Pemerintah
Berdusta Soal Palestina?
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
28 Februari 2014
Pada
Jumat (28/2/2014) hari ini, pemerintah menerima kunjungan Perdana Menteri
Palestina Rami Hamdallah. Penjelasan Teuku Faizasyah, Staf Khusus Presiden RI
Bidang Hubungan Internasional menyebutkan, Ramdi Hamdallah akan berada di
Indonesia hingga Minggu 2 Maret 2014. Salah satu agendanya, membahas berbagai
kerja sama bilateral dengan Presiden SBY.
Agenda
lainnya, Hamdallah akan menghadiri Conference on Cooperation Among East Asian
Countries for Palestinian Development (CEAPAD) ke-2 di Jakarta. Forum ini
bertujuan menggalang bantuan bagi pembangunan Palestina. Sementara Presiden
SBY menurut Teuku Faizasyah akan menegaskan kembali komitmen penuh Indonesia
untuk terus mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.
Penjelasan
Jubir Kepresidenan ini, sepintas tidak ada yang salah dan bermasalah.
Penjelasan, sangat normatif, untuk tidak disebut sebagai sebuah basa-basi
diplomasi. Di sisi lain penjelasan ini juga bisa menunjukkan, kunjungan
seorang tamu penting dari Palestina, menjadi bukti bahwa posisi Indonesia di
diplomasi global masih cukup kuat dan diperhitungkan.
Artinya
kunjungan Kepala Pemerintahan Palestina itu dapat ditafsirkan - betapa
pentingnya peran Indonesia dalam penyelesaian konflik Timur Tengah - salah
satu konflik yang menjadi sumbu dari terbelahnya dunia dalam perspektif Islam
dan dunia Barat.
Padahal
persoalan tidak sesederhana yang digambarkan di atas. Diplomasi Indonesia
dalam soal Palestina, justru sangat kabur. Lantas dimana kekaburan dan unsur
kebohongan pemerintah atas persoalan Palestina? Yaitu tidak adanya penjelasan
kepada publik tentang perpecahan bangsa Palestina.
Bangsa
yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan internasional atas tanah yang
menjadi haknya, saat ini terpecah menjadi dua. Palestina Al-Fatah yang
ibukotanya di Tepi Barat dan Palestina Hamas yang ibukota pemerintahanya di
Gaza.
Pemerintahan
Palestina pimpinan Rami Hamdallah dan Ismail Haniyah. Lalu mengapa Indonesia
'berpihak' kepada Rami Hamdallah dari faksi Al-Fatah dan bukan kepada Ismael
Haniyah faksi Hamas ?
Penegasan
tentang 'keberpihakan' ini penting - setidaknya seperti yang dilakukan
pemerintah terhadap "Dua China": RRC atau Taiwan. Dengan RRC
Indonesia mengakreditasi Duta Besarnya di Beijing. Sedangkan dengan Taiwan,
diplomat Indonesia yang ditempatkan di Taipei, ibukotanya, hanya berstatus
Kepala Perwakilan Dagang.
Penegasan
tersebut membuat semua pihak di dalam negeri, paham bagaimana menjalin
hubungan dengan "Dua China". Atau sama dengan penjelasan pemerintah
tentang "Dua Afghanistan" saat negara itu diinvasi oleh Uni Sovyet
tahun 1982.
Yang
menimbulkan tanda tanya, mengapa perpecahan Palestina atau "Dua
Palestina", yang sudah bukan rahasia lagi, terkesan ditutup-tutupi
pemerintah. Dengan cara seolah di pemerintahan di Palestina yang diakui
Jakarta sama dengan yang diakui oleh seluruh bangsa Palestina.
Sejatinya
sejak Pemilu di tahun 2006, Palestina terpecah menjadi dua. Setelah Yasser
Arafat sebagai pemimpin gerakan Al-Fatah, meninggal 11 Nopember 2004,
Palestina berubah.
Perubahan
terjadi melalui Pemilu. Faksi Hamas meraih suara terbanyak, sekaligus
mengakhiri kekuasaan Al-Fatah. Berdasarkan sistem pemerintahan parlementer,
Hamas sebagai pemenang Pemilu otomatis menjadi Kepala Pemerintahan. Yang
berhak menjadi Kepala Pemerintahan atau Perdana Menteri, Ismail Haniyah,
pimpinan tertinggi Hamas.
Sementara
Al-Fatah yang kepemimpinannya di tangan Mahmoud Abbas - akibat kekalahan
dalam Pemilu tersebut hanya berhak menduduk posisi Presiden. Sebagai
presiden, yang juga menelan kekalahan dalam Pemilu, kewenangannya lebih
terbatas dibanding seorang Perdana Menteri.
Perpecahan
Palestina terjadi pasca-pengumuman hasil Pemilu. Abbas yang meneruskan
pemerintahan Yasser Arafat, memecat Haniyah. Selanjutnya Abbas mengangkat
Salam Fayyad.
Tapi
Haniyah tidak mengakui pemecatan tersebut. Sehingga Haniyah tetap menjalankan
fungsinya sebagai Kepala Penerintahan atau Perdana Menteri. Haniyah pun
menjalankan pemerintahannya di kota lain.
Rami
Hamdallah yang menjadi tamu pemerintah RI minggu ini merupakan pengganti
Salam Fayyad. Bagi negara asing seperti Indonesia yang mengklaim sebagai non-blok,
tidak gampang menempatkan diri dalam menghadapi perpecahan di Palestina.
Tetapi
'kesalahan' terbesar pemerintah terletak pada sikapnya yang tidak terbuka.
Yang berakibat kesalah pahaman di dalam negeri diam-diam menjadi 'tertawaan'
oleh komunitas internasional, termasuk elit bangsa Palestina.
Indonesia
seakan dilihat sebagai negara besar yang pemikiriannya sempit. Hasilnya
Indonesia pun makin tersisih dari pergaulan atau diplomasi internasional.
Bagaimana tidak?
Juni
2010, Ketua DPR-RI Marzuki Ali memimpin delegasi parlemen Indonesia masuk ke
Gaza, Ibukota (Hamas) Palestina. Marzuki didampingi Makarim Wibosono,
diplomat senior yang pernah menjadi Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB. Di
Gaza delegasi Parlemen RI antara lain bertemu dengan Kabinet Palestina
pimpinan Ismail Haniyah.
Hadirnya
diplomat senior Makarim Wibisono memberi aksentuasi dan bobot besar pada
muhibah rombongan parlemen RI ke tanah Palestina. Tapi yang menggelikan,
sebulan sebelumnya, Mei 2010, di Jakarta, Presiden SBY menerima kunjungan
Mahmoud Abbas, Presiden Palestima yang memecat Haniyah.
Legitimasi
yang dibuat Presiden SBY terhadap Mahmoud Abbas, seolah dihancurkan oleh
Ketua DPR Marzuki Alie. Perbedaan Marzuki dan SBY dalam melihat Palestina,
bisa saja dianggap wajar. Yah hal itu bisa terjadi, kalau kita bersikap masa
bodoh atau EGP (emangnya gua pikirin).
Tapi
dalam perspektif sebagai negara besar ataupun dalam arti Indonesia
menjalankan politik bebas aktif, perbedaan itu sangat mempermalukan. Apalagi
kalau sosok Marzuki Ali dan SBY sebagai tokoh politik nasional. Lagi pula
keduanya sama-sama berasal dari satu partai: Partai Demokrat.
Perbedaan
sikap dalam soal Palestina, jika dibawa ke rana pembelajaran, jelas sangat
fatal. Apalagi kalau keberpihakan SBY kepada Palestina pimpinan Mahmoud
Abbas, ditelaah secara lebih mendalam.
Bisa
muncul kesan, keberpihakan SBY pada Abbas sama dengan pemihakan RI kepada
Israel. Sebab Mahmoud Abbas dikenal sebagai tokoh Palestina yang pro Israel.
Sebagai Presiden Palestina ia masih mau berunding atau berjabat tangan dengan
Israel.
Paralel
dengan sikap Marzuki. Ketua DPR itu sama saja dengan membawa misi Iran. Sebab
Iran dikenal sebagai salah satu pendukung kuat Hamas pimpinan Haniyah.
Haniyah sendiri tokoh Palestina yang sama sekali tidak mau berunding ataupun
berjabat tangan dengan orang Israel.
Maka
jangan heran jika muncul pemelesetan: Ketua DPR-RI pro Iran dan Presiden RI
pro Israel!
Oleh
sebab itu melihat cara-cara SBY dalam menghadapi isu Palestina, menimbulkan
kesan pemerintah tidak cukup terbuka kepada rakyat Indonesia. Atau pemerintah
terpaksa berbohong kepada publik, karena kemampuan diplomasi kita bermanuver
di dunia internasional, terlalu lemah.
Untuk
menutupi kelemahan, terpaksa berbohong? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar