Menuntaskan Reformasi
Birokrasi
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada FH Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
11 Februari 2014
PASCA-pengesahan RUU Aparatur
Sipil Negara, DPR dan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk
menyelesaikan pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan.
RUU Administrasi Pemerintahan (AP)
yang dinisbatkan elemen penting dalam proses reformasi birokrasi dan penataan
ulang sistem administrasi pemerintahan dapat diibaratkan mengatur ”otak,
tangan, dan kaki” aparat pemerintah.
Konon pemerintah ingin menggunakan
RUU AP untuk memperkuat birokrasi pemerintah, layaknya birokrasi pemerintah
di Jerman yang sering disebut sebagai pilar keempat trias politika
modern, sejajar dengan kuasa legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Eksistensi
pilar eksekutif dalam sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) kekuasaan negara
tak jarang menyebabkan eksekutif terbelenggu, bahkan terkooptasi oleh riak politik
dalam tubuh parlemen/legislatif. Hal itu menyebabkan kekuasaan eksekutif acap
kali tidak memiliki imunitas terhadap tekanan-tekanan (kepentingan) politik
(aktor-aktor politik) dalam tubuh legislatif.
Untuk mencegah tersendatnya
kinerja birokrasi pemerintah dalam melaksanakan fungsi pokoknya melayani
masyarakat, kekuasaan birokrasi perlu diperkuat dan memiliki imunitas agar
tidak kehilangan jati dirinya sebagai kuasa administratif. Dalam bahasa
Latin, administrasi berasal dari kata administrare yang maknanya melayani. Kuasa birokrasi yang
tercabut dari jati dirinya, sebagaimana sejatinya untuk
melaksanakan administrare, menyebabkan
keroposnya pilar kekuasaan eksekutif.
Dalam RUU AP, semua tindakan hukum
administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah
diharapkan dapat bersifat transparan. Wewenang badan atau pejabat pemerintah
diatur secara cermat, baik substansi wewenang, yurisdiksi geografis/wilayah,
maupun waktu berlakunya.
Wewenang diskresi
Seluruh prosedur pembuatan kebijakan
pemerintah, mulai dari persiapan pembuatan keputusan administratif
sampai hak untuk mengajukan keberatan administratif dan gugatan di peradilan
tata usaha negara, diatur secara cermat dan komprehensif inovatif dalam RUU
AP tersebut. Bahkan, syarat-syarat dan mekanisme penggunaan wewenang diskresi
oleh badan atau pejabat pemerintah seharusnya diatur secara limitatif dalam
UU Administrasi Pemerintahan kelak.
Keberadaan UU Administrasi
Pemerintahan sebenarnya sangat diperlukan sebagai komplemen dari UU Peradilan
Tata Usaha Negara karena UU Administrasi Pemerintahan akan menjadi hukum
materiil yang bisa merekatkan seluruh prosedur administrasi kewenangan
sektoral di berbagai lembaga birokrasi pemerintah. Keberadaan hukum materiil
tersebut di negara-negara lain yang memiliki tradisi hukum Eropa Kontinental,
seperti Perancis, Jerman, dan Belanda, akan mempermudah pelaksanaan fungsi
pengawasan yudisial dari institusi peradilan administrasi.
Selama ini betapa rumitnya
menelusuri dasar kewenangan badan atau pejabat pemerintah dalam mengeluarkan
keputusan-keputusan administratif. Sebab, dasar hukumnya cenderung bersifat
sektoral dan tersebar di berbagai lini sektor pemerintah. Akibatnya, sering
ditemukan adanya penggunaan wewenang diskresi pejabat pemerintah yang
memiliki dasar rasionalitas yang lemah, bahkan kebanyakan mengarah pada
berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang, termasuk maladministrasi, hingga
terjadinya praktik korupsi birokrasi atau kleptokrasi.
Diharapkan RUU AP bisa segera
diintegrasikan sebagai bagian dari undang-undang yang akan mendorong
reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Keberadaan undang-undang
administrasi pemerintahan yang membuat birokrasi pemerintah memiliki imunitas
terhadap tekanan pejabat politik harus diletakkan sebagai bagian penting dari
upaya mewujudkan sistem birokrasi pemerintah yang amanah.
Namun, mampu atau maukah di tahun
politik ini para elite politik di DPR melahirkan undang-undang yang mengatur
birokrasi yang apolitik? ●
|
Berbagai survei
menunjukkan bahwa calon pemilih menghendaki capres yang berusia muda, di
bawah 55 tahun. Ini tentu sejalan dengan tugas presiden yang secara fisik
sangat berat sehingga memerlukan stamina prima.
Tiap hari kita dapat
menyaksikan kiprah capres dalam mencalonkan dirinya dengan berbagai cara,
bahkan ada capres yang terang-terangan menolak dipasangkan dengan Jokowi.
Padahal, Jokowi sendiri belum mencalonkan dirinya. Capres yang saya sebut
terakhir ini entah karena apa malah menyalahkan Jokowi yang sibuk membangun
waduk. Beliau menonjolkan konsep megapolitan yang pernah diajukan, tetapi
belum pernah diwujudkan.
Tiba-tiba muncul sosok
yang mundur dari jabatannya sebagai menteri. Tampaknya juga ia menyasar
posisi calon RI-1 dengan berbagai cara. Kementerian yang
ditinggalkannya sedang dilanda kemelut beras impor yang membanjiri pasar
beras di Jakarta. Menilik namanya dan juga posturnya yang tinggi besar,
lelaki ini bisa dianggap sebagai lelaki yang melantunkan nada-nada
keperwiraan. Ingat karya sastra klasik terkemuka Bhagawad Gita atau
Gitanyali. Apakah dia sang ”satria piningit” yang selalu ditunggu
kemunculannya sebagai dulu SBY diuraikan sebagai lelaki (Bambang) yang susila
serta perwira?
Rasa bosan
Pernah memperhatikan
iklan produk yang diulang-ulang penayangannya? Timbul rasa bosan dan
muak menyaksikan tayangan iklan yang diulang-ulang: berkali- kali. Memang,
dengan pengulangan, kita menjadi lebih akrab dengan gagasan yang ingin
dikemukakan.
Tak kenal, maka tak
sayang; maka kenalkanlah supaya disayang. Namun, pengulangan yang berlebihan
dapat menimbulkan kebosanan, dan kebosanan melahirkan apatisme.
Hal ini perlu diingat
oleh mereka yang melakukan kampanye yang berlebih-lebihan. Hati-hati, jangan
sampai timbul rasa bosan di dalam diri calon pemilih. Bolehlah berkampanye
gencar pada masa kampanye nanti. Sekarang, kan, belum saatnya? Jangan sampai
dituduh mencuri awal kampanye.
Siapa yang akan
terpilih menjadi presiden dan wakil presiden belum dapat diprediksi sekarang.
Jangan-jangan akan muncul calon yang tak terduga dari sebuah partai.
Hanya Tuhan yang tahu.
Saya bukan tim peramal, tim sukses, tim survei, atau tim apa pun. Bagi
saya, presiden harus sehat jasmani dan rohani, sehat pula secara emosional.
Menjadi presiden sungguh berat, maka sebaiknya yang mencapreskan diri masih
berusia muda, yang sepuh minggir saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar