Pendidikan
Menyongsong 2014
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 02 Januari 2014
ANGGARAN pendidikan nasional ditaksir Rp371,2 triliun dari total
rancangan APBN 2014 yang mencapai Rp1.816,7 triliun. Itu berarti pada 2014
anggaran pendidikan mengalami kenaikan 7,5% dari APBN 2013 yang “hanya”
Rp345,3 triliun.
Dari anggaran tersebut, 65% (Rp241,2 triliun) di antaranya dialokasikan untuk gaji guru dan dosen. Dilihat dari jumlah, angka itu tergolong fantastis jika dibandingkan alokasi untuk departemen lain. Tetapi, dalam implementasinya alokasi anggaran pendidikan ternyata sangat beragam. Semua bergantung pada pendapatan daerah dan komitmen kepala daerah. Ada daerah tertentu yang mengalokasikan anggaran pendidikan lebih dari 20%. Sebaliknya, ada daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan jauh di bawah 20%. Padahal Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanahkan anggaran pendidikan minimal 20%. Persoalan lain yang krusial berkaitan dengan penganggaran bidang pendidikan adalah ketimpangan dalam mengalokasikan anggaran antara satuan pendidikan yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Akibat itu, selalu ada kesenjangan mutu antara pendidikan di bawah Kemendikbud dan Kemenag. Di samping itu juga terjadi ketimpangan anggaran yang diberikan pada sekolah yang dikelola pemerintah (negeri) dan yayasan atau organisasi kemasyarakatan (swasta). Faktor ketimpangan anggaran itulah yang mengakibatkan mutu pendidikan belum merata. Akibat itu, kesenjangan mutu pendidikan antar daerah kian melebar. Begitu juga dengan kesenjangan mutu pendidikan umum dan agama serta negeri dan swasta. Rasanya sudah waktunya pemerintah mengakhiri politik penganggaran bidang pendidikan. Kemendikbud, Kemenag, pemerintah, dan swasta memiliki tugas yang sama-sama mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, Kemendikbud dan Kemenag serta pemerintah dan swasta harus sering “bertegur sapa” agar pendidikan nasional semakin bermutu. Besarnya anggaran untuk gaji guru dan dosen semestinya berbanding lurus dengan mutu pendidikan. Karena faktanya belum terjadi, pemerintah harus membuat regulasi untuk memaksa guru dan dosen agar meningkatkan kinerja. Sebagai ujung tombak pendidikan, guru dan dosen memiliki posisi yang sangat menentukan. Harus disadari bahwa jantung pendidikan itu ada di kelas. Guru dan dosen merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap situasi di kelas. Karena itulah, kita sangat berharap pada perbaikan kinerja guru dan dosen agar mutu pendidikan membaik. Tetapi, gaji dan tunjangan yang menghabiskan anggaran negara begitu besar ternyata belum dimanfaatkan guru dan dosen untuk meningkatkan kompetensinya. Mendikbud Mohammad Nuh pun mensinyalir bahwa sebagian besar gaji dan tunjangan para pahlawan tanpa tanda jasa itu banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif. Salah satu indikatornya dapat diamati dari belanja guru dan dosen tatkala menerima tunjangan sertifikasi. Jadi, jangan heran jika tunjangan sertifikasi dirupakan perabotan rumah tangga, pagar rumah, kendaraan, dan barangbarang konsumtif lain. Tunjangan profesi yang diterima guru dan dosen pada setiap bulan jarang yang dimanfaatkan untuk kepentingan membeli referensi mutakhir, laptop untuk menunjang pembelajaran, serta mengikuti pelatihan, dan forum-forum ilmiah guna meningkatkan kapasitasnya sebagai pendidik. Akibat itu, tambahan kesejahteraan berupa tunjangan profesi belum berdampak positif pada perbaikan mutu pendidikan nasional. Ini jelas menjadi ironi dari kebijakan pemerintah terkait tunjangan profesi pendidik. Untuk melihat posisi pendidikan nasional, tengoklah hasil survei Education for All (EFA) Global Monitoring Report yang dipublikasikan UNESCO pada 1 Maret 2011. Survei itu menempatkan indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-69 dari 127 negara. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Kamboja, dan Laos. Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sistem pendidikan yang dianggap terbaik di Asia ditempati Jepang. Sementara negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia adalah Finlandia. Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2012 juga mengonfirmasi rendahnya posisi pendidikan nasional. PISA menguji kemampuan siswa di tiga bidang yaitu matematika, membaca, dan sains. Survei PISA diikuti lebih dari 510.000 siswa usia 15 tahun di 65 negara. Hasilnya, di bidang matematika, Indonesia menduduki peringkat ke-64 atau hanya lebih tinggi satu tingkat dari Peru. Di bidang membaca, Indonesia berada di peringkat ke-60 atau setingkat di bawah Malaysia. Sedangkan untuk bidang sains, Indonesia berada di urutan ke- 64. Hasil survei ini semakin menegaskan posisi daya saing pendidikan nasional di level dunia. Di samping persoalan mutu pendidikan yang masih tertinggal dari negara lain, pendidikan nasional juga dikritik karena belum mampu melahirkan pribadi- pribadi yang berkarakter. Sebaliknya justru banyak kasus ketakjujuran saat ujian nasional (UN), tawuran antarpelajar, human trafficking, narkoba, seks bebas, dan korupsi, yang melibatkan insan terpelajar. Pendidikan juga direduksi sekadar sebagai tempat produksi ijazah (diploma mills). Padahal pendidikan seharusnya berorientasi untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan. Karena itulah, semua komponen bangsa harus bersinergi untuk menyiapkan generasi emas melalui pendidikan. Pendidikan harus terus dijadikan wacana setiap anak bangsa. Profesi guru juga harus diperkuat agar semakin menjadi pilihan. Cara inilah yang digunakan negara- negara maju untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Kita harus disadari bahwa pelajar hari ini adalah pemimpin masa depan. Untuk itu, pemerintah harus membuat roadmap yang berdimensi jangka panjang menuju pendidikan bermutu. Program jangka panjang pendidikan nasional harus dirumuskan dengan kajian yang mendalam dan berkelanjutan. Pelaksanaan Unas 2013 yang amburadul karena faktor mismanajemen harus menjadi pelajaran. Demikian juga kebijakan Kurikulum 2013 yang hingga tahap implementasinya masih menyimpan banyak masalah. Semua itu harus menjadi introspeksi pemerintah demi masa depan pendidikan nasional. Bukankah alokasi anggaran pendidikan sudah demikian besar? Asal tidak bermain-main dengan politik dan kekuasaan, pendidikan nasional pasti kian berdaya saing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar