Kemerdekaan Pers
Achmad Fauzi ; Aktivis
Multikulturalisme
|
TEMPO.CO,
12 Februari 2014
Pers Indonesia harus merdeka! Pekik harapan ini
mengemuka dalam setiap momen Hari Pers Nasional, 9 Februari. Dalam
perjalanannya, pers acap dipandang secara tidak proporsional. Benar, doktrin
kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada saat yang sama
keberlangsungan pers selalu disudutkan oleh penguasa.
Setiap Hari Pers, Presiden kerap mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampu menjalankan fungsi pers sebagai bagian dari proses check and balance terhadap penggunaan kekuasaan di Indonesia. Namun, ketika pers menjalankan fungsi kontrol, tak jarang penguasa mengecamnya, sehingga pers (baca: media) kehilangan independensi, kehilangan pembaca, pendengar, pemirsa, dan iklan. Pemerintah hanya melanggengkan media yang dianggap mendukung politik pencitraan. Sementara itu, harapan membangun pilar pers yang merdeka dengan memelihara nalar kritisnya hanyalah cita-cita utopis. Padahal, peran pers menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian persoalan bangsa. Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakan kebebasan dalam menjalankan tugas jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapatkan berita, mengolah dan menyusun berita, serta menyiarkan berita. Dengan demikian, semua bentuk pengerdilan otoritas pers, baik pembatasan bersifat preventif maupun represif yang dilakukan tanpa mengikuti prinsip demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang sewenang-wenang, karena itu dilarang. Selama ini pers atau media dianggap terlalu "kebablasan" dan kerap mengkritik pemerintah. Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di Indonesia dan awal mula robohnya pilar pers kita. Sebab, media tidak mungkin mengkritik pemerintah tanpa dasar, karena ketika pers "ngawur" memberitakan kebobrokan suatu rezim tanpa didukung oleh fakta, secara alamiah pers akan ditinggalkan masyarakat. Pers dijamin tidak akan dipercayai lagi kredibilitasnya. Pemerintah tidak perlu pusing menanggapi jamaknya kritik dari media. Sebab, pemerintahan yang baik akan tetap baik di mata masyarakat, kendati media menjelek-jelekkannya. Cukuplah menjawab kritik itu dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi pemerintah terkuras habis hanya karena polemik tentang politik pencitraan, sementara agenda besar yang direncanakan terbengkalai. Ketidakharmonisan hubungan pers dengan kekuasaan sejatinya akan menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, pengecaman atas fungsi kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter, sehingga berpotensi memunculkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, pers sebagai unsur kekuasaan sosial akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi, yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan masyarakat. Seperti kita ketahui, masyarakat banyak mengetahui informasi penting, terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintah, karena peran media. Ketika pers menjalankan perannya dalam memberi kritik yang obyektif dan berimbang kepada penguasa, sesungguhnya pers sedang mewakili suara masyarakat. Dengan kata lain, pers menjadi instrumen demokrasi untuk menyuarakan mereka yang tidak mampu lagi bersuara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar