Mencari
Presiden “Rooseveltian”
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan
Seni
|
KOMPAS,
05 April 2014
TONTONLAH
film The Monuments Men garapan
George Clooney yang dalam minggu-minggu ini diputar di berbagai bioskop. Film
ini diangkat dari kisah sejarah dalam buku The Monuments Men: Allied Heroes,
Nazi Thieves and the Greatest Treasure Hunt in History oleh Robert M Edsel
dan Bret Witter.
Diceritakan
di situ, pada masa Perang Dunia II, Hitler merampok dan mencuri jutaan karya
seni rupa dari berbagai museum, galeri, dan rumah-rumah pribadi di
negeri-negeri yang ia taklukkan. Karya seni itu, mulai dari lukisan Picasso,
Renoir sampai patung Bruges Madonna, disembunyikan di berbagai tempat. Tujuan
Hitler adalah jika Jerman memenangi PD II, didirikanlah museum seni Hitler
yang maketnya ternyata sudah disiapkan. Namun, jika Jerman kalah dan dirinya
mati, Hitler memerintahkan agar karya-karya seni itu dibakar.
Presiden
AS FD Roosevelt mengetahui skandal ini lewat George L Stout (dalam film
bernama Frank Stokes), restorator seni Museum Harvard Fogg. Sang Presiden pun
segera membentuk tim penyelamat benda-benda seni itu. Lalu direkrutlah
sejumlah kurator, penulis seni, dan sejarawan seni dari berbagai institusi
untuk bergabung. Para ahli seni itu menerobos dentuman bom dan terjangan
pelor. Misi ini berhasil meski ada ribuan karya seni yang tak ditemukan,
hancur, dan terbakar. Bahkan, ada 2 anggota tim yang tewas.
Atas
tewasnya dua pakar seni itu, Roosevelt memberikan pertanyaan kepada
masyarakat AS: apakah karya seni cukup berharga untuk diburu mati-matian
meski harus mengorbankan nyawa? Pertanyaan renungan itu, berkurun tahun
kemudian, dijawab oleh sejarah: sangat berharga. Lantaran karya-karya seni
itu, yang kini terpajang di berbagai museum di Eropa, pada akhirnya bisa
ditonton manusia sedunia dan dihayati sebagai warisan kebudayaan nan agung.
Tepat waktu
Pada
minggu-minggu ini masyarakat Indonesia sedang menuju panggung pemilihan umum
yang ujungnya akan memilih presiden baru. Berkait dengan itu, pemutaran The Monuments Men sangat relevan dan
tepat waktu. Lantaran, pertama, substansi film ini memberikan amsal ihwal
hadirnya pemimpin negara yang memiliki tekad besar melindungi karya-karya
seni walau karya-karya itu bukan milik bangsanya sendiri.
Kedua,
lantaran film itu bisa menstimulasi rakyat untuk membentuk kriteria baru
bahwa presiden yang akan datang harus manusia komplet. Tak cuma memiliki visi
politik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga punya pengetahuan dan kecintaan
mendalam atas seni dan menyimpan kesadaran kebudayaan seperti Roosevelt.
Sebagai
negeri pelahir para seniman hebat sekaligus negeri yang menginspirasi
lahirnya karya seni luar biasa, Indonesia telah menghasilkan pemimpin negara
yang sangat berkesenian. Presiden Soekarno tentulah contoh terpuncak yang
diiringi Muhammad Yamin sebagai peletak dasar pengetahuan seni lewat jabaran
kebudayaan. Dengan modal sendiri, Bung Karno mengumpulkan ribuan lukisan,
patung, dan keramik yang menjadikan sejumlah istana presiden selayak museum.
Tahun 1964, Bung Karno dijunjung masyarakat internasional sebagai presiden
yang paling banyak memiliki koleksi seni rupa di dunia.
Setelah
Bung Karno, bendera puncak kejayaan seni itu memang kurang berkibar. Pada
jajaran menteri memang ada Fuad Hassan yang tampil sebagai penggerak. Namun,
kesementaraan jabatan menyebabkan apa yang dilakukan segera terhenti.
Sementara Presiden Soeharto, selama 32 tahun berkuasa, lebih meletakkan
kebudayaan dan kesenian sebagai elemen kecil pembangunan.
Bahkan,
pada masa Soeharto, koleksi benda-benda seni di istana presiden yang tersebar
di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Tampaksiring tidak pernah
didaftarkan sebagai harta karun negara sehingga tidak dicatat oleh Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara. Status ini menyebabkan karya-karya seni itu tidak
memperoleh perlindungan formal dari pemerintah.
Presiden
Megawati Soekarnoputri ingin mengembalikan mitos Bung Karno. Dengan memegang
prinsip artes alit honos (seni
menumbuhkan kehormatan), ia menjadikan istana presiden sebagai rumah seni
yang kemudian diformulasikan dalam buku besar: Rumah Bangsa. Pada periode
lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir jabatan mendirikan museum
seni memorabilia di beberapa istana presiden. Sebelumnya ia berusaha
membangkitkan peran ratusan museum di Indonesia meski anggaran yang disetujui
DPR ternyata hanya cukup untuk makan para karyawan museum.
Namun,
yang diharapkan bukan hanya perhatian terhadap kesenian yang ada di istana
presiden dan museum milik negara, melainkan juga yang terserak di rumah
rakyat dan lembaga-lembaga seni rakyat. Dengan begitu segenap karya seni yang
dihasilkan masyarakat memperoleh penghormatan, mendatangkan kecintaan, dan
menumbuhkan perlindungan. Harapan itu akan ditaruh di meja Presiden Indonesia
”Rooseveltian” yang terpilih nanti.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar