Moralitas
Pengharapan Natal
Aloys Budi Purnomo ; Rohaniwan, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan,
Tinggal di Semarang
|
KOMPAS,
24 Desember 2013
KEPRIHATINAN sosial, politik,
ekonomi, ekologis, dan interreligus masih menantang kita semua untuk
menghayati moralitas pengharapan di tengah kehidupan bersama. Siapa pun yang
merayakan Natal, terpikul di pundaknya imperatif mewujudkan moralitas
pengharapan!
Sejak Natal perdana hingga hari
ini, kelahiran Yesus Kristus secara tak terbantahkan menghadirkan moralitas
pengharapan, bukan saja bagi yang merayakan, melainkan juga bagi siapa pun
yang berkehendak baik.
Tuntutan mewujudkan moralitas
pengharapan Natal kian mendesak, mengingat zaman kita ditandai dengan
berbagai keprihatinan, terutama atas kehidupan sesama umat manusia.
Pesan Natal bersama yang
disampaikan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI) tahun ini menyebutkan sejumlah keprihatinan
seperti tindakan-tindakan intoleran yang mengancam kerukunan dalam berbagai
bentuk.
Di depan mata kita juga tampak
kerusakan alam seperti kurang peduli terhadap sampah, polusi, maupun dalam
bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap alam.
Hal yang juga masih terus
mencemaskan kita adalah kejahatan korupsi yang makin menggurita. Hal lain
yang juga memprihatinkan adalah lemahnya integritas para pemimpin bangsa.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa
integritas moral para pemimpin bangsa ini kian hari kian merosot.
Disiplin, kinerja, komitmen, dan
keberpihakan kepada kepentingan rakyat digerus oleh kepentingan politik
kekuasaan. Namun, kita bersyukur karena masih ada beberapa figur pemimpin
yang patut dijadikan teladan.
Meretas tirani ego
Aspek utama moralitas pengharapan
Natal adalah meretas tirani ego. Itu sebabnya Yesus Kristus lahir ke bumi,
bukan di istana raja atau di tempat elite; melainkan di kandang binatang dan
dibaringkan di palungan (Lukas 2:7).
Di tengah situasi muram, kita
bersyukur sebab masih menyaksikan spontanitas masyarakat mewujudkan moralitas
pengharapan dengan meretas tirani ego! Ada begitu banyak kehendak baik yang
masih mau merajut kerja sama dalam rangka mewujudkan persaudaraan sejati,
bahkan yang bersifat lintas iman, lintas budaya, dan lintas agama.
Kita mengakui bahwa di hamparan
keprihatinan yang tersebar di negeri ini terdapat pengalaman penderitaan.
Bahkan, seperti dituturkan JB Metz, sejarah umat manusia telah menjadi
sejarah penderitaan.
Di balik kisah kemenangan dan
penaklukan militer, kejayaan kebudayaan besar, dan penemuan-penemuan yang
mengagumkan, tersembunyi penderitaan yang menyertai semua kisah sukses.
Tidaklah mengherankan kalau kisah
sedih dan tragis para TKI, khususnya TKW, tidak pernah ditangani tuntas atas
nama keadilan dan kemanusiaan.
Demikian pula dengan para korban
kekerasan dan ketidakadilan yang terserak di seluas republik ini! Mereka
bukan bagian dari sejarah sukses, dus, tidak memiliki kepentingan historis!
Inilah sesat pikir yang masih menguasai elite politik dan penguasa kita.
Padahal, sesungguhnya, sebagaimana
diserukan Albert Nolan dalam Jesus
Today, Sprituality of Radical Freedom (2006:54), sejarah dari setiap
peperangan dan kekerasan selalu ”menyisakan” orang-orang yang terluka,
menjadi cacat, dilumat, dibunuh, dianiaya, direndahkan, dan dibiarkan mati di
parit-parit pertahanan.
Mutatis mutandis, hal yang sama
berlaku untuk setiap kekerasan dan ketidakadilan yang banyak terjadi di
negeri kita; termasuk perilaku koruptif para elite!
Globalisasi pengharapan
Dewasa ini, tumbuh kekuatan yang
sedang berkembang secara luar biasa cepat dan menegaskan fakta kehadiran
globalisasi pengharapan.
Globalisasi pengharapan itu
mewajah dalam kekuatan perdamaian, bela rasa, kesetaraan, dan keadilan. Ia
menjadi semacam gerakan perdamaian universal yang menyentuh realitas plural
tanpa membedakan latar belakang agama, etnis, suku, dan golongan.
Globalisasi pengharapan mekar
laksana bunga di musim semi dan mengembangkan solidaritas terhadap para
korban bencana, kekerasan, dan ketidakadilan!
Ini membenarkan pernyataan Renè
Girard, dalam bukunya I See Satan
Fall Like Lightning (2001:161-169) yang mengatakan, ”Sekarang ini, sejumlah
orang mulai mengalami perasaan-perasaan bela rasa pada semua korban di mana
pun mereka berada. Ketika sementara orang di dunia tidak menemukan bela rasa,
kita telah membuat bela rasa semakin mendunia!”
Bela rasa yang mengglobal tampak
dalam gerakan dan komunitas yang berjuang demi keadilan ekonomis,
keseimbangan ekologis, kesetaraan hak-hak asasi manusia, dan kerja sama
kehidupan bersama lintas iman. Mereka juga berjuang bagi hak anak-anak, kaum
perempuan, kaum minoritas tertindas, bahkan melawan neoglobalisasi liberal.
Bahkan, kendatipun pemrakarsa
globalisasi pengharapan itu hanya sekelompok kecil orang saja, meminjam
penuturan Arnold Toynbee, mereka akan menjadi ”minoritas kreatif” untuk masa
depan kehidupan umat manusia!
Cepat atau lambat, gerakan bersama
atas nama perdamaian, keadilan, bela rasa, dan hak-hak asasi manusia akan
meruntuhkan struktur-struktur kekuasaan dan dominasi ketidakadilan dan
menjadi gelombang implementasi moralitas pengharapan bagi kita.
Maka, perayaan Natal yang tidak
mengimplementasikan moralitas pengharapan hanya akan menjadi pepesan kosong
dan jauh dari pesan sejati kelahiran Yesus Kristus bagi umat manusia seluas
dunia sepanjang masa. Selamat Natal!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar