“INI bukan Jakarta. Ini Delhi,” batin saya di tengah deru
tuk-tuk (semacam bajaj) dan jerit klakson yang membelah jalan-jalan gersang
dan berdebu. Saat menatap bus-bus kusam dan mobil tua yang seperti berlomba
melaju kencang, saya membayangkan Jakarta di era 1970-an. Ketika itu, geliat
modernitas masih mewujud dalam segelintir gedung mewah. Mobil-mobil
mengilap pun belum melimpah ruah. Di Delhi ini, entah mengapa, kemiskinan
tampil lebih nyata jika dibandingkan dengan di Jakarta. Gedung-gedung tua
teronggok mirip reruntuhan, tetapi menampung sekian keluarga. Kuil tempat
peribadatan kusam seperti terabaikan. Trotoar ialah toilet umum raksasa
sehingga bau urine begitu saja menguar. Sungguh tak terbayangkan, negara
berkembang berpopulasi padat ini menghasilkan pemenang Hadiah Nobel seperti
Rabindranath Tagore, Amartya Sen, dan Subrahmanyan Chandrasekhar. Tak
ternalar juga bagaimana industri perfi lman Bollywood dan teknologi
informasi di Bangalore melambungkan nama negara yang sedang berjuang
mengentaskan rakyat dari kemiskinan ini.
India ialah negara yang sarat
kontradiksi. Di sebuah taman kota yang juga melingkupi Indira Gandhi Centre
of Arts, di sebuah Sabtu siang akhir November lalu, saya melihat wajah
India yang lain. Saya merasakan gairah yang dipancarkan ratusan, bahkan
mungkin ribuan, pasang mata anak dan orang dewasa yang datang
berduyun-duyun yang seperti tak sabar ingin bertemu sesuatu yang telah lama
mereka tunggu. Nama gairah itu ialah rasa ingin tahu dan kecintaan terhadap
buku.
Saya mendapat kehormatan menjadi
bagian dari seratus pembicara mancanegara dalam Festival Sastra Anak
Bookaroo di New Delhi. Bersama seorang penulis buku anak Indonesia, Eva
Nukman, tugas kami sebagai pembicara tidaklah mudah. Kami harus
menghidupkan buku. Di hadapan anak-anak yang antusias dan terlihat
menyimpan banyak pertanyaan di benak mereka, tugas itu terasa semakin
mendebarkan. Lihatlah ketika mereka berebut mengacungkan tangan untuk
bertanya kepada Cornelia Funke, penulis beberapa novel bestseller seperti
Inkheart, Inkspell, dan Thief Lord, yang sudah difilmkan produsen
Hollywood.
Pertanyaan pertanyaan kritis
seperti, “Apakah bad writing itu
menurut Anda?“ menggiring diskusi kepada topik seperti bahwa penulis
yang baik tidak akan menulis sesuatu hanya untuk menyenangkan pasar, untuk
membuat buku yang laku dan dibaca banyak orang, apalagi sekadar mendapatkan
label bestseller.
Di pojok lain,
di bawah pohon rindang, Rukhsana Khan, penulis muslim asal Kanada, menjawab
pertanyaan dan berdiskusi tentang bagaimana mengangkat topik-topik sensitif
seperti diskriminasi ras, agama, dan pencarian identitas diri dalam cerita.
Rasanya saya tak percaya topik-topik semacam itu didiskusikan secara
artikulatif dengan pembaca berusia 10 hingga 12 tahun yang, jika ditilik
dari seragam sekolah dan penampilan mereka, berasal dari beragam kalangan
di sana.
Kerumitan di India
Antusiasme seperti itu menjalari
taman kota yang luas itu. Di sebuah pojok yang agak terik, anak-anak
berusia 6-10 tahun berebut menuangkan imajinasi mereka tentang If only I
could fly di sebidang kertas seukuran tembok di bawah arahan ilustrator
Jepang Naomi Kojima. Sementara itu, saya dan Eva memilih audiens berumur
8-10 tahun. Kami membacakan buku karya Eva yang bercerita tentang musik
tradisional Indonesia; angklung, saluang, gamelan, dan sasando, yang ribut
memperdebatkan siapakah di antara mereka yang paling hebat. Kami lalu
membagikan angklung kepada audiens dan mengajak mereka memainkan nya.
Di
penghujung acara, guru-guru dari beberapa sekolah menghampiri kami dan
bertanya apakah kami mau mengunjungi sekolah-sekolah mereka dan melakukan
hal yang sama. Mereka sedang tidak berbasa-basi. Kecintaan mereka terhadap
buku, pengetahuan, dan literasi telah membuat saya membungkukkan badan
dalam-dalam kepada bangsa ini.
Dalam hitungan angka, prestasi
literasi India sesungguhnya tidak sebaik Indonesia. Pada 2011, tingkat
kemelekhurufan negara ini hanya sebesar 74%, jauh di bawah tingkat
rata-rata dunia yang mencapai 84% (pada tahun yang sama, Indonesia sudah di
atas 90%). Dalam sorotan diskriminasi gender dan perkosaan yang marak
akhir-akhir ini di India, kesenjangan tingkat kemelekhurufan antara
laki-laki dan perempuan menjadi isu yang serius. Itu tentu menambah
kerumitan masalah fasilitas pendidikan yang tidak merata, rasio guru dan
murid yang tidak memadai, kekerasan terhadap murid di sekolah, juga
kurikulum yang dianggap kuno karena masih menitikberatkan pada rote learning (teknik menghafalkan
materi dengan pengulangan). Dengan semua kompleksitas itu, saya melihat dua
elemen akan dapat mengentaskan rakyat dari masalah pendidikan di negara ini
dengan segera. Dua elemen itu ialah murahnya harga buku--yang terwujud
karena intervensi pemerintah--dan peran aktif kelas menengah India dalam
gerakan literasi. Dua upaya itu mampu menjadikan kecintaan terhadap buku dan
pengetahuan sebagai spirit gerakan reformasi pendidikan di India.
Beberapa tahun belakangan, India
menjadi pasar potensial penerbit-penerbit di negara Barat. Sekitar 60% outsourcing internasional
penerbit-penerbit di negara Barat dilakukan di India. Penerbit-penerbit
besar seperti Penguin dan Putnam memiliki rekanan di negara itu. Outsourcing itu tentunya tidak
dilakukan tanpa alasan. Hingga 2011, statistik mencatat bahwa pembelian buku
melonjak secara eksponensial, dengan lonjakan tertinggi dialami genre fiksi
(49%), nonfiksi (36%), dan buku anak (27%). Kegemaran membaca terjadi di
semua umur.
Sebanyak seperempat dari populasi remaja di bawah usia 17 tahun
mengidentifikasi diri mereka sebagai `kutu buku'. Kemampuan berbahasa
Inggris orang India mungkin ditengarai sebagai salah satu faktor yang memudahkan
mereka untuk menyerap buku-buku berkualitas yang diterbitkan negara-negara
Barat. Namun, sesungguhnya, persentase penduduk yang bisa berbahasa Inggris
hanya mencapai sekitar 10% dari seluruh populasi. Selain itu, upaya
penerjemahan buku ke bahasa Hindi pun terjadi secara intensif. Jadi,
penguasaan bahasa Inggris tidak selalu relevan dengan kegemaran membaca.
Harga murah
Upaya kelas menengah India dalam
gerakan literasi terasa menonjol dengan kehadiran penerbit seperti Pratham
Books dan Tara Books.
Pratham Books memproduksi buku anak berbahasa Inggris dengan kualitas bagus
dan mendistribusikannya dengan harga murah (seharga sekitar 25 Rs atau
sekitar Rp5 ribu) ke daerah-daerah terpencil di India.
Tara Books memproduksi buku-buku
anak dengan cita rasa seni yang tinggi dengan mengakomodasi kekayaan budaya
lokal. Penerbit itu dikenal telah menjadi langganan kompetisi sastra anak
internasional. Dua penerbit ini tentu `layak' dipersandingkan dengan
kebanyakan penerbit di Indonesia yang cenderung menerbitkan buku-buku yang
cepat diserap pasar untuk bisa bertahan.
Kegemaran membaca tidak mungkin
tumbuh tanpa upaya. Kelas menengah di India tampaknya paham sepenuhnya
bahwa literasi tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca dan memahami
teks. Literasi, dalam upaya menciptakan keterkaitan antara diri dan teks,
dan usaha membangun analisis kritis dalam proses memahami teks, telah
berhasil dihidupkan festival sastra seperti Bookaroo dan Jaipur Litfest
yang terkenal itu. Dalam festival-festival ini, buku tidak hanya
dipamerkan, dipajang di rak-rak kaku, atau ditimbun dalam kotak besar
bertuliskan `obral'. Buku tidak hanya dipromosikan lewat acara jumpa
penulis dan diskusi buku.
Di festival seperti ini, penulis
tidak hanya menceritakan proses kreatif dan semua hal baik hanya untuk
membuat buku yang ditulisnya layak dibeli. Dalam kegiatan literasi yang
dialogis, buku adalah teks yang tidak pernah final. Penulis harus memiliki
kebesaran hati untuk menyajikan karakter, kisah yang ditulisnya, dan
membiarkan pembaca menginterpretasi, mengkritisi, dan menuntaskannya.
Penulis menyempurnakan kemampuan menulisnya dengan berinteraksi dan
mendapatkan masukan dari pembaca, bahkan mereka yang masih sangat muda,
seperti di Bookaroo ini. Dengan kompleksitas masalah pendidikan, kurikulum
yang dianggap terlalu membebani, dan kemiskinan yang mendera, setidaknya
anak-anak India memiliki buku-buku bermutu yang begitu dekat dan menjadi
sahabat yang mengasah daya kritis serta menghibur mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar