Kelud,
Ketulusan, dan Kebangsaan Kita
Ahyudin
; Presiden
Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation
|
KORAN
SINDO, 22 Februari 2014
|
Pasca-Amerika Serikat mengebom kota penting Jepang, Hiroshima
dan Nagasaki, bangsa Jepang kolaps sesaat. Jepang pun menyerah. Dunia tahu
siapa pemenang perang bersenjata itu.
Menyelami kedalaman solutif bangsa Jepang setelah kekalahannya,
Jepang menemukan elan kebangkitan luar biasa dan memenangi perang dahsyat
kebudayaan. Jepang dengan bekas radiasi bom atomnya, malah mengembangkan pola
makan sehat lantaran ketiadaan tanaman dan kehidupan yang normal di daratan:
sushi dan nori. Makan ikan mentah dan rumput laut, alih-alih sebagai sekadar
penyambung hidup, berkembang begitu kreatif bahkan mendunia. Makan ikan segar
itu sehat. Itu baru kreasi kulinernya. Dalam hal teknologi (perang),
kekalahan dari bangsa lain cukup sekali, sesudahnya bangsa Jepang mengembangkan
falsafah Kaizen: never ending
improvement, memperbaiki apapun sedikit demi sedikit setiap hari.
Hasilnya, Jepang meraih kembali kejayaannya. Bencana akibat
perang telah menguatkan kebangsaannya. Hari ini, segitiga pemerintah-
korporat-rakyat, menampakkan fenomena getir. Sejumlah oknum (dan jumlahnya
amat besar) penyelenggara pemerintahnya, tersangkut korupsi. Pengusahanya
berkembang menjadi kapitalis tamak. Ibarat membuka perkebunan sawit membabat
alas penyangga keseimbangan kawasan, lahan pun bahkan harus bersih dari
rerumputan saat land clearing,
dunia usaha dikuasai perilaku ”pembersihan bisnis dari usaha mikro”.
Yang kecil tersingkir lalu mati, padahal mereka tak pernah
memacetkan kredit perbankan triliunan, karena mereka sudah pasti unbankable!
Rakyatnya? Sebagian besar urusan krusialnya, terlebih dalam situasi bencana
di banyak tempat: terabaikan. Lalu, pemerintah mengeluarkan wacana hebat:
menggelontorkan dana besar penanggulangan bencana dan pemulihan sarana dan
prasarana fisik.
Rakyat pun ”siap” kalau saat dana direalisasikan, mereka belum
kunjung mendapat santunan dan pemulihan. Seperti ribuan rumah korban gempa di
Lombok Utara atau korban bendungan alam Wae Ela Maluku Tengah tahun lalu.
Belum lagi sejumlah penanggung jawab gudang logistik pemerintah di
wilayah-wilayah terpapar bencana, tak berani mengeluarkan jatah beras untuk
situasi darurat karena ”belum ada
perintah atasan”. Terlalu!
Dialog Masyarakat Sipil
Lalu siapa yang bersegera menolong korban bencana di mana-mana,
masif dan eskalatif ini? Masyarakat sipil sendiri: elemen keempat! Masyarakat
bahu-membahu menolong dirinya, dengan stimulasi-edukasiaktivasi lembaga
kemanusiaan. Lembaga kemanusiaan ini lahir karena panggilan, tumbuhkembangnya
terjadi dalam asuhan pengalaman, tanpa sedikit pun anggaran negara. Terlalu
banyak elite disibukkan mempersiapkan Pemilihan Umum 2014. Para elite bangsa
ini belum signifikan menunjukkan karya kemanusiaannya.
Sejumlah pembantu presiden pun, karena akan bertarung dalam
perhelatan demokrasi, mundur. Ketika itulah, agenda rakyat banyak menjadi
berselisih jalan dengan agenda elite penyelenggara pemerintahan. Saya baru
saja melintasi kota-kota di Jawa yang terpapar abu Kelud. Solo dan Yogyakarta
yang jauh dari Kelud, malah kerap terpapar ekses erupsi Gunung Merapi,
kembali ditebari abu vulkanik Kelud. Perjalanan melintasi jalan-jalan utama
Yogyakarta dan Solo, dipenuhi kepulan debu. Pepohonan dan bangunan diselimuti
debu. Hampir semua pengguna jalanan yang tak bermobil, tak dikenali lagi
wajahnya karena tertutup masker.
Masker seolah menjadi fesyen yang sedang ngetren. Semua
mengenakannya: rakyat kecil hingga Presiden negeri ini. Seorang relawan di
Pare, Kediri berseloroh, ”Luar biasa
Kelud ini, dihormati sekali sanggup mendatangkan presiden ke sini. Semoga
debu Kelud menjadi awal datangnya berkah.” Di tengah kancah bencana, kita
menemukan ”kesamaan frekuensi” baik mereka yang menjadi korban dan mengungsi,
maupun yang datang dari banyak tempat atas dasar panggilan nurani. Frekuensi
itu bernama kemanusiaan.
Kemanusiaan menyelaraskan korban dan mereka yang peduli.
Kemanusiaan menjadi bahasa penyatu. Kemanusiaan segera menyatubahasakan elite
pengambil keputusan, rakyat dan elemen-elemennya. Meleset sedikit saja dari
ruh kemanusiaan, siapa pun akan kehilangan kesinambungan, bahkan bisa secara
ekstrem dipandang kehilangan kemanusiaannya. Bencana memaksa masyarakat sipil
berdialog intensif di ranah kemanusiaan.
Kelud: Lahan Ketulusan
Sejak erupsi Gunung Kelud Kamis malam, minggu lalu, warga
berlarian mengungsi. Sejauh ini mereka terkendali, tertib dan berinisiatif
mencari wilayah aman untuk mengungsi. Warga masyarakat dan aparat setempat
juga tanggap sejak sosialisasi kesiapsiagaan bencana hingga erupsi terjadi.
Kembali, bangsa ini menyempurnakan kebaktiannya dari elemen masyarakat sipil
dan pemerintah lokal. Sejenak di kawasan bencana, warna-warni keriuhan
politik menyurut.
Unjuk citra antarparpol yang bisa muncul pada situasi normal,
malah nyaris tak terlihat dalam aksi unjuk peduli. Satu dua atribut politik,
berkibar dalam aktivitas kemanusiaan, tapi minim sekali. Kampanye politik
malu hati umbar janji di tengah banyak orang yang sedang bersedih. Ini
kemajuan, pertanda mulai sensitifnya elite politik. Bahkan ini pertanda baik.
Masalahnya, ketika krisis sosial akibat bencana menyeruak, tak cukup dengan
sikap malu kampanye. Malulah, kalau tak sempat berbuat. Kreativitas pegiat
politik diuji untuk berkarya kemanusiaan lebih dari sekadar menebar peranti
politik.
Berkarya nyata dari beragam lini, terutama saat bencana menerpa
bangsa, tak sekadar memperbaiki citra diri, tapi semoga kian memperkukuh
performa dan kapasitas kepemimpinanpara pegiat politik. Bisa jadi, pandangan
para elite partai politik telanjur menganggap tabu memunculkan atribut partai
di tengah suasana duka korban bencana. Yang meningkat tajam, kompetisi
layanan kemanusiaan antara pemerintah (dan jajarannya) instansi terkait
dengan institusi masyarakat sipil dalam aksi unjuk kepedulian sosial.
Semua adu baik menggelar layanan kemanusiaan. Ini kompetisi
hebat yang mempercepat bangsa ini mengatasi seribu satu masalahnya. Tak lain,
karena penyelenggara pemerintahan maupun masyarakatnya adu baik mengelola
amanah. Sungguh, gejala baik yang melahirkan optimisme. Kian dekat saatnya
melihat bangsa ini merangkak menuju puncak kejayaan karena lolos dari
sergapan masif bencana. Kembali menengok bencana erupsi Kelud. Wilayah
terpapar dampak Kelud, adalah lahan keikhlasan.
Pemerintah pusat dan daerah, institusi pemerintah terkait
penanggulangan bencana, TNI dan Polri, kaum berpunya, pegiat kemanusiaan,
rohaniwan, intelektual, profesional: semua ikhlas berkarya kemanusiaan.
Mereka beraktivitas mulai dari yang berdoa, menyapu abu vulkanis dari jalan
utama berkilo-kilometer, menghidupkan dapur umum, berkontribusi harta benda,
berkomentar, menyebarluaskan pesan kepedulian dan banyak wujud keikhlasan
lainnya. Bangsa ini boleh kehilangan harta benda, sanak keluarga, kemewahan
dan kenyamanan, tapi jangan kehilangan keikhlasan.
Ya, Kelud (dan banyak lahan bencana alam dan sosial lainnya)
adalah lahan keikhlasan dari mana energi berkarya ”tak ada matinya”. Bencana menstimulasi sebuah bangsa menemukan
jalan lempeng untuk menjadi bangsa besar. Bencana ini stimulan mengaktivasi
kekuatan kepemimpinan, sekaligus menjadi penapis berpenampang halus lahirnya
pemimpin sejati. Gagal merespons bencana, gagal mengelola bangsa bahkan
dampak lanjutnya: gagal merawat kebangsaan. Tak ada jalan mundur untuk
kemanusiaan: hadapi, bahkan andai itu bernama ketidakpedulian politik atas
kemanusiaan. Bangkitkan kemanusiaan kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar