat dari satpamnya).
Untuk kerja serius itu, persiapan pemilu juga sangat serius.
Serangkaian
UU harus disiapkan dan disahkan, KPU pusat dan daerah dibentuk dan dilantik,
begitu pula Bawaslu, parpol peserta pemilu perlu didaftarkan, diverifikasi
dan disahkan, DPT dicek jangan sampai ada WNI yang kehilangan haknya dan
seterusnya. Sedemikian rupa sehingga pada hari H, pemilu benar-benar bisa
berlangsung luber (langsung, bebas, dan rahasia) serta jurdil (jujur dan
adil). Setiap orang bisa memilih yang benar sesuai akal sehat atau nalarnya.
Demikian
pula pascapemilu, anggota parlemen, maupun presiden dan wakilnya siap bekerja
keras untuk menindak lanjuti program-program yang sudah dicanangkan dalam
masa kampanye. Rakyat pun balik ke tugasnya masing-masing dengan semangat
kerja yang lebih tinggi sehingga menghasilkan yang lebih baik buat bangsa
ini. Tidak ada yang boleh santai. Lepas tangan dan lepas tanggung jawab seperti
pasca sebuah pesta. Karena itu, sebut saja pemilu dengan pemilu. Tidak perlu
di-eupheumisme-kan menjadi ”Pesta Demokrasi”.
Selamat mencoblos partai yang menurut Anda paling
bisa diserahi tugas-tugas menyejahterakan bangsa pascapemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar