Membaca
Ulang Manifesto Komunis
Muhammad Zaki Arrobi ; Mahasiswa Fisipol
Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta
|
INDOPROGRESS,
19 Februari 2014
DALAM rangka memperingati terbitnya Manifesto Komunis
(selanjutnya disebut Manifesto), yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels
pada 21 Februari, saya ingin membagi pembacaan saya atas teks politik Marxis
paling berpengaruh tersebut. Ketika Manifesto ditulis pada abad ke-19, benua
Eropa sedang bergolak akibat reka cipta baru yang berakumulasi menjadi
revolusi industri. Negara-negara di Eropa saat itu sedang mengalami transisi
dari masyarakat feodal (feudal society)
ke masyarakat kapitalis (capitalist
society). Perubahan ini membawa implikasi sosial yang serius bagi
masyarakat Eropa, seperti digusurnya kelas feodal oleh borjuis, mesinisasi,
berkembangnya konsep private property right, hingga meluasnya akumulasi
modal, yang menandai kemunculan peradaban baru produk pencerahan (renaissance) bernama ‘kapitalisme.’
Dalam konteks sosial-politik inilah, Manifesto hadir untuk menjawab problem peradaban saat
itu. Manifesto diawali dengan meromantisir, betapa hebatnya kekuatan
‘komunisme’ di Eropa, bahkan telah menjadi ‘hantu’ yang bergentayangan.
Manifesto kemudian menarasikan sejarah kapitalisme modern di Eropa. Marx dan
Engels dengan sangat baik membongkar akar historis serta menghubungkannya
dengan berbagai penaklukan daerah koloni yang dilakukan oleh bangsa-bangsa
Eropa.
Kapitalisme, meski tidak pernah disebut Marx dan Engels secara
eksplisit, diakui keduanya sebagai produk zaman pencerahan (enlightenment) yang telah membawa
banyak kemajuan bagi umat manusia dewasa ini. Kapitalisme, menurut Marx,
telah menghapus sistem feodalisme yang sudah berusia ribuan tahun dan
menggantinya dengan sistem yang lebih rasional. Secara terus terang, Marx
banyak mengakui bahwa kapitalisme adalah produk peradaban yang belum pernah
ada sepanjang sejarah umat manusia. Kapitalisme telah menghapus hubungan-hubungan
paternalistik yang feodal dalam masyarakat, menghapus pola-pola perdagangan
monopoli serta menggantinya dengan sistem perdagangan bebas yang rasional dan
didasarkan pada hubungan-hubungan objektif serta perluasan pasar dengan
hubungan produksinya sendiri. Namun, di samping semua ‘kebaikannya’ itu,
kekuatan kapital menyimpan suatu sistem eksploitatif yang teramat besar.
Kapital telah dengan subur melahirkan pabrik-pabrik industri di seantero
negeri Eropa dan memproduksi tanpa ampun segala macam jenis komoditas. Bahkan
kekuatan kapital inilah yang mendorong ditemukannya benua Amerika,
dikelilinginya Tanjung Harapan di Afrika Selatan, penciptaan lapangan baru
bagi borjuasi yang sedang tumbuh, munculnya pasar-pasar di Hindia Timur dan
Tiongkok, kolonisasi atas Amerika, serta perdagangan dengan tanah-tanah
jajahan.[1]
Sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Sejak
zaman pra-sejarah hingga zaman Eropa modern, sejarah selalu diwarnai oleh
perjuangan antar kelas-kelas sosial dalam sebuah tatanan masyarakat. Di Roma
purbakala terdapat kaum patrisir, kaum ksatria, kaum plebejer, kaum budak;
pada Zaman Tengah ada kaum tuan feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum
tukang-pembantu, kaum malang, kaum hamba; di dalam hampir semua kelas ini
terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan.[2]
Menurut Manifesto, tatanan masyarakat terbagi berdasarkan
kedudukan sosialnya, antara kelas terdominasi (sub-ordinasi) dan kelas yang
mendominasi (super-ordinasi). Namun, Manifesto melanjutkan, masyarakat
borjuis hasil dari keruntuhan kelas feodal tidak menghilangkan kontradiksi
kelas tetapi menciptakan bentuk-bentuk pertentangan baru dalam kelas-kelas
sosial di masyarakat modern. Lebih jauh lagi, borjuasi telah menajamkan
pertentangan kelas sehingga masyarakat mengerucut menjadi dua kelas sosial
yang saling berhadapan, yakni kelas borjuasi dan kelas proletar. Kategorisasi
kelas sosial ini didasarkan Marx pada kepemilikan alat produksi. Dalam
konteks ini sebenarnya Marx sedang mengajukan salah satu prinsip berpikirnya
yang paling penting dalam ‘membaca’ dunia, yakni prinsip materialisme
historis. Materialisme historis pada dasarnya merupakan suatu filsafat
sejarah, dimana karakteristik terpenting dari filsafat sejarah Marx ini
adalah pentingnya suatu pendasaran empiris. Dengan perkataan lain, kontrol
empiris dapat dan malahan harus digunakan untuk menentukan syarat-syarat
objektif yang berlaku bagi berlangsungnya revolusi.
Materialisme sendiri merupakan cara berpikir yang bertitik tolak
dari materi sebagai satu-satunya kenyataan; materi menjadi basis bagi
perubahan sosial. Cara berpikir ini adalah hasil ‘perlawanan’ ideologis Marx
atas filsafat idealisme Hegel yang dianggapnya bernuansa mistik dan hanya
bisa menafsirkan dunia tanpa pernah mengubahnya. Serupa dengan konsep dialektika
Hegel, materialisme Marx juga bersifat dialektis, namun ia menolak dialektika
Hegel yang mengatakan bahwa keseluruhan perubahan terjadi secara terus
menerus tanpa pernah ada yang memerantarainya.[3]
Manifesto lantas menjelaskan bahwa sesungguhnya pertentangan
kelas borjuasi dan kelas proletar akan semakin menghebat. Akibat perluasan
pasar, mesinisasi, penurunan upah secara besar-besaran, persaingan yang
semakin menjadi-jadi di antara kaum borjuasi, dan krisis ekonomi yang
diakibatkannya akan membuat kelas proletar semakin menderita. Dan bentrokan
antara kedua kelas ini pun tak terhindarkan lagi, kelas proletar vis a vis
kelas pemodal (borjuasi). Kaum proletar yang disengsarakan oleh para borjuasi
akan mengorganisasi gerakan mereka di pabrik-pabrik, sekali-kali mereka akan
menang, namun kembali kalah akibat pertentangan-pertentangan dalam kaum
proletar sendiri. Serikat pekerja di sini menempati posisi yang penting,
yaitu mengonsolidasikan kekuatan kaum proletar untuk menghadapi keserakahan
borjuasi. Manifesto juga yakin akan ada fenomena ‘proletarianisasi’
sebagaimana dahulu terjadi proses borjuanisasi. Kaum proletar akan semakin
meluas spektrum sosialnya karena menghebatnya penghisapan oleh kaum borjuasi.
Lapisan rendahan dari kelas tengah‒kaum pengusaha kecil, tuan
toko dan tukang riba umumnya, kaum pekerja-tangan dan kaum tani‒semua ini berangsur-angsur jatuh menjadi proletariat, mereka
akan ikut bersama kaum buruh pabrik melawan dominasi kaum borjuasi.
Untuk mencapai tujuannya, organisasi kaum proletar, menurut
Manifesto harus bersinergi dengan gerakan kaum komunis. Di sini Manifesto
mengatakan bahwa kaum komunis ini adalah unsur termaju dalam gerakan kelas
pekerja dan karena itu berada dalam ‘satu jalur’ dengan perjuangan kaum
proletar di seluruh dunia. Kaum komunis menginginkan suatu penghapusan hak
milik kaum borjuasi dan mengembalikannya pada watak awalnya yang bersifat
sosial. Dalam risalah ini, Marx dan Engels menganjurkan 10 program politik
yang harus dijalankan oleh kaum proletar, berintikan perombakan total
terhadap hak-hak milik dan persyaratan produksi borjuis. Langkah-langkah itu,
misalnya, penghapusan hak milik tanah, penerapan pajak progresif berat,
penghapusan hak waris, pemusatan kredit di tangan negara, penyitaan harta
emigran, dan pendidikan gratis untuk semua anak.
Pada bagian terakhir risalahnya, Marx-Engels sedikit merangkum
berbagai pandangan tentang sosialisme di dunia: mulai dari ‘sosialisme
feodal’ di Inggris dan Prancis yang direpresentasikan dengan revolusi Prancis
yang dianggap sebagai revolusi borjuasi nasional, ‘sosialisme borjuis atau
sosialisme konservatif’ yang ingin menghapuskan kepemilikan hak individu
namun dianggap ‘kurang radikal’ dan ‘menghinakan’ diri pada sistem gilda,
hingga ‘sosialisme Jerman’ yang ia sebut sebagai ‘Sosialisme Sejati.’
Dari hasil pembacaan Manifesto, yang disusun oleh dua begawan
sosialisme ilmiah ini serta sumber-sumber terkait lainnya, penulis ingin
merefleksikan beberapa hal. Setidaknya ada tiga poin yang bisa diambil dari
Manifesto untuk membaca realitas kontemporer. Di sini kita memaknai risalah
tersebut bukan sebuah kitab suci yang selalu benar, melainkan sebagai sebuah
‘hasil pembacaan’ atas realitas sosial pada masa Marx dan Engels hidup.
Pertama, tesis Marx bahwa kapitalisme akan melintasi batas-batas negara
agaknya menemukan validitasnya. Sebagaimana ditulis Manifesto,
’Industri modern telah menciptakan pasar dunia, di mana penemuan
Amerika telah membuka jalan. Pasar dunia telah memberi kemajuan luar biasa
bagi perdagangan, pelayaran, transportasi darat. Lantas, kemajuan itu
mendorong perluasan industri; dan dalam waktu yang sama kemajuan terjadi di
bidang perdagangan, pelayaran, perhubungan kereta api, dan seirama dengan itu
kaum borjuasi semakin berkembang, kapitalnya bertambah.’
Prediksi Marx bahwa kapitalisme akan berjingkrak dari satu
negara ke negara lain kini terbukti sudah. Apa yang kita sebut sebagai
globalisasi saat ini, misalnya, sebenarnya tidak lebih dari ‘baju lain’ dari
gabungan antara imperialisme dan kapitalisme internasional.[4] Invasi modal asing ke negara-negara dunia
ketiga, deregulasi, dan liberalisasi perdagangan internasional, dominasi
korporasi multinasional di semua sektor kehidupan, hingga ketidakadilan
global merefleksikan bentuk pengisapan kapitalisme abad 21.
Kedua, terkonfirmasikan pula ramalan Marx dan Engels bahwa
pergerakan kekuatan kapital yang eksploitatif akan mengakibatkan sejumlah
krisis ekonomi akibat kontradiksi internalnya. Dalam sejarah dunia, kita
pernah mengalami tidak kurang dari empat krisis ekonomi global, yakni tahun
1880-an, 1920-an, 1970-an dan terakhir tahun 2008 kemarin. Krisis demi krisis
ekonomi global bahkan memiliki tendensi untuk berulang pada setiap zaman.
Krisis ekonomi global terakhir pada tahun 2008, dampaknya sampai saat ini
masih terasa: perekonomian Eropa kolaps, Yunani dan Spanyol menjadi pesakitan
ekonomi global, bahkan Amerika pun menderita akibat memburuknya perekonomian
global. Meski tidak sampai meruntuhkan kapitalisme seperti prediksi Marx,
krisis tersebut lumayan berhasil ‘melemahkan kaki-kaki’ kekuatan kapitalisme
global.
Ketiga, prediksi Manifesto tentang akan adanya fenomena
‘proletarianisasi’ nampaknya tidak terbukti, setidaknya untuk saat ini.
Manifesto mengklaim bahwa akibat penghisapan yang semakin menghebat,
masyarakat akan semakin terpolarisasi menjadi dua kelas, yakni kelas borjuasi
dan kelas proletar. Proletarianisasi merujuk pada proses perubahan kelas
borjuis kecil menjadi proletar akibat tergerus dampak penghisapan kapital.
Namun fenomena yang ada sekarang justru kontradiktif. Alih-alih mengerucut
menjadi dua kelas, masyarakat dunia kini terkategorisasikan menjadi begitu
beragam kelas sosial, dengan fakta jumlah kelas menengah di dunia yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia jumlah kelas menengah mencapai
100 juta lebih, dan kelas ini mengembangkan suatu sikap mental dan
kebudayaannya sendiri yang reaksioner, cenderung konsumtif, dan pragmatis.
Namun kelas ini tidak bisa dikategorikan sebagai borjuis murni karena
sebagian dari mereka adalah pegawai, karyawan, atau pekerja sektor menengah
lainnya.
Akhirul kalam, dalam refleksi atas Manifesto Komunis ini,
penulis menganggap ada beberapa hal yang masih relevan dan kontekstual untuk
‘membedah’ fenomena kapitalisme kontemporer, namun ada juga yang perlu
‘dibaca ulang’ dalam konteks perubahan zaman yang dinamis dan dialektis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar