Pepatah mengatakan, "Memikat beruk dengan makanan, memperdaya manusia dengan janji
muluk-muluk". Binatang memang gampang ditipu dengan makanan,
bahkan yang buas sekalipun. Tapi manusia, meski sering kena tipu, tetap
saja mudah takluk oleh iming-iming. Manusia juga cepat terpesona oleh
janji-janji, sehingga akhirnya teperdaya hingga lupa diri.
Janji
manis itulah yang kini bertebaran. Lihatlah di sepanjang jalan raya,
perkampungan, pantai, pegunungan, dan di gang-gang kecil. Di setiap sudut
terpampang aneka plakat calon legislator. Para caleg itu begitu berhasrat
untuk dikenal banyak orang.
Caleg
inkumben malah lebih bersemangat. Mereka membuat beragam baliho, jauh lebih
mencolok dibanding yang dipasang caleg baru. Pantas saja banyak baliho
bertebaran karena hampir 90 persen dari 507 politikus Senayan periode
2009-2014 mencalonkan diri kembali. Bagi caleg baru, mungkin karena
modalnya mepet, cukup membuat poster mungil yang ditempel di pohon, tiang
listrik, serta pagar rumah.
Tapi
kelakuan caleg kawakan atau baru, baik di kota maupun di desa, sama saja.
Semuanya menawarkan janji manis: adil, merakyat, mensejahterakan, jujur,
dan berbakti. Bahkan ada yang dengan gagah menyebut dirinya anti-korupsi.
Mereka
tak peduli bahwa janjinya dulu banyak yang tak terwujud. Mereka juga
tak mau tahu jika pamfletnya melanggar Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 15 Tahun 2013 tentang Kampanye Pemilu DPR, DPD dan DPRD,
yang melarang caleg mengkampanyekan dirinya.
Aneh
jika Panitia Pengawas Pemilu tak sanggup mengatasi berbagai pelanggaran
ini. Apalagi, ada baliho yang sempat mencelakakan orang. Belum lama ini,
tak jauh dari tempat saya tinggal, di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan,
sebuah baliho setinggi tiang listrik ambruk menimpa pejalan kaki. Umpatan
pun mengalir deras kepada pemilik foto dalam baliho itu.
Hebatnya,
sang pemilik baliho, meski tahu, tetap tak peduli. Dia malah menyuruh orang
memasangnya kembali. Inilah contoh perilaku caleg yang tak bertanggung
jawab. Heran juga, mereka bisa lolos seleksi di tingkat partai.
Masyarakat
Transparansi Indonesia sudah mengusulkan perlunya memperketat seleksi
caleg. Langkah ini penting untuk memperbaiki mutu legislator di daerah
ataupun di Senayan. Syarat itu meliputi kompetensi, integritas, dan
komitmen caleg terhadap masyarakat yang akan diwakili.
Harta
melimpah justru tidak diutamakan. Yang penting, kekayaan mereka wajar
sesuai dengan profesi, ditambah bebas narkotik, tidak suka main ke klub
malam, dan tidak mengganggu istri/suami orang. Mereka juga tidak boleh
berpoligami serta tidak suka melanggar hukum, terutama melakukan korupsi.
Kenyataannya
memang lain. Seorang teman caleg dari Jawa Timur mengakui bahwa kriteria
caleg versi partai sangat lentur. Kemampuan finansial menjadi faktor utama.
Sebagai caleg untuk DPR RI, dia harus menyediakan uang sedikitnya Rp 2
miliar. Uang ini, selain untuk mencetak poster, digunakan buat menemui
konstituen hingga membayar pertugas di lokasi pemungutan suara saat
pencoblosan. Saya tahu persis, berdasarkan pekerjaannya, teman saya ini
tidak punya potongan memiliki duit cash sebanyak itu.
Saya
kira, dari 6.608 caleg DPR dan ribuan caleg di daerah yang siap menyambut
Pemilu 2014, tak semuanya seperti teman saya ini. Karena itu, kita mesti
jeli melihat mana caleg berkualitas dan mana yang pintar mengumbar
propaganda. Kita bukan beruk yang mudah ditipu dengan ucapan, apalagi
makanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar