Selasa, 11 Februari 2014

Sumpah “Lebai”

                               Sumpah “Lebai”

Arswendo Atmowiloto   ;   Budayawan
KORAN JAKARTA,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Ketika Anas Urbaningrum mengatakan bersedia digantung di Monas apabila terkait kasus korupsi Hambalang, satu rupiah pun, telinga bisa mendengar dan menangkap sebagai sanggahan besar dan bisa benar. Namun, otak nalar mencerna ada yang tidak benar, ada yang berlebihan. Ada lebai.

Misalnya, Monumen Nasional yang menjadi kebanggaan itu bukan tempat menggantung diri. Apalagi hukuman mati dengan menggantung tak begitu akrab dengan perbendaharaan bahasa sehari-hari. Yang banyak diucapkan adalah “gantung nikah”.

Bahasa lebai, pernyataan yang hiperbola, dianggap biasa dan seakan diterima begitu saja tanpa koreksi. Bahkan, Presiden SBY juga menggunakan kelebaian  ketika menyebut “seribu persen bohong”, atas hubungannya dengan seseorang.

Kalau seratus persen saja cukup, seribu persen berarti sepuluh kali lebih dari cukup. Dramatisasi inilah yang pada anak dan remaja menjadi terbiasa. Salah seorang cucu saya dengan mudah dan gagah membela diri denganSwear Mbah, saya sudah mandi.” Untuk menjawab pertanyaan apakah sudah mandi atau belum pun, seorang anak berani mengucapkan dengan sumpah.

Daftar ini ditambahkan dengan popularnya “sumpah pocong” yang dilansir oleh “calon presiden muda, Farhat Abas”. Nalar yang paling sederhana tidak mengenal bahasa sumpah pocong dalam urusan hukum. Juga bagaimana mungkin seorang diri, mewakili pribadi, seorang Farhat Abas mengumumkan diri sebagai calon presiden. 

Tata krama pencalonan presiden tidak seperti itu, tidak semudah asal njeplak, meneriakkan. Tapi itu yang terjadi, tanpa menjadikan risi peneriaknya, dan menganggap semua telinga akan mendengar dengan baik dan benar.

Kini tambah lagi. Ruhut Sitompul, juru bicara Partai Demokrat, memperagakan tangan menggorok leher ketika membela Edhie Baskoro Yudhoyono, atau Ibas, yang dikaitkan, lagi-lagi kasus korupsi Hambalang. Kurang lebihnya Ruhut bilang: “Kalau dia terlibat, potong leher aku. Ibas itu mantap, aku penjaminnya seratus persen.” 

Kalau dicermati betul, siapa yang mau memotong leher Ruhut? Akan kena perkara sendiri. Lagi pula apa dasarnya Ruhut bisa menjadi penjamin? Siapa dia ini sehingga mampu menjadi penjamin bersalah atau tak bersalahnya seseorang? Untuk penjamin utang saja tidak segampang itu pengakuannya.

Saya tidak sedang menakar kadar para loyalis, atau keberanian seseorang untuk pasang badan mengambil risiko. Saya merasakan bahwa penggunaan bahasa kita telah berlebihan, dan karenanya meninggalkan makna sesungguhnya. Dalam arti lain, sesungguhnya ingkar dalam bicara sudah meraja lela.

Bukan hanya di kalangan anak-anak, atau remaja. Menjadi berlebihan, seperti sedang tipsy, mabuk kecil, seperti ketika gombalan cinta: “aku tak bisa hidup tanpa kamu”, atau “dunia ini menjadi kiamat, berhenti berputar”, yang kita maklumi pada saat berpacaran dan bisa ditertawakan. Namun, situasi para politisi ini lebih merisaukan. Karena tidak sedang dalam keadaan mabuk, dan tidak juga menertawakan diri sendiri.

Kelebaiankealaian telah masuk dan menjadi perbendaharaan dalam kehidupan politik dan rasanya perlu dipertanyakan kembali. Setidaknya dikritisi. Atau diambil jarak, atau diingatkan kembali kepada para pemakaiannya. Di awal tahun 70-an, ada sapaan bo, bagi lawan bicara. Dan ini berlaku terus, sampai seseorang mengingatkan bahwa itu bukan sapaan yang benar, pengganti kata kamu atau Anda. Bo, di sini kependekan dari kata cabo, atau sundal atau pelacur, yang menjadi idiom percakapan para bencong. Adalah kurang pas menggunakan sapaan bo, kecuali kalau yang diajak bicara dianggap sebagai cabo.

Kemudian kata sapaan bo menghilang, digantikan menjadi bro, kependekkan dari brother, saudara.

Mungkin juga sumpah lebai model sadis ala “gantung saya” atau “potong leher saya” ini akan berlalu. Saya harap begitu. Karena saya merasa miris, merasa cemas, betapa mudahnya kita menjadi berlebihan pada kenyataan yang sebenarnya, yang bisa sederhana diungkapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar