Song
of Joy
Idrus F Shahab ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
03 Januari 2014
Pembaca,
kali ini kita membicarakan seseorang yang tentu kita kenal. Orang yang telah
beratus tahun silam mangkat, tapi "hantu"-nya selalu muncul setiap
pengujung dan awal tahun seperti ini.
Dialah Ludwig van Beethoven, kampiun para komponis dari zaman klasik sampai zaman kontemporer seperti saat ini. Dan baiklah kita mulai membicarakannya dengan sebuah fakta bahwa Desember adalah bulan Beethoven. Ia lahir di Bonn, Jerman, pada 17 Desember 1770. Dan tampaknya tidak ada bulan yang lebih tepat untuk memainkan atau memutar berulang-ulang rekaman Symphony No 9 in D Minor selain bulan di pengujung tahun yang baru lewat. Simfoni terakhir yang digubah sang komponis ini berkisah tentang harapan segenap umat manusia: kebebasan, perdamaian, persaudaraan, dan persamaan. Karya Beethoven yang dirampungkannya pada 1824 ini acap kali hadir manakala peristiwa bersejarah pecah. Musik yang dikenal dengan sebutan Ode to Joy ini dimainkan tidak lama setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 dan gempa bumi besar menghancurkan Jepang pada 2011. Bagian keempat simfoni ini dibuka dengan suasana mendung, yang dibangun oleh barisan pemain alat-alat gesek berat: bas, kontrabas, dan cello. Mungkin alat gesek tersebut dianggap sanggup mewakili perasaan-perasaan kelam dengan tepat. Melalui suasana ini, Beethoven seolah-olah menyodorkan gambaran seorang ibu yang-dengan segala peluh, pedih, dan nyeri-sedang berjuang keras dalam sebuah persalinan panjang. Suasana berubah total manakala klarinet dan flute, ditambah simbal, mulai membawakan melodi yang bergemerincing riang dalam nada-nada mayor. Sang bayi telah lahir, bayi kebebasan, persamaan, dan persaudaraan umat manusia serta semua instrumen bangkit memainkan nada-nada meriah tersebut. Pada puncaknya, kelompok paduan suara bergabung menyanyikan Ode to Joy, terjemahan An die Freude, puisi karya penyair Jerman abad ke-18, Friedrich Schiller, dalam melodi yang riang itu. Satu puisi yang berbicara tentang pembebasan segenap manusia. Ya, revolusi, reformasi, dan perubahan besar lainnya umumnya berangkat dari rasa perih dan pengorbanan. Lahir dari penolakan terhadap suatu keadaan, ia kemudian berakhir dengan labelisasi yang-acap kali-sewenang-wenang: sejumlah orang menjadi korban, sebagian menjadi pahlawan, dan sebagian lagi pengkhianat. Demikianlah, korban jatuh, lalu terjadilah suatu power struggle, yang pada akhirnya menetapkan seseorang sebagai pahlawan atau pengkhianat. Revolusi tentu berbeda dengan pemilihan umum, yang berangkat dari suatu kampanye di tanah lapang, dengan orkes dangdut yang menghibur dan mengantar sang calon pejabat berbicara di podium. Masyarakat menyambut revolusi dan memberikan dirinya demi kebebasan, persaudaraan, dan persamaan. Sebaliknya pemilihan umum. Memahami posisinya yang inferior, para juru kampanye justru mendatangi dan meminta dukungan massa pemilih. Tidak ada pahlawan dan pengkhianat dalam hal ini, melainkan sebuah tawar-menawar dan transaksi: masyarakat akan memilih calon yang menghibur dan menguntungkan. Mungkin karena hal superfisial itulah, bagian keempat Symphony No 9 in D Minor-dalam bentuk yang populer dikenal sebagai Song of Joy-terdengar lebih menggetarkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar