Meruntuhkan Dinasti
Korupsi
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 24 Desember 2013
Pada masa Orde Baru
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme hanya dilakukan oleh dinasti politik
yang dibangun oleh Soeharto dan kroninya.
Tetapi setelah reformasi, dinasti politik tidak lagi bertumpu pada kekuasaan di tingkat pusat, tetapi sudah mulai bergeser ke daerah. Muncullah istilah “dinasti korupsi” dengan sistem organisasi yang memonopoli pengerjaan proyek yang dibiayai APBN dan APBD. Mereka yang terlibat bukan hanya terikat kepentingan, melainkan berada dalam satu ikatan keluarga dengan membangun akses yang cenderung tertutup. Mereka juga bukan hanya membangun kekuatan politik dengan menyebar anggota keluarga di eksekutif dan legislatif, tetapi juga membuat perusahaan berbasis keluarga. Akibatnya, hampir semua proyek hanya ditangani oleh perusahaan keluarga dan kroninya. Makanya kita tidak heran jika salah satu dari mereka ditangkap, akan merembet pada anggota keluarga lain. Begitulah yang menimpa keluarga atau dinasti Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten yang ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi (MK). Ratu Atut juga diduga terlibat pada kasus pengadaan alat kesehatan (alkes). Sebelumnya adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana, lebih dahulu jadi tersangka lantaran tertangkap tangan memberikan suap kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus yang sama. Ketika Ratu Atut ditetapkan tersangka, dugaan bahwa adanya dinasti korupsi sudah mulai mendekati pembenaran. Keluarga yang satu terkait dengan proyek lainnya atau memiliki kepentingan yang sama untuk meraih kekuasaan. Jika salah satu ditangkap akan berefek domino pada yang lain. Itulah indikator dari “dinasti korupsi”, antara kasus yang satu terkait kasus lainnya, sehingga antaranggota keluarga saling terkait kalau ada yang dijadikan tersangka. Berbanding Lurus Sejak otonomi daerah, fenomena dinasti politik di sejumlah daerah semakin menguat. Dapat dilihat pada saat pemilihan kepala daerah yang mirip pesta politik keluarga. Mulai dari suami-istri, anak dan adik-kakak, kemenakan dan pamanbibi, sampai ayah-mertua ikut berebut kekuasaan. Realitas ini dikuatkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang mengidentifikasi 57 kepala daerah membangun dinasti politik, dan 40 di antaranya memenangi pilkada. Semakin menguatnya politik dinasti, ternyata berbanding lurus dengan meluasnya “dinasti korupsi”. Dinasti politik menjadi cikal bakal lahirnya dinasti korupsi di antara anggota keluarga yang berkuasa. Sistem yang seharusnya ditata untuk kepentingan rakyat, dimanipulasi ke arah personalisasi pertalian keluarga dan privatisasi untuk kepentingan sendiri. Semua sumber daya ekonomi dan politik yang mestinya untuk menyejahterakan rakyat disulap dan dimonopoli untuk kepentingan dinasti. Cengkeraman dinasti politik telah menjebak pemangku kekuasaan di luar dinasti untuk tunduk, karena tidak mampu melawan kekuatan mereka. Di dalamnya juga muncul politik transaksional agar kekuatan dinasti tetap terjaga. Makanya upaya KPK untuk meruntuhkan dinasti politik yang bermula di Banten, patut kita dukung. Kita butuh langkah yang pasti untuk menekan pertumbuhan dinasti politik lokal di daerah lain, tanpa melemahkan hak-hak politik yang berbasis hak asasi. Formula politik kekerabatan harus diwaspadai lantaran berpotensi mengakumulasi kekuasaan menjadi perilaku koruptif. Demokrasi tidak membatasi keterlibatan basis keluarga, tetapi harus diawasi agar tidak dimanipulasi yang menyebabkan demokrasi substansial melenceng dari akar moralitasnya. Harus diwaspadai bahwa siapa pun yang mengakumulasi kekuasaan yang berbasis kekerabatan akan cenderung menyalahgunakan kewenangan. Untuk menghambatnya, bukan persoalan gampang, butuh kerja serius karena kekuasaan berbasis dinasti juga diperoleh melalui proses demokrasi. Mereka ikut pemilihan kepala daerah, ikut pemilihan legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat, meski diperoleh dengan politik uang dan kekuatan kekuasaan. Makelar Proyek Dari berbagai pemberitaan media, diduga bahwa makelar proyek yang berasal dari dinasti penguasa begitu menentukan di lingkungan Provinsi Banten. Mereka begitu leluasa mengatur siapa saja yang bisa menjadi pemenang proyek berdasarkan kroni. Tidak sedikit orang-orang sakti di luar kekuasaan yang bisa memengaruhi pengambilan kebijakan penyelenggara negara. Siapa pemenang tender dan proyek apa saja yang akan dimenangkan, sudah berada di tangan makelar. Kekuatan dinasti politik yang berfungsi sebagai makelar proyek berperan sebagai penghubung dan pelobi. Mereka memiliki posisi tawar kuat lantaran adanya kedekatan kekerabatan dengan penentu kebijakan. Dalam kasus mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mencuat nama, seperti Ahmad Fathanah, Sengman, dan Bunda Putri. Terakhir kita dihebohkan dengan nama Bu (Ibu) Pur alias Sylvia Solehah sebagai sosok yang digambarkan mampu memengaruhi penentuan proyek. Munculnya sosok Bu Pur diungkap dalam kesaksian Mindo Rosalina bahwa Bu Pur yang disebut-sebut kepala rumah tangga Cikeas (kediaman Presiden SBY) turut berebut fulus proyek Hambalang. Mindo yang bernaung di bawah perusahaan Nazaruddin mengaku mundur dari megaproyek Hambalang lantaran Bu Pur lebih “sakti” bermain di proyek pengadaan peralatan olahraga senilai Rp1,3 triliun. Rongrongan lingkaran dinasi kekuasaan pada akhirnya akan membuat kekuasaan menjadi distorsif sekaligus koruptif. Maka itu, langkah KPK yang berupaya meruntuhkan dinasti korupsi yang dimulai di Provinsi Banten tidak boleh tanggung. Harus tuntas dan tidak berhenti hanya di Banten. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar