Sabtu, 01 Februari 2014

Korporasi sebagai Subyek Hukum Pidana

          Korporasi sebagai Subyek Hukum Pidana

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO,  31 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Era globalisasi sejak memasuki abad ke-20 sampai saat ini mengutamakan kekuatan ekonomi global daripada kekuatan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa. Alasannya karena para ahli negara maju berpandangan bahwa, ekonomi global merupakan tulang punggung bangsa-bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dunia. 

Bahkan terkandung maksud adanya ”Satu Dunia” di mana negara dan bangsa tidak tersekat- sekat baik secara geografis, kebangsaan dan ekonomi. Pasca-Perang Dunia II dengan segala akibat buruknya, ide globalisasi khusus dalam bidang ekonomi dipandang sebagai solusi terbaik. Namun dalam kenyataannya, pilihan ini telah menciptakan masalah baru karena selama lebih dari dua puluh lima tahun, kesejahteraan dunia/ bangsa-bangsa tidak pernah tercapai kecuali negara maju semakin sejahtera dan negara miskin semakin miskin dan negara berkembang sulit atau tidak beranjak dari posisinya. 

Di tengah ketidakpastian baik dalam bidang ekonomi dan sosial, bidang hukum selalu terlambat mengantisipasi datangnya musibah dalam dua bidang kehidupan tersebut karena kepastian hukum di negara berkembang khususnya selalu bergelimang dengan suap atau korupsi dan bahkan sangat miris dengan fakta telah terjadi ”miscarriage of justice”. Keadaan tersebut di negara maju tidak separah di negara berkembang termasuk di Indonesia. 

Namun, kekuatan ekonomi global juga tidak pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan negara berkembang pada khususnya sehingga kekuatan hukum di negerinya kehilangan daya ikat yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan ekonomi nasional dan internasional yang ditopang oleh korporasi multinasional yang sehat tidak selamanya menjadi kenyataan, bahkan sering sebaliknya di mana korporasi dimaksud merupakan bagian dari masalah nasional/internasional. 

Salah satu masalah daripadanya adalah perbuatan suap dalam aktivitas bisnis transnasional yang telah dinyatakan sebagai kejahatan antarbangsa berdasarkan OECD Convention Against Bribery of Foreign Public Officials In International Business Transaction (1997). Tujuan konvensi OECD adalah melarang korporasi multitransnasional melakukan perbuatan suap terhadap pejabat negara setempat. Untuk mencapai tujuan tersebut dalam praktik, negara-negara berbeda- beda cara dalam menghadapi korporasi yang terlibat tindak pidana suap. 

Amerika Serikat dan Inggris telah memperlakukan korporasi yang terlibat suap di negara lain berbeda dengan negara berkembang khusus Indonesia. Dalam perkara suap oleh Monsanto (Amerika Serikat) dan Innospec (Inggris), badan hukum asing; pihak berwenang di kedua negara telah memberikan sanksi denda administratif saja tanpa penghukuman badan, dengan kewajiban pihak pemerintah melindungi korporasi tersebut dari gugatan atau tuntutan negara atau pihak lain sebelum terjadinya kasus suap yang melibatkan dua korporasi tersebut. 

Perlakuan hukum yang disebut injunction di dalam sistem hukum anti korupsi di kedua negara tersebut telah dapat memelihara dan mempertahankan eksistensi dan kelanjutan kehidupan korporasi dalam mengikuti perkembangan persaingan ekonomi global serta tetap turut serta menyumbangkan devisa terbesar bagi negaranya. Selain keuntungan, cara perlakuan hukum terhadap kedua korporasi tersebut pengawasan tetap berlanjutdari badan berwenang dan jika terjadi pelanggaran oleh kedua korporasi tersebut maka pengurus korporasi dikenakan pidana badan selama 25 tahun tanpa kecuali. 

Berbeda halnya perlakuan hukum terhadap korporasi di Indonesia, contoh kasus Texmaco telah menjadi besi tua dan kasus Dipasena, menjadi lumpur; tidak ada kemaslahatan yang timbul dari cara perlakuan hukum Indonesia terhadap korporasi yang telah terlibat dalam kasus korupsi. Perlu ada perubahan cara pandang dalam sistem hukum pidana Indonesia terhadap korporasi yang terlibat tindak pidana suap atau korupsi. 

*** Cara pandang retributif harus mulai ditinggalkan dan mulai menerapkan cara pandang restoratif, yaitu memperlakukan korporasi sebagai subjek hukum pidanayangberbedadenganmanusia atau tidak harus diidentikkan dengan manusia sehingga tidak perlu diperlakukan sama dengan manusia. Teori identifikasi dalam pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi terbukti tidak selalu menguntungkan bagi korporasi di negara berkembang terutama di dalam iklim persaingan global. 

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa maju mundurnya korporasi nasional dalam memajukan ekonomi nasional sangat dipengaruhi, secara teoretis, dari cara pandang ahli hukum termasuk praktisi hukum terhadap status korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selama ini korporasi dalam sistem hukum pidana dianggap memiliki ”mens-rea” dan dianggap terwakili oleh direksinya, sejatinya dalam praktik menjadi masalah dari sudut kemanfaatan terbesar bagi pihak yang dirugikan atau negara dibandingkan dengan tujuan kepastian hukum dan keadilan. 

Mensrea korporasi diidentikkan dengan manusia mengakibatkan konsep ”dolus” dan ”culpa” menjadi bias ketika diterapkan pada korporasi sedangkan korporasi menurut hukum perdata terletak pada ranah hukum privat bukan hukum publik dengan segala akibat hukumnya. Di Indonesia status hukum korporasi dalam konteks perbedaan sistem hukum tersebut telah menyisakan banyak masalah apalagi dikaitkan dengan BUMN persero yang bernaung di bawah UU RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 

Pandangan mayoritas ahli hukum pidana termasuk penegak hukum saat ini perlu ditata kembali terutama dalam konteks persaingan ekonomi global dengan segala hipokritisme perlakuan hukum negara maju terhadap negara berkembang. Pandangan mayoritas ahli hukum pidana dan terutama pembentuk undang-undang pidana juga perlu mempertimbangkan, sejauh mana penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam konteks tersebut dapat memberikan kemaslahatan terbesar bagi perkembangan kemajuan ekonomi nasional dibandingkan dengan kemudaratannya. 

Cara pandang ahli hukum termasuk praktisi hukum yang tetap bersikukuh akan kebenaran teori identifikasi dalam melihat status hukum korporasi dalam sistem hukum pidana di satu sisi dan abai terhadap kenyataan persaingan ekonomi global beserta dampaknya. Serta mencerminkan ketidakpedulian atas nasib ekonomi nasional di tengah persaingan global pada umumnya khususnya peranan strategis korporasi nasional dalam memajukan perkembangan perekonomian nasional vis a vis peningkatan kesejahteraan sosial bangsanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar