Rabu, 12 Februari 2014

Pemberantasan Narkoba antara Komitmen dan Kenyataan

Pemberantasan Narkoba

antara Komitmen dan Kenyataan

HM Prasetyo   ;  Mantan JAM Pidum Kejaksaan Agung, Praktisi hukum/advokad
MEDIA INDONESIA,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Pemberian grasi atau pengampunan oleh seorang Presiden RI kepada siapa pun pelaku kejahatan narkoba, termasuk Corby, menjadi sebuah mimpi buruk bagi upaya pemberantasan narkoba di Indonesia. Sudah seharusnya dalam menggunakan hak tersebut, presiden juga mendengarkan suara masyarakat.”

PEMBEBASAN bersyarat yang diterima narapidanakasus narkoba asal Australia Schapelle Leigh Corby suka tidak suka menimbulkan kontroversi di sebagian masyarakat. Corby diputuskan bersalah menyelundupkan 4,1 kilogram ganja, dan diganjar hukuman 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali.

Kemarin, dia menikmati udara segar di luar jeruji besi kendati belum sepenuhnya bebas. Dari 20 tahun yang harus dijalani, Corby sudah mendapatkan diskon lima tahun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Mei 2012. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana terlukanya masyarakat ketika Corby seolah mendapatkan perlakukan khusus. Korting masa hukuman dan kini pembebasan bersyarat setelah sudah sembilan tahun mendiami sel.

Pemberian remisi, hingga grasi oleh Presiden, selanjutnya pembebasan bersyarat yang diperhitungkan setelah pemotongan hukumannya menjadi 15 tahun, dikhawatirkan justru akan semakin mendorong dan merangsang sindikat peredaran narkotika internasional untuk meningkatkan operasinya di Indonesia.

Bukti yang terungkap di persidangan memberikan keyakinan saya bahwa Corby merupakan bagian dari jaringan sindikat internasional itu. Saat masih dalam proses penanganan perkaranya, begitu pun saat sedang menangani kasus serupa oleh sembilan warga negara Australia yang dikenal dengan kasus Bali Nine, pernah Wakil Dubes Australia di Indonesia mendatangi saya yang ketika itu menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung. Dia menyampaikan `imbauannya' agar warga negaranya tersebut tidak dijatuhi pidana mati. Silakan dengan pidana penjara berapa lamanya, tapi jangan hukuman mati.

Dijelaskan kepada mereka bahwa beberapa UU dan hukum positif di Indonesia masih diperlakukan hukuman mati. Hukuman yang dimaksud disesuaikan dengan jenis kejahatan dan dampak yang ditimbulkan sesuai UU dan kejahatan yang bersangkutan. Demikianlah akhirnya Corby divonis 20 tahun penjara, sedangkan beberapa pelaku Bali Nine antara lain Sukumaran dijatuhi pidana mati.

Tidak konsisten

Pemberian remisi bahkan pengampunan/grasi, merupakan hak prerogatif presiden yang tiada pihak mana pun dapat mencegahnya. Namun, menurut saya, penggunaan nya haruslah dilakukan secara selektif. Manfaat, pengaruh, dan dampak ikutan serta lainnya harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Dapat dibayangkan betapa nar kotika sudah demikian merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan jutaan masa depan generasi muda. Fakta memperlihatkan bahwa dewasa ini Indonesia bu kan lagi sekadar menjadi salah satu sasaran daerah pemasaran, melainkan cenderung sudah dijadikan pusat jaringan peredaran bahkan menjadi negara produsen narkotika jenis sabu, ekstasi, dll.

Menjadi sebuah pertanyaan, mengapa hal tersebut sampai demikian? Menurut saya, hal tersebut tiada lain disebabkan pertama, law enforcement atau penegakan hukum yang sering tidak konsisten, bahkan lemah. Kedua, adanya berbagai kebijakan yang diperlakukan berlindung pada peraturan perundangan dan hak serta kewenangan yang melekat pada sebuah jabatan. Seperti halnya remisi, pembebasan bersyarat bahkan grasi yang semestinya diperlakukan secara cermat, bermanfaat, dan tidak serta-merta seperti yang dirasa adil bagi masyarakat.

Bandingkan dengan penegakan hukum dan sikap tegas terhadap mereka yang dinyatakan bersalah melakukan kejahatan yang sama di Malaysia. Jika melebihi hitungan gram seperti yang ditentukan aturan perundangan mereka, pelakunya bisa dijatuhi hukuman mati. Hukuman itu dilaksanakan dengan konsisten dan tidak pernah terdengar adanya kompromi ataupun perlakuan istimewa dari penguasa.

Akhirnya, pemberian grasi atau pengampunan oleh seorang Presiden RI kepada siapa pun pelaku kejahatan narkoba, termasuk Corby, menjadi sebuah mimpi buruk bagi upaya pemberantasan narkoba di Indonesia. Sudah seharusnya dalam penggunaan hak tersebut, presiden juga mendengarkan suara masyarakat. Harus diingat, dampak narkoba itu sangatlah buruk. Lihat saja korban-korban yang sudah bergelimpangan dan semakin lama terus bertambah. Semoga saja hal semacam ini tidak terulang kembali demi menghindari bencana masa depan bangsa yang demikian mengerikan, sebagai akibat dari penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar