Satinah
dan Pemenuhan Hak Warga Negara
Among Pundhi Resi ; Manager Riset dan Advokasi Kebijakan
Migrant Institute Dompet DHuafa
|
OKEZONENEWS,
25 Maret 2014
Artikel ini telah dimuat di JARINGNEWS 13 Maret 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/satinah-dan-pemenuhan-hak-warga-negara_26.html
Artikel ini telah dimuat di JARINGNEWS 13 Maret 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/satinah-dan-pemenuhan-hak-warga-negara_26.html
Ancaman
hukuman mati kembali menimpa buruh migran kita. Kali ini ancaman itu
membayangi Satinah yang pada 3 April akan menjalani eksekusi hukuman mati di
Arab Saudi. Vonis hukuman mati ini ditetapkan oleh Mahkamah Saudi pada 2007
silam. Buruh migran asal Ungaran Jawa Tengah itu dipidana hukuman mati akibat
membunuh majikan.
Satinah
bukanlah satu-satunya buruh migran Indonesia yang menghadapi hukuman pancung
di Arab Saudi. Menurut data Kementrian Luar Negeri, selain Satinah saat ini
terdapat 33 buruh migran lainnya yang juga terancam hukuman serupa. Menurut
hukum Arab Saudi, Satinah dapat dibebaskan jika membayar uang diyat sebesar
SR 7 juta sesuai permintaan keluarga korban. Pemerintah menyatakan hingga
saat ini baru memiliki uang sebesar SR 4 juta (Rp12 miliar).
Pembayaran
uang darah ini merupakan implikasi dari pidana qisas yang ditetapkan oleh
pemerintah Saudi. Dalam qisas, korban/keluarga korban berhak menetapkan
hukuman pada terdakwa apakah akan dilakukan dengan cara yang sama, penebusan
dengan pembayaran uang diyat, ataupun pengampunan tanpa syarat. Kasus
pembebasan hukuman mati pernah dialami Darsem, buruh migran asal Subang. Kala
itu, pemerintah menggelontorkan Rp4,75 miliar sebagai uang darah yang
digelontorkan dari APBN. Merujuk pada kasus Satinah dan Darsem maka adakah
alternatif penyelesaian lain selain dengan penebusan uang darah?
Pemahaman Hukum
Dalam
Standar Operational Prosedur BNP2TKI mengenai Pelayanan Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia ke Luar Negeri disebutkan bahwa dalam Pembekalan Akhir
Pemberangkatan (PAP) calon tenaga kerja harus dibekali dengan materi
peraturan perundang-undangan negara penempatan selama 2 jam pelajaran. Jika
proses ini dilakukan secara maksimal, tentunya buruh migran akan memiliki pemahaman dasar
mengenai hukum positif negara penempatan. Namun banyaknya buruh migran yang
tidak memahami peraturan perundangan di negara penempatan menjadi tanya
tersendiri; benarkah PAP telah dijalankan dengan baik?
Ketidakpahaman
inilah yang menyebabkan buruh migran tidak mengerti apa yang harus dilakukan
jika mereka berhadapan dengan hukum. Pemahaman hukum seyogyanya diberikan
secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada peraturan perundangan saja, tapi
juga sistem hukum secara keseluruhan, mulai dari struktur, substansi hingga
kultur hukum. Pemahaman sistem hukum yang komprehensif membuat buruh migran
memahami bagaimana norma hukum di negara penempatan dijalankan. Pendidikan
hukum yang baik, akan membuat buruh migran kita melek hukum dan terhindar
dari perbuatan yang dapat menjerat ke dalam persoalan hukum.
Bantuan hukum sejak mula
Pada
kasus Satinah, misalnya perwakilan pemerintah Indonesia mengklaim baru
mengetahui ketika Satinah telah berada di tahanan dan telah mendapat vonis
qisas. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian bantuan hukum untuk
banding, serta lobby keluarga untuk penundaan eksekusi. Penundaan eksekusi
memang berhasil dilakukan, namun perubahan hukuman dari hukuman mati ke
hukuman yang lebih manusiawi belumlah didapat. Hampir 7 tahun lamanya Satinah
hidup dalam bayang-bayang eksekusi hukuman mati. Satu kondisi yang sangat
memprihatinkan.
Untuk
meminimalisir kasus serupa Satinah, maka negara harus hadir sejak awal dalam
upaya memberikan bantuan hukum pada warganya, sebagaimana mandat konstitusi.
Kantor perwakilan harus pro aktif melakukan jemput bola, tidak hanya pasif
menunggu laporan saja. Ia haruslah mampu menjangkau dan menjadi garda
terdepan dalam perlindungan buruh migran kita di negara penempatan.
Pendampingan dan pemberian bantuan hukum sejak mula akan memudahkan kita
untuk melakukan pembelaan di muka persidangan. Karenanya bantuan hukum sejak
awal, menjadi penting dan mendesak.
Diplomasi antar Pimpinan Negara
Diplomasi
antar pimpinan tertinggi negara memiliki dampak yang amat penting bagi
perlindungan warga negara. Sebutlah Filipina sebagai contoh. Pada 1994 buruh
migran Filiphina Sarah Balabagan mendapat vonis hukuman mati dari Uni Emirat
Arab dengan tuduhan pembunuhan berencana. Fidel Ramos, presiden kala itu
melobi Syeikh Zaed bin Sultan an-Nahyan untuk meminta keluarga korban
memberikan pengampunan pada Sarah. Diakhir proses hukuman, Sarah pun
dibebaskan tanpa harus membayar uang darah.
Dengan
banyaknya kasus hukuman mati yang mengancam buruh migran kita di Saudi, tentu
upaya yang dilakukan Filiphina patut untuk dicontoh. Negara memang harus
hadir untuk melindungi warganya dimanapun mereka berada. Jika diplomasi
tingkat pejabat tinggi belum membuahkan hasil maksimal, maka pucuk pimpinan
harus bergerak, mengambil alih tanggung jawab ini. Bahwa hukuman adalah
keniscayaan bagi satu kejahatan adalah pasti, namun usaha pembelaan hukum
agar terbebas dari hukuman tak manusiawi juga merupakan bagian dari kewajiban
negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warganya apapun jenis
kejahatannya.
Tekanan Internasional
Dalam
laporan yang dilansir Human Rights
Watch, Arab Saudi masuk dalam kategori negara yang banyak melakukan
pelanggaran HAM dalam hal penghukuman dan penyiksaan tak manusiawi, terutama
pada pekerja rumah tangga migran. Laporan ini berbanding lurus dengan kasus
yang dialami buruh migran kita.
Berbagai
negara telah meminta Arab Saudi untuk memperbaiki sistem penghukuman mereka,
meski hingga saat ini Saudi bergeming. Indonesia seharusnya juga dapat
melakukan tekanan internasional untuk memperjuangkan nasib buruh migran kita.
Pemerintah haruslah memiliki posisi tawar yang kuat akan hal ini. Ratifikasi
Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah
dilakukan pemerintah seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan posisi
tawar kepada Saudi dalam pemenuhan hak buruh migran.
Tidak
hanya kepada Saudi, pmerintah juga bisa meminta dukungan internasional untuk
menghapuskan perbudakaan dan penghukuman yang tak manusiawi yang menimpa
buruh migran kita disana. Upaya untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak
warga negara melalui mekanisme internasional patut untuk dilakukan. Hal ini
sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam upaya memberikan pemenuhan
hak asasi warganya tidak terkecuali buruh migran.
Jika
keempat hal diatas dilakukan secara simultan, maka penebusan uang darah
tidaklah menjadi alternatif tunggal dalam penyelesain kasus hukuman mati yang
membelit buruh migran kita seperti yang terkesan selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar