AKHIR
minggu lalu, nilai rupiah ditutup melemah mendekati Rp 12.000. Meski
menyatakan akan mengintervensi pasar, agaknya Bank Indonesia tak bisa
banyak diharapkan mampu dan mau menahan pelemahan nilai tukar.
Pertama,
amunisi intervensi tak terlalu memadai dengan cadangan devisa hanya sekitar
97 miliar dollar AS. Kedua, BI sudah berkali-kali menekankan pelemahan
nilai tukar terkait dengan masalah struktural ekonomi domestik, dan rupiah
akhir-akhir ini sudah mencerminkan nilai fundamentalnya.
Memang agak
kontradiktif, selama ini selalu dikatakan ”kondisi fundamental” perekonomian
kita baik. Indikatornya, angka pertumbuhan tinggi (sekitar 6 persen),
inflasi terjaga (sekitar 5 persen), rasio utang terhadap produk domestik
bruto (PDB) redah (sekitar 25 persen). Bandingkan dengan negara-negara di
kawasan Eropa yang tumbuh negatif, sementara Jepang dan Amerika Serikat
(AS) memiliki rasio utang lebih dari 100 persen terhadap PDB. Jika benar
fundamental ekonomi kita bagus, mengapa depresiasi rupiah termasuk yang
paling buruk, lebih dari 20 persen sejak awal tahun?
Selama ini ada kesalahan
konsepsi cukup mendasar, memahami fundamental ekonomi hanya dari kriteria
fiskal dan moneter. Karena itu, respons pelemahan rupiah juga terbatas pada
dua koridor tersebut. Selama ini koordinasi kebijakan moneter-fiskal sudah
terjadi dengan baik, ditandai dengan kompaknya Gubernur BI dan Menteri
Keuangan. Namun, jelas itu tidak cukup. Meski BI Rate sudah dinaikkan
menjadi 7,5 persen, rupiah tetap saja tertekan, dan BI sudah menunjuk
akarnya ada pada masalah struktural.
Transformasi struktural membutuhkan
kerangka kerja sama yang jauh lebih luas, dan pemerintah tak bisa hanya
direpresentasikan oleh Kementerian Keuangan saja.
Fundamental ekonomi
mencakup variabel yang sangat kompleks, tak sekadar lingkungan
makroekonomi. Laporan tahunan Forum Ekonomi Dunia tentang indeks daya saing
global bisa menjadi rujukan untuk menilai ”fundamental ekonomi” sebuah
negara. Perekonomian kita memang selalu dipuji karena dua indikator:
pasarnya yang besar serta lingkungan makro yang stabil. Namun, indeks daya
saing global memiliki 12 pilar penilaian. Masih ada 10 pilar lainnya, yang
selama ini nyaris tak menjadi fokus pemerintah.
Setiap tahun, masalah
infrastruktur, birokrasi, dan korupsi selalu disebut dengan urutan yang
berbeda-beda sebagai masalah paling serius oleh para investor dan pelaku
usaha. Dalam rilis terakhir, Laporan Daya Saing Global 2013-2014, masalah
korupsi menduduki peringkat teratas. Selain itu, masih ada sederet
indikator lain yang harus diperhatikan, seperti kualitas pendidikan,
kesehatan masyarakat, kondisi perburuhan, dan tingkat harapan hidup. Jika
mau lebih rinci lagi, berbagai indikator seperti kematian ibu melahirkan,
kematian anak balita, dan prevalensi pengidap penyakit tuberkulosis dan
HIV-AIDS menjadi ukuran kemampuan bersaing sebuah bangsa. Itu semua adalah
pekerjaan rumah yang selama ini cenderung diabaikan.
Apa korelasi nilai tukar
dengan daya saing global? Pelemahan rupiah akhir-akhir ini menunjukkan
buruknya daya saing kita terhadap pihak lain. Itulah mengapa berbagai
indikator neraca eksternal kita, mulai dari neraca perdagangan, transaksi
berjalan, serta neraca finansial dan modal terus mengalami defisit yang
cukup besar. Sudah sembilan triwulan transaksi berjalan kita mengalami
defisit, dan pada triwulan III tahun 2013 angkanya masih besar, sekitar 8,4
miliar dollar AS atau setara dengan 3,8 persen PDB.
Tak ada upaya instan
yang bisa dilakukan setelah instrumen kebijakan moneter-fiskal dikerahkan
untuk menenangkan pasar. Hal paling penting yang harus segera dilakukan
adalah menunjukkan komitmen memperbaiki berbagai masalah struktural
tersebut. Jika tidak, posisi kita dalam rantai produksi global akan terus
marjinal sehingga berbagai indikator neraca eksternal tak kunjung membaik.
Perekonomian kita tak lebih sebagai pasar yang begitu potensial dan
menggiurkan bagi siapa saja yang ingin mengeruk keuntungan hampir di semua
sektor usaha.
Tak ada strategi
industri yang dirancang untuk mengelola potensi pasar domestik, misalnya
dengan membangun industri dasar yang memproduksi bahan baku dan bahan
penolong di dalam negeri. Semuanya diserahkan kepada investor dan pelaku
pasar yang hanya fokus pada beberapa sektor, terutama yang bersifat
ekstraktif. Akibatnya, dinamika ekonomi kita begitu bergantung pada harga
komoditas primer di pasar dunia. Sudah sejak triwulan IV-2012, sektor
pertambangan tumbuh negatif akibat penurunan harga komoditas.
Meskipun nilai investasi
asing langsung masih tinggi, keberadaannya menyedot kebutuhan impor sangat
besar. Lebih dari 90 persen impor kita adalah bahan baku dan bahan
penolong. Jika investasi naik, pasti impor melonjak, sehingga defisit
membengkak. Itulah mengapa BI mematok pertumbuhan kredit 2014 sebesar 15-17
persen saja, supaya investasi menurun. Dilemanya, jika pertumbuhan kredit
menurun, investasi terkoreksi sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan
melambat. Itulah harga yang harus dibayar akibat kelemahan struktural
ekonomi kita.
Harga itu harus dibayar
terutama oleh penduduk yang sedang mencari pekerjaan serta yang masih
berada dalam kemiskinan. Karena setiap koreksi pertumbuhan ekonomi pasti
disertai dengan melemahnya kemampuan penyerapan tenaga kerja serta
pengentasan rakyat miskin. Tak ada jalan lain, kecuali menyelesaikan
masalah struktural, dan itu artinya harus melibatkan semua perangkat
kementerian yang ada, bukan Kementerian Keuangan saja. Sayangnya, seperti
kita ketahui bersama, tak banyak menteri yang masih bisa fokus pada
pekerjaannya menjelang Pemilu 2014 ini.
Tidak hanya rupiah yang
dipertaruhkan, tetapi juga nasib para pencari kerja dan penduduk miskin
yang sebenarnya membutuhkan stabilitas nilai tukar supaya perekonomian bisa
terus berekspansi. Di sisi lain, BI tak bisa terus-menerus memberi rapor
bagus, dengan cara menaikkan BI Rate, terutama untuk menarik modal asing,
kepada murid malas yang mengabaikan sekian banyak pekerjaan rumah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar