Demokrasi,
Kok Elektabel?
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional, Jakarta |
KORAN
SINDO, 08 Februari 2014
Dalam beberapa acara talkshow
televisi beberapa minggu ini setidaknya ada dua tokoh politik yang saya catat
pendapatnya hampir sama dengan saya. Intinya, demokrasi kita mestinya tidak
dikerangkeng oleh hantu popularitas dan elektabilitas.
Istilah popularitas sudah kita kenal lebih lama ketimbang elektabilitas yang muncul belakangan. Dalam kamus-kamus bahasa Indonesia hingga awal abad ke-21 ini, kata elektabeltidak ditemukan. Tetapi, saya kira dalam waktu dekat istilah ini diakui secara formal mengingat tinggi penggunaan kata elektabilitas di tengah hiruk-pikuk demokrasi langsung yang dihiasi ragam hasil jajak pendapat lembaga- lembaga survei politik yang sering membingungkan. Tokoh politik yang satu, mantan presiden, mengaku tidak kenal artis terkenal yang namanya disebut-sebut sebagai calon presiden oleh partai tertentu. Sang tokoh, dalam acara talkshow populer, dengan juru tanya yang kata-katanya cepat, kritis, dan mendesak-desak itu mengingatkan bahwa dalam memilih pemimpin hendaknya jangan yang selebritas. Saya menangkap maksudnya bahwa ia seperti hendak mengatakan kualifikasi kepemimpinan jauh lebih mendasar ketimbang popularitas, pun elektabilitas. Jangan terjebak pada ketenaran permukaan. Tenar alias populer belum tentu pantas kita pilih jadi pemimpin. Tokoh politik satunya lagi, orangnya lebih muda, berkacamata, dari partai oposisi, di penghujung sebuah acara talkshow keroyokan itu menyambar dengan kata-kata yang selaras dengan yang diutarakan sang mantan presiden. Demokrasi seharusnya tidak berurusan dengan popularitas, pun elektabilitas. Demokrasi mestinya berurusan dengan ikhtiar untuk mencari pemimpin-pemimpin yang bermutu. Demokrasi, kok popularitas? Demokrasi, kok elektabel? Benar bahwa dalam praktik demokrasi langsung ini popularitas pun elektabilitas penting, tapi sebagaimana sering disebut seorang tokoh politik, dari partai oposisi lagi, ihwal itu bukan segalanya. Komentar demikian saya kira relevan, setidaknya untuk berhati-hati dalam membaca hasil-hasil survei yang dirilis dengan maksudmaksud tertentu. Lazim dalam ungkapan populer, statistik itu bohong. Hasil survei, yang dikelola dengan metode statistik, juga berpotensi tidak benar. Rekayasa kebohongan statistik dalam survei tentu lebih kejam ketimbang kekeliruan-kekeliruan dalam metodologinya. Ketika demokrasi diturunkan maqomatau kelasnya, sekadar urusan-urusan teknis pelejitan popularitas pun elektabilitas, betul-betul kita dimasukkan ke perangkap demokrasi teknis yang tidak berurusan dengan aspek-aspek kualitatif. Dengan lain perkataan, demokrasi akhirnya sekadar memperkuat ilmu-ilmu permukaan dan perbisnisan popularitas. Demokrasi demikian diwarnai oleh ratusan pekerja di belakang meja, yang kerja dua puluh empat jam membuat isu dan perekayasaan sosial media sedemikian rupa. Mereka bagian integral dari para penghias pencitraan, subbagian opini. Di tengah derasnya kampanye pelejitan popularitas dan elektabilitas dalam era kepolitikan liberal ini, sesungguhnya itu semua bermuara pada bagaimana partai-partai politikdiujiolehsejarah. Partai-partai itu maunya ingin mencatat sejarah dengan mencetak kader-kader pemimpin yang berkualifikasi jelas ataukah sekadar menang- menangan? Kalau urusannya condong ke yang terakhir, partai-partaitidaklagi berurusan dengan perkaderan politik. Partai-partai sedemikian itu lebih mirip dengan lembaga kontes idola. Kalau perlu, setiap mau pemilu pasang iklan penawaran calon anggota legislatif. Para oligar alias elite penguasa partai kemudian suka-suka menyeleksinya. Kaum Penjahat Tetapi, kalau idealismenya benar- benar hendak menelurkan barisan para pemimpin, rumus bakunya jelas. Para ilmuwan politik merekomendasikan institusionalisasi politik. Dalam perspektif itu partai bukanlah halte sementara bagi mereka yang mau naik kendaraan menuju stasiun kekuasaan. Tetapi, partai adalah lembaga permanen yang sistemik, otonom, demokratis, dan punya tradisi kuat dalam seleksi kepemimpinan. Karena itu, partai adalah lahan bagi benih-benih kepemimpinan para kadernya. Partai harus dibersihkan dari godaan- godaan jahat. Demokrasi harus dibebaskan dari kerangkeng para penjahat. Atau seperti judul buku kumpulan makalah seminar transisi demokrasi di awal reformasi lalu, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat. Ingatlah, demokrasi bukan sistem terbaik kendatipun belum ada sistem politik yang lebih baik ketimbang demokrasi. Setidaknya demikian pesan Winston Churchill. Karena bukan sistem terbaik, bahkan Robert Dahl pun perlu menulis buku Democracy and Its Critics. Dari jantung negara terdemokratis pun, kritik terhadap demokrasi terbuka. Sebuah buku terjemahan karangan Wiliam Blum, Demokrasi: Ekspor Amerika Paling Mematikan. Tetapi, karena demokrasi masih dipandang terbaik, yang perlu dilakukan kita adalah membersihkan ihwal yang membuat demokrasi malah tak bermaslahat. Ketidakmaslahatan itu bisa muncul dari kekuasaan kaum penjahat dalam partai-partai atau organ-organ politik apa pun, termasuk lembaga-lembaga negara. Untuk mengantisipasinya, perlu sistem yang efektif untuk mencegah kaum penjahat itulah yang mengendalikan politik dan memegang kendali kebijakan publik. Dalam demokrasi, kata Nurcholish Madjid tempo dulu, bahkan setan gundul pun bisa muncul sebagai pemimpin karena dipilih orang banyak. Tetapi, permasalahan bagi kita tentu adalah mengikhtiarkan secara sistemik dan mentalitas untuk mencegah setan gundul itu terpilih sebagai pemimpin nasional. Pemimpin Instan Salah satu kritik terhadap demokrasi sebagai kebenaran orang banyak alias benere wong akeh, demikian setidaknya menurut Emha Ainun Nadjib, adalah bahwa kebenaran model demikian belum tentu kongruen dengan kebenaran yang sejati alias bener kang sejati. Dalam demokrasi, suara rakyat, suara Tuhan adalah jargon yang sering sangat menyesatkan sebab suara rakyat alias vox populi dalam banyak kasus malah memunculkan pemimpin ultranasionalis atau katakan pemimpin yang penjahat. Padahal, suara Tuhan alias vox Dei adalah suara kasih sayang dan kesejatian kebenaran. Sungguh, kalau kita terjebak pada sekadar vox populi, demokrasi masih belum lengkap sayapnya. Itu baru sayap kuantitas karena sayap lainnya adalah vox Dei dalam maknanya sebagai kepemimpinan yang sejati. Ini sayap kualitas. Dalam berpemilu sebuah masyarakat terkondisikan sedemikian rupa untuk pada akhirnya memilih setan gundul sebagai pemimpin, maka celakalah. Kendatipun ada yang berpendapat dipimpin setan gundul masih lebih baik ketimbang negara tak punya pemimpin. Imajinasi politik kita, sungguh, jangan sampai sebatas politik popularitas dan rebutan jadi tokoh yang elektabel secara superinstan. Imajinasi kita harus jauh dari sekadar urusan rebutan kekuasaan, bayangan-bayangan bahwa berkuasa itu enak dan bisa semaunya. Bukan pula sekadar ingin menjadi penguasa, melainkan juga harus melebihi itu semua, menjadi pemimpin, membangun peradaban yang bermaslahat. Wallahualam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar