Minggu, 02 Februari 2014

Matahari Kembar di Atas Konflik Suriah

Matahari Kembar di Atas Konflik Suriah

Hasibullah Satrawi  ;   Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir
KORAN SINDO,  01 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Sejak Rabu(22/01) kemarin, Konferensi Jenewa II digelar di Swiss untuk menyelesaikan (lebih tepatnya membahas) krisis politik Suriah yang pada Maret mendatang genap berlangsung selama tiga tahun. Konferensi ini diperkirakan akan berlangsung selama satu minggu sampai 10 hari ke depan. Sejak Suriah dilanda badai revolusi pada pertengahan Maret 2011, inilah kali pertama perwakilan kelompok revolusi dan rezim Bashar al-Assad duduk dalam satu ruangan membahas penyelesaian perang saudara yang terus berkepanjangan itu. Pertanyaannya, sejauh mana konferensi ini akan berhasil memberikan solusi damai bagi krisis Suriah? 

Beda Prinsip 

Hingga tulisan ini ditulis belum ada tanda-tanda konferensi ini akan berhasil memberikan solusi damai bagi Suriah. Salah satu sebabnya adalah ada perbedaan prinsip di dua belah pihak bersama seluruh pendukungnya. Alih-alih, dua belah pihak justru menurunkan level keterlibatannya dalam konferensi ini dengan masing-masing. 

Telah dimaklumi bersama, kelompok revolusi Suriah yang tergabung dalam Koalisi Nasional Suriah akhirnya bersedia hadir dalam konferensi Jenewa II setelah diyakinkan oleh para pendukungnya (AS dan sekutunya) bahwa konferensi ini akan menjadi solusi damai menuju pemerintahan transisi Suriah pasca-Assad. (Ash-Sharq Al-Awsat, 18/1). 

Sementara rezim Bashar al-Assad juga bersediahadirsetelahmendapatkan jaminan (dari Rusia) bahwa konferensi ini tidak akan membahas peralihan kekuasaan (dari pemerintahan Bashar al-Assad menuju pemerintahan transisi), melainkan hanya akan membahas cara-cara damai dalam menyelesaikan krisis politik di Suriah. “Kalau hanya untuk memberikan kekuasaan, untuk apa kami jauh-jauh datang ke Jenewa,” demikian kurang lebih pernyataan Assad yang dikutip banyak media di Timur Tengah menjelang pelaksanaan konferensi ini. 

Pihak Luar 

Konferensi Jenewa II menjadi salah satu bukti kuat bagi kuasa dan peran pihakpihak luar dalam konflik Suriah, baik pihak luar dalam arti regional (seperti negara-negara Arab plus Turki untuk kelompok revolusi, Hizbullah, dan Iran untuk rezim al-Assad) maupun internasional (seperti AS, Inggris, dan sekutunya untuk kelompok revolusi, Rusia dan China untuk rezim al-Assad). Konferensi Jenewa II akhirnya lebih mencerminkan inisiatif bernada paksaan dari pihak-pihak luar tersebut dibanding kesadaran kompromi dan rekonsiliasi dari pihak-pihak yang bertikai di Suriah. 

Justru sebaliknya, tampak ada perbedaan yang sangat jauh antara aspirasi pihak-pihak yang bertempur di lapangan dan pihak-pihak luar yang mengendalikan konflik ini. Mereka yang ada di lapangan cenderung menyelesaikan konflik ini melalui jalur peperangan. Inilah yang tampak jelas dari pernyataan kelompok revolusi maupun rezim al-Assad. Sementara pihak-pihak luar (dari kedua belah pihak) menginginkan krisis Suriah diselesaikan dengan cara-cara damai. 

Persoalannya, pihak-pihak luar terkait konflik Suriah mengalami krisis kompromi dalam perang diplomasi yang dimainkan, sebagaimana krisis kompromi juga dialami oleh mereka yang berperang secara fisik di lapangan. Pihak oposisi dengan para pendukungnya menginginkan pelengseran Bashar al-Assad sebagai syarat utama menuju pemerintahan transisi Suriah. Sementara kubu Bashar al-Assad dan para pendukungnya menginginkan sebaliknya. 

Kendati demikian, pihak-pihak terkait krisis Suriah tampak sangat menyadari akibat dari krisis politik yang berkepanjangan ini, khususnya pihak-pihak luar di bawah komando AS dan Rusia. Apalagi krisis ini terus memakan korban jiwa. Sampai hari ini sudah lebih dari 100.000 orang meninggal akibat konflik yang terus diulur ini. Sedangkan jutaan rakyat Suriah harus mengungsi, kehilangan harta benda dan kepastian masa depannya. 

Saat ini bahkan sudah tidak ada lagi lembaga-lembaga regional maupun internasional (baik media maupun LSM) yang secara intensif menghitung pertambahan korban dari hari ke hari (seperti awal-awal konflik ini terjadi). Semakin lama konflik ini berlangsung, selama itu pula negara-negara luar dapat melihat wajah buruk dari politik luar negerinya. Pun demikian, semakin banyak korban yang jatuh akibat konflik ini, semakin besar tumpukan “dosa politik” dari negara-negara itu mengingat sejak awal mereka telah menjadi bagian dari konflik ini. 

Kurang lebih kesadaran inilah yang telah mendesak negaranegara adikuasa untuk melaksanakan konferensi Jenewa II walaupun segala sesuatunya tampak belum jelas seperti di atas. Dengan kata lain, konferensi Jenewa II sesungguhnya tak lebih dari sekadar ambisi negara-negara besar untuk “mencuci” dosa-dosa kolektif mereka terhadap rakyat Suriah. Persoalannya, api konflik di Suriah sudah telanjur berkobar di mana-mana. Konflik ini bahkan telah menyulut semangat sektarianisme yang kemudian kentara dengan aroma radikalisme hingga terorisme. 

Bila tidak segera diantisipasi, konflik Suriah akhirnya tidak hanya menjadi ancaman bagi rakyat Suriah secara umum, tapi juga ancaman terhadap masyarakat dunia secara lebih luas. Mulai dari negara-negara Barat seperti di atas yang selama ini terang-terangan melibatkan diri dalam konflik Suriah hingga Indonesia yang sejauh ini menjaga diri dalam menyikapi konflik Suriah. Sebagaimana dimaklumi bersama, konflik Suriah mutakhir acap menjadi sumber konflik baru yang menarik pihak-pihak luar ke dalamnya. 

Semangat sektarianisme, radikalisme, hingga terorisme telah menjadi mesin yang menambah kuat daya tarik konflik ini terhadap sejumlah pihak dari luar Suriah. Menurut sebagian sumber, beberapa pihak dari Indonesia bahkan saat ini sudah ikut masuk dalam pertempuran di Suriah. Di beberapa tempat penulis kerap menggunakan istilah “afghanisasi” untuk menggambarkan proses penarikan pihakpihak luar ke dalam konflik Suriah, baik atas nama semangat sektarian, keagamaan, maupun lainnya. Sebagaimana Afghanistan dahulu menjadi “madrasah” sekaligus “kiblat” peperangan bagi banyak pihak di luar sana, Suriah saat ini pun mulai mengalami hal serupa. 

Matahari Kembar 

Di sinilah pentingnya menghentikan politik matahari kembar yang selama ini dimainkan negara-negara maju dalam konflik Suriah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, krisis politik yang berkepanjangan di Suriah tak lepas dari peran pihakpihak luar. Terutama ketika pihak-pihak luar memosisikan diri (atau lawan) secara sejajar. Hingga terjadi apa yang penulis sebut sebagai politik matahari kembar. Dalam hemat penulis, politik matahari kembar inilah yang telah turut andil dalam memperpanjang dan memperluas cakupan konflik Suriah dengan semua korban yang telah ditimbulkan. 

Dalam kondisi seperti ini masing-masing pihak terus merasa mempunyai kekuatan dan dukungan untuk mengobarkan api peperangan yang hanya akan semakin menyengsarakan rakyat Suriah. Penulis menyebutnya sebagai sebuah politik karena sesungguhnya pihak-pihak luar yang terlibat di Suriah selama ini dapat menggunakan kekuatannya untuk menjadi “matahari” satu-satunya di sebuah wilayah konflik. Skenario inilah yang telah terjadi di wilayah konflik seperti di Libya dan Irak. 

Kendati demikian, dalam konteks krisis politik di Suriah, pihak-pihak ini cenderung menangguhkan dan mengabaikan kekuatan yang dimilikinya. Hingga tercipta apa yang penulis sebut sebagai politik matahari kembar seperti di atas. Karena itu, bila masyarakat dunia benar-benar peduli dengan nasib rakyat Suriah, sejatinya konferensi Jenewa II dijadikan sebagai momentum untuk mengakhiri permainan politik matahari kembar di Suriah. Hingga rakyat Suriah mendapatkan kedaulatannya kembali untuk menentukan masa depan mereka sendiri baik bersama rezim Bashar al-Assad ataupun kelompok revolusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar