Konferensi Tingkat
Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
akan berlangsung di Bali 3-6 Desember 2013. Untuk kesembilan kalinya masih
mengagendakan pembicaraan mengenai draf perjanjian perdagangan multilateral
bidang pertanian. Agenda tersebut merupakan kelanjutan dari Putaran Doha
yang telah di mulai sejak 2001.
Berlangsung lama,
rumit, alot, dan melelahkan karena menyangkut kepentingan yang sulit
dikompromikan. Di satu sisi ada kelompok negara maju dan eksportir
pertanian yang menghendaki akses pasar seluas-luasnya, berhadapan dengan
kelompok negara berkembang dan belum berkembang yang akan tergilas jika
perdagangan produk-produk pertanian diliberalisasi.
Untuk memperkuat
daya negosiasi menghadapi tekanan dan bujukan raksasa pertanian dalam
perundingan-perundingan, negara-negara berkembang mengonsolidasikan diri
dalam kelompok G- 33. Kelompok yang kini beranggota kan 46 negara--di
antaranya adalah Korea, India, dan Cina--ini dideklarasikan di Indonesia
pada 9 September 2003 menjelang KTM WTO di Cancun, Meksiko. Indonesia
sebagai negara yang berbasis agraria, dipercaya menjadi koordinator.
Pada prinsipnya,
kelompok ini menyatukan dirinya untuk bersikap dan bersuara secara kritis
terhadap dimasukkannya isu pertanian pada sistem perjanjian perdagangan
global. Negara-negara yang tergabung dalam G-33 meminta agar perjanjian
perdagangan yang terkait dengan komoditas perta nian diberlakukan secara
khusus dan berbeda (special and differential treatment/SDT).
Untuk menangkal
desakan pembukaan akses pasar yang seluas-luasnya, G-33 berupaya memperjuangkan
gagasan special product (SP) dan special safe guard mechanism (SSM).
SP dan SSM pada pokoknya adalah penggolongan produk pertanian sebagai
komoditas perdagangan khusus sehingga negara bo leh menetapkan
aturan-aturan dan pembatasan impor secara lebih "fleksibel".
Di sisi lain,
terkait dengan subsidi- subsidi yang oleh spirit perdagangan bebas dianggap
mendistorsi pasar, G-33 terus mengingatkan negara-negara maju untuk memangkas
subsidi-subsidi kepada para petani mereka. Subsidi yang besar telah membuat
para petani mereka mampu memproduksi berlimpah dengan harga lebih murah.
Tiga negara adidaya
di WTO, Uni Eropa memberikan subsidi 151 miliar dolar AS per tahun, AS 102
miliar dolar AS, dan Jepang 49 miliar dolar AS. Ilustrasi jelasnya, Uni
Eropa memberikan subsidi untuk setiap ekor sapi sebesar 2 dolar AS per hari.
Sedangkan, total subsidi pertanian negara-negara yang tergabung dalam
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencapai 320 miliar
dolar AS per tahun atau kurang lebih 1 miliar dolar AS per hari.
Bandingkan
kontrasnya, total anggaran pertanian Indonesia tahun 2013 hanya Rp 16,43
triliun atau 1,45 miliar do lar AS. Untuk 2014 bahkan akan turun menjadi
hanya Rp 15,5 triliun (1,37 miliar dolar AS). Dalam konstelasi WTO,
Indonesia menempati posisi yang unik. Di satu sisi Indonesia adalah
pemimpin kelompok G-33 yang pandangannya jelas kontra liberalisasi demi
melindungi produk pertanian dan nasib para petani kecilnya di dalam negeri.
Pada sisi lain, Indonesia juga bergabung dengan Cairns Group bersama
sejumlah negara yang mendefinisikan dirinya sebagai agricultural exporting countries yang justru sebaliknya
menghendaki liberalisasi.
Vision statement
Cairns Group sangat jelas merepresentasikan kepentingan dan pandangan
liberal dalam WTO. Mereka menghendaki akses pasar dengan menghilangkan
hambatan-hambatan tarif dan mendorong dihapuskannya support domestik dan subsidi ekspor. Bahkan AS sendiri sebagai
eksportir per tanian terbesar di dunia tidak berminat masuk ke dalam
kelompok ini.
Untuk mencoba
memahami posisi dan sikap Indonesia yang mendua dapat ditelusuri dari
kondisi perdagangan produk pertanian. Neracanya menunjukkan surplus.
Sebagai gambaran, ekspor produk pertanian Indonesia pada 2012 mengalami
surplus lebih dari 17 miliar dolar AS. Untuk tahun 2013 juga diproyeksikan
surplus 16,7 miliar dolar AS hingga 22,8 miliar dolar AS. Dari sini
Indonesia bangga dan mengelompokkan diri sebagai eksportir.
Sayangnya, surplus
neraca ekspor-impor itu ditopang hanya oleh komoditas perkebunan seperti
karet, sawit, kopi dan kakao. Pada bagian lain, Indonesia justru mengalami
defisit untuk subsektor tanaman pangan (4,44 miliar dolar AS), hortikultura
(1,16 miliar dolar AS), dan peternakan (1,67 miliar dolar AS) untuk tahun
2012. Untuk tahun 2013, periode Januari-Juli juga tercatat surplus 10,2
miliar dolar AS yang ditopang oleh subsektor perkebunan, namun untuk
subsektor pangan, hortikultura, peternakan defisit masing-masing 3,21
miliar dolar AS, 724 juta dolar AS, dan 1,28 miliar dolar AS.
Kondisi defisit
neraca perdagangan pangan menempatkan Indonesia sebagai nett
importerpangan. Realitas ini mau tidak mau mendorong Indonesia untuk
bergabung dengan kelompok G-33 yang perlu melindungi kepentingan ketahanan
pangan dan petani kecilnya.
Sikap dan posisi
Indonesia yang mendua tersebut sebenarnya sebuah komplikasi tersendiri yang
bisa jadi merepotkan dalam negosiasi. Dalam hal ini, pemerintah harus
secara serius mempertimbangkan untuk mengambil garis yang tegas agar tidak
gamang ketika memperjuangkan kepentingan pembangunan pertaniannya demi
ketahanan pangan.
Fokus pada G-33
adalah pilihan yang paling relevan jika bermaksud melindungi petani kecil
dan memantapkan keta hanan dan kemandirian pangan sebagai komoditas sensitif,
strategis, dan berdimensi luas menyangkut ekonomi, politik, martabat,
ketahanan, bahkan kedaulatan bangsa. Apalagi, secara khusus UU No 18 Tahun
2012 tentang Pangan telah menetapkan mandat baru yang mewajibkan negara
mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan bagi
setiap warganya. Untuk itu UU juga menegaskan pengakuan akan gagasan
kedaulatan pangan sebagai hak negara dan bangsa untuk secara mandiri
menentukan kebijakan dan sistem pangannya. Tentu tidak akan kedaulatan
dikompromikan di meja perundingan dagang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar