Sumpah “Lebai”
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 08 Februari 2014
Ketika Anas Urbaningrum
mengatakan bersedia digantung di Monas apabila terkait kasus korupsi Hambalang,
satu rupiah pun, telinga bisa mendengar dan menangkap sebagai sanggahan besar
dan bisa benar. Namun, otak nalar mencerna ada yang tidak
benar, ada yang berlebihan. Ada lebai.
Misalnya, Monumen
Nasional yang menjadi kebanggaan itu bukan tempat menggantung diri. Apalagi
hukuman mati dengan menggantung tak begitu akrab dengan perbendaharaan bahasa
sehari-hari. Yang banyak diucapkan adalah “gantung nikah”.
Bahasa lebai,
pernyataan yang hiperbola, dianggap biasa dan seakan diterima begitu saja
tanpa koreksi. Bahkan, Presiden SBY juga menggunakan kelebaian ketika
menyebut “seribu persen bohong”, atas hubungannya dengan seseorang.
Kalau seratus persen saja
cukup, seribu persen berarti sepuluh kali lebih dari cukup. Dramatisasi
inilah yang pada anak dan remaja menjadi terbiasa. Salah seorang cucu saya
dengan mudah dan gagah membela diri dengan: ”Swear Mbah,
saya sudah mandi.” Untuk menjawab pertanyaan apakah sudah mandi atau belum
pun, seorang anak berani mengucapkan dengan sumpah.
Daftar ini ditambahkan dengan
popularnya “sumpah pocong” yang dilansir oleh “calon presiden muda, Farhat
Abas”. Nalar yang paling sederhana tidak mengenal bahasa sumpah pocong dalam
urusan hukum. Juga bagaimana mungkin seorang diri, mewakili pribadi, seorang
Farhat Abas mengumumkan diri sebagai calon presiden.
Tata krama pencalonan
presiden tidak seperti itu, tidak semudah asal njeplak, meneriakkan.
Tapi itu yang terjadi, tanpa menjadikan risi peneriaknya, dan menganggap
semua telinga akan mendengar dengan baik dan benar.
Kini tambah lagi. Ruhut
Sitompul, juru bicara Partai Demokrat, memperagakan tangan menggorok leher
ketika membela Edhie Baskoro Yudhoyono, atau Ibas, yang dikaitkan, lagi-lagi
kasus korupsi Hambalang. Kurang lebihnya Ruhut bilang: “Kalau dia terlibat,
potong leher aku. Ibas itu mantap, aku penjaminnya seratus persen.”
Kalau
dicermati betul, siapa yang mau memotong leher Ruhut? Akan kena perkara
sendiri. Lagi pula apa dasarnya Ruhut bisa menjadi penjamin? Siapa dia ini
sehingga mampu menjadi penjamin bersalah atau tak bersalahnya seseorang?
Untuk penjamin utang saja tidak segampang itu pengakuannya.
Saya tidak sedang menakar
kadar para loyalis, atau keberanian seseorang untuk pasang badan mengambil
risiko. Saya merasakan bahwa penggunaan bahasa kita telah berlebihan, dan
karenanya meninggalkan makna sesungguhnya. Dalam arti lain, sesungguhnya
ingkar dalam bicara sudah meraja lela.
Bukan hanya di kalangan
anak-anak, atau remaja. Menjadi berlebihan, seperti sedang tipsy,
mabuk kecil, seperti ketika gombalan cinta: “aku tak bisa hidup tanpa kamu”,
atau “dunia ini menjadi kiamat, berhenti berputar”, yang kita maklumi pada
saat berpacaran dan bisa ditertawakan. Namun, situasi para
politisi ini lebih merisaukan. Karena tidak sedang dalam keadaan mabuk, dan
tidak juga menertawakan diri sendiri.
Kelebaian, kealaian telah
masuk dan menjadi perbendaharaan dalam kehidupan politik dan rasanya perlu
dipertanyakan kembali. Setidaknya dikritisi. Atau diambil jarak, atau
diingatkan kembali kepada para pemakaiannya.
Di awal tahun 70-an, ada sapaan bo, bagi lawan
bicara. Dan ini berlaku terus, sampai seseorang mengingatkan bahwa itu bukan
sapaan yang benar, pengganti kata kamu atau Anda. Bo,
di sini kependekan dari kata cabo, atau sundal atau pelacur, yang menjadi
idiom percakapan para bencong. Adalah kurang pas menggunakan sapaan bo,
kecuali kalau yang diajak bicara dianggap sebagai
cabo.
Kemudian kata
sapaan bo menghilang, digantikan menjadi bro,
kependekkan dari brother, saudara.
Mungkin juga sumpah lebai model
sadis ala “gantung saya” atau “potong leher saya” ini akan
berlalu. Saya harap begitu. Karena saya merasa miris, merasa cemas, betapa
mudahnya kita menjadi berlebihan pada kenyataan yang sebenarnya, yang bisa
sederhana diungkapkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar