Minggu, 19 Januari 2014

Resep Manjur Menumbangkan Keperkasaan Jokowi

Resep Manjur Menumbangkan Keperkasaan Jokowi

M Aji Surya  ;  Pengamat Sosial,
Dosen Fakultas Komunikasi, Tanri Abeng University (TAU), Jakarta
DETIKNEWS,  15 Januari 2014
                                                                                                                        


Naiknya suhu politik tahun ini antara lain ditandai adanya kelompok yang panas hati dengan tingkat elektabilitas Jokowi yang terus meroket. Beberapa pihak telah mencoba menggempurnya, namun masih mandul. Mereka tidak tahu persis cara paling tepat untuk menumbangkan keperkasaan Jokowi. Cobalah resep ini.

Sebagai sebuah pengantar, saya perlu sampaikan bahwa setiap zaman pasti ada model pemimpin yang tepat untuk masyarakat. Pemimpin kemarin mungkin tidak cocok untuk hari ini, apalagi pemimpin jaman dulu (jadul). Bahkan seorang kepala desa atau menteri yang dianggap sukses 10 tahun lalu, kemungkinan tidak baik kalau dipasang saat ini. Begitu juga, pemimpin 50 tahun kedepan dipastikan tidak pas menjadi komandan politik masa kini. Biasanya, yang masih relevan hanyalah nilai-nilai (values) yang ditinggalkan. Itulah mengapa, banyak tokoh yang sadar diri untuk mundur dari panggung politik. Itulah mengapa banyak pengamat menyarankan, "Sudahlah, berikan kepada mereka yang muda".

Kalau kita mau menengok ke belakang, ternyata kita telah melewati era beberapa model kepemimpinan. Pada awal tahun 1900-an dimana penjajahan masih sangat mencengkeram dan masyarakat begitu terbelakang, maka pemimpin yang memberikan pencerahan tentang arti kemerdekaan menjadi sebuah kebutuhan. Budi Utomo dan KH. Ahmad Dahlan misalnya, adalah dua tokoh dan pemimpin yang sangat penting pada eranya.

Kemudian, kita sempat melalui sebuah masa yang memerlukan seorang pemimpin yang mampu mengobarkan semangat untuk kemerdekaan. Orasi yang membakar saat itu sangatlah diperlukan agar bangsa ini dapat bersama-sama terbebas dari penjajah dan mempertahankan keperdekaan yang diraih dengan susah payah. Saat itu kita memiliki pemimpin yang bernama Soekarno dan Bung Tomo.

Barulah kemudian, Indonesia memasuki zaman pembangunan dari papan yang paling bawah. Mengejar ketertinggalan dari berbagai negara. Bapak pembangunan saat itu sangat dibutuhkan dan pemimpin penuh orasi mulai ditinggalkan. Pendidikan dan infrastuktur mulai digeber sehingga masyarakatnya semakin melek dan berotak encer. Awalnya, masyarakat mengamini pemimpin yang seperti ini, namun kenyataannya kemudian bosan dan menggantinya dengan yang lain.

Era yang lebih baru pun tiba. Sebuah zaman yang mengidam-idamkan demokrasi dan keterbukaan. Demokrasi menjadi sebuah kata kunci bagi seseorang yang mau menjadi pemimpin. Mereka yang tidak doyan demokrasi, pasti disingkirkan dan tidak terpilih. Kebebasan pers, jaminan mengekspresikan diri dan menjunjung pluralisme menjadi sebuah trend teranyar dalam masyarakat.

Tiba-tiba saja, masyarakat ini kemudian terpesona oleh pemimpin yang berwibawa, berpostur bagus, tidak mengecewakan dalam penampilan dan bertutur bijak. Itulah mengapa kemudian muncul seorang presiden yang memang pas pada masa itu. Masyarakat berharap, keinginan dan cita-citanya mampu diejawantahkan oleh pemimpin yang dipilihnya secara demokratis.

Fenomena Jokowi sebenarnya hanya menunjukkan sebuah trend baru dalam masyarakat Indonesia. Setidaknya, hal ini menandakan bahwa secara umum, bangsa ini sedang memiliki mimpi anyar, yakni seorang pemimpin yang lugas, mampu berkomunikasi serta terlihat bekerja nyata. Tidak perlu lagi retorika, membakar semangat seperti zaman kemerdekaan, beradu konsep yang muluk-muluk, kelihatan pintar, pandai bersilat lidah, atau berpakaian tepat dan bagus.

Memahami Jokowi cukuplah dengan dua kata: lugas dan kerja. Lupakan yang lainnya. Jokowi tidak pandai debat makanya tidak mau berdebat. Jokowi tidak pandai berpakaian makanya kalah necis dibanding mereka yang mengedepankan pencitraan. Jokowi tidak terlalu pintar karena memang "hanya" alumnus universitas ndeso. Jokowi krempeng dan tidak cakep, makanya kalah dengan mereka yang memiliki six packs.

Kekuatan Jokowi hanya dalam kata lugas dan kerja. Dia lugas alias apa adanya, sekaligus sederhana. Tidak mengada-ada. Dia sangat tidak perduli dengan apa kata orang terhadapnya. Yang penting baginya hanyalah bekerja siang dan malam. Mencoba yang terbaik dan memperbaiki keadaan sesuai kemampuannya dengan cara mengkomunikasikan dengan masyarakat secara langsung. Ia jarang sekali menggunakan bahasa Inggris dalam percakapannya. Uniknya, Jokowi berani melawan siapapun ketika ia merasa benar. Akhirnya, pria asal Solo ini meroket dan mendapat dukungan publik secara luas.

Resep Mengalahkan Jokowi

Pertama, jangan merendahkan apa yang dilakukan Jokowi. Saat ini, apa yang dilakukan Jokowi dirasa pas oleh banyak kalangan. Meskipun hasilnya masih minim, kemauannya untuk bekerja dan blusukan menjadi dambaan masyarakat. Bayangkan, ketenaran Jokowi sudah lintas suku, mulai dari Sabang sampai Merauke. Merendahkan pekerjaan Jokowi pada dasarnya hanya sebuah kegiatan "bunuh diri" dan sulit memberikan hasil yang optimal. Hindari mengolok-olok Jokowi dengan cara yang naif dan bertentangan dengan keinginan masyarakat.

Kedua, jangan ajak Jokowi untuk melakukan debat konsep. Pasti tidak akan dilayani karena ia memang tidak memiliki kapasitas untuk itu. Lihatlah bagaimana debat yang terjadi pada pemilihan gubernur DKI tempo hari. Kalimat Jokowi terasa sederhana dan hanya menyandarkan dua kata: dikomunikasikan dan blusukan. Dua kata itulah yang ternyata sangat magis dan menjadi ujung kemenangannya yang tak terprediksikan oleh lembaga survey manapun. Mengajak debat dengan Jokowi sama saja dengan berdebat dengan "tembok".

Ketiga, jangan buang-buang duit dengan pencitraan. Setiap mereka yang ingin mengalahkan Jokowi harus sadar bahwa pencitraan tanpa karya adalah sebuah pembohongan publik. Sayangnya, masyarakat kita sekarang sudah relatif terdidik secara politik dan mampu mengendus siapa yang sungguh-sungguh dan siapa yang berkamuflase. Ketika meraih kursi DKI 1, Jokowi tidak memasang spanduk, apalagi iklan di teve, melainkan hanya menggunakan atribut baju kotak-kotak.
Keempat, jangan main kasar. Maksudnya, bersainglah dalam sebuah kerangka demokrasi yang tinggi, atau menurut istilahnya Amien Rais: high politics. Berpolitik dengan adab, sopan santun dan aturan yang benar. Saya sangat mengkhawatirkan, permainan politik yang tidak bermoral justru akan seperti sebuah bumerang yang akan lari kepada dirinya sendiri. Di masa sekarang, sudah sangat sulit untuk menyembunyikan sesuatu. Lebih baik transparan dan mengedepankan rule of law dan etika.

Kelima, tunjukkan prestasi diri. Kalau dalam konsep Islam, ini sama dengan "berlomba-loma dalam kebajikan". Tidak perlu menyerang, tetapi memunculkan secara lugas apa yang telah dilakukan untuk masyarakat dengan hasil-hasil yang bisa terukur. Pernah memberikan sesuatu yang dibutuhkan bangsa. Menyombongkan diri dalam hal kebaikan, bukan dalam kecongkakaan. Cara ini pasti diapresiasi oleh masyarakat Indonesia saat ini. 

Keenam, bekerja keras dan cerdas. Yang dibutuhkan untuk mengalahkan Jokowi adalah memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bekerja keras untuk memenuhi mimpi-mimpi rakyat. Kalau Jokowi bisa mengusahakan perbaikan waduk Ria-Rio, kenapa yang lain tidak melakukan yang serupa. Kalau Jokowi bekerja keras untuk merealisasikan MRT dari selatan ke utara, kenapa yang lain tidak membuat dari timur ke barat. Kalau Jokowi melancarkan jalan di Tanah Abang, kenapa yang lain tidak melakukan hal yang sama di Kebayoran Lama. Sungguh, masih banyak sekali hal yang menjadi PR bangsa ini. Berhentilah berkonsep yang mengukir langit, tapi bekerjalah. Rakyat sudah capek dengan janji-janji surga.

Terakhir, kalaupun sudah berusaha dengan aneka cara diatas tapi kira-kira masih akan KO melawan Jokowi, maka lakukan konsep ini: "Kalau tidak bisa mengalahkan, bergabunglah". Mungkin menyakitkan, tapi dalam dunia politik semua serba mungkin. Rubahlah pola pikir: yang menjadi ukuran bukan soal menang atau kalah, tapi seberapa besar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Insya Allah bangsa ini akan maju dan makmur.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar