|
Jajaran baju cokelat bakal memiliki komandan baru,
Komisaris Jenderal (Pol) Sutarman. Komisi III DPR telah memberi persetujuan
kepada Sutarman untuk menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo yang
segera memasuki masa pensiun.
Setumpuk tugas berat kini menanti Sutarman, salah satunya, dan boleh jadi yang terpenting, adalah reformasi Polri. Reformasi Polri merupakan pekerjaan rumah yang diwariskan secara estafet setiap terjadi pergantian orang nomor satu Polri. Program reformasi Polri ini telah memasuki tahun ke-14. Sejak dicanangkan pada Hari Bhayangkara ke-53, 1 Juli 1999, atau di zaman kapolri dijabat Dibyo Widodo, telah terjadi berapa kali pergantian pucuk pimpinan, tapi pekerjaan rumah terbesarnya tetap sama: reformasi Polri.
Banyaknya perilaku oknum anggota Polri yang melanggar hukum, seperti melakukan penganiayaan atau penyiksaan, menunjukkan reformasi di tubuh Polri belum berjalan mulus. Apalagi, pelanggaran hukum di kepolisian tak hanya melibatkan jajaran bawah, tapi juga jajaran atas seperti kasus korupsi yang menyeret jenderal bintang tiga Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Persoalan besar lainnya adalah lemahnya kinerja Polri di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada fungsi ini, polisi ini lebih terlihat sebagai ”pemadam kebakaran”, bukan mengedepankan polisi sebagai aparat yang melakukan cegah dini atau tindakan preventif.
Sosok Polisi Idaman
Melihat penampilan calon saat uji kelayakan dan kepatutan, Kamis (17/10) lalu, ada satu yang perlu dicermati, yaitu visi mewujudkan postur Polri sebagai sosok penolong, pelayan, dan sahabat masyarakat, serta penegak hukum yang jujur, benar, adil, transparan, dan akuntabel. Ini visi yang ideal, walau jelas bukan pemikiran baru. Itu sosok Polri yang diamanatkan oleh konstitusi.
Sesuai pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polrimerupakanpemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus penegak hukum, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Tugas dan fungsi yang sangat luhur dan mulia, tapi di sisi lain sulit dan berat. Semua calon kapolri, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR, menyatakan komitmennya mempercepat proses reformasi internal. Penulis sudah lima kali melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon kapolri, yaitu Da’i Bachtiar, Sutanto, Bambang Hendarso Danuri, Timur Pradopo, dan yang terbaru adalah Sutarman.
Performa Sutarman, dibandingkan empat pendahulunya, kurang lebih seimbang, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Tapi, sebenarnya, yang lebih penting adalah implementasinya. Bambang Hendarso Danuri, misalnya, tampil cukup meyakinkan dengan program akselerasi transformasi Polri menuju Polri yang mandiri, profesional, dan dipercaya masyarakat.
Akan tetapi, pelaksanaannya kurang berhasil. Timur Pradopo punya program pembenahan kinerja reserse dengan program ”Keroyok Reserse”, tapi hasilnya juga kurang terlihat. Yang visi-misi dan pelaksanaannya relatif bagus, adalah Sutanto, kapolri yang dikenal karena sikap tegas dan antikomprominya dalam memerangi perjudian, narkoba, dan premanisme. Nah, kita berharap Sutarman bisa mengikuti jejak Sutanto, visi yang bagus, dan realisasi yang memuaskan.
Kita berharap Sutarman, yang sudah mendapat persetujuan bulan dari sembilan fraksi di DPR, akan mencatatkan sejarah dengan merealisasikan percepatan reformasi birokrasi. Ya, realisasi. Sebab program dan tahapan reformasi itu praktis sudah ada, tinggal soal implementasinya. Kajiannya sudah lengkap, tinggal eksekusinya. Dengan reformasi internal diharapkan tidak ada lagi kasus seperti rekening gendut Labora Sitorus, seorang Brigadir Kepala yang simpanan uangnya mencapai Rp1,5 triliun.
Tantangan Itu
Dalam uji kelayakan dan kepatutan, Sutarman memaparkan 12 program prioritas. Kedua belas program prioritas itu di antaranya pengamanan Pemilu 2014, meningkatkan penuntasan kasus korupsi dengan koordinasi KPK dan Kejaksaan Agung, serta penanggulangan terorisme termasuk penembakan terhadap anggota. Selain itu, Sutarman juga memiliki visi membebaskan negara ini dari konflik vertikal dan horizontal dalam menjaga jalannya pemerintahan.
Ini juga visi yang tepat karena salah satu kelemahan kinerja Polri adalah dalam bidang perlindungan terhadap pelaksanaan kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya masing-masing dari ancaman kekerasan pihak lain. Di atas kertas, program prioritas Sutarman sudah cukup bagus, walau mungkin lebih efektif kalau bisa lebih difokuskan mana program yang benar-benar jadi prioritas. Tapi, kini, yang lebih penting, bagaimanaprogramprioritasitudiwujudkan, dan bagaimana komitmen dipegang dan dilaksanakan. Tugas lain adalah bagaimana meningkatkan kinerja Polri.
Ini tantangan yang unik bagi Sutarman karena kinerjanya akan kembali dibandingkan dengan kinerja Timur Pradopo. Ini ketiga kalinya Sutarman menggantikan jabatan Timur. Sebagai pengganti Timur untuk memimpin Polda Jawa Barat, kemudian Polda Metro Jaya, Sutarman disebut-sebut tidak memiliki prestasi menonjol. Ini kesempatan terakhirnya guna mematahkan anggapan itu. Tantangan berikutnya bisa jadi ajang pembuktian diri buat Sutarman. Ia digugat keberpihakannya pada gerakan pemberantasan karena dianggap sebagai pihak yang sempat ”mempersulit” KPK dalam penanganan kasus korupsi Korlantas.
Sutarman harus membuktikan dirinya punya komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi dan siap bersinergi dengan KPK. Terkait pengamanan Pemilu 2014, Polri harus bersikap independen dan netral. Sutarman, meminjam istilah kolega penulis saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR, harus menjadi Superman atau manusia super, dan tidak malah jadi Setirman atau bisa dikendalikan.
Ini karena potensi gangguan keamanan dalam Pemilu 2014 cukup besar, misal potensi konflik garagara kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Dan kemungkinan intervensi, terutama dari pihak pemegang kekuasaan, pun besar pula. Karena itu, jadilah Superman, Sutarman, bukan Setirman! ●
Setumpuk tugas berat kini menanti Sutarman, salah satunya, dan boleh jadi yang terpenting, adalah reformasi Polri. Reformasi Polri merupakan pekerjaan rumah yang diwariskan secara estafet setiap terjadi pergantian orang nomor satu Polri. Program reformasi Polri ini telah memasuki tahun ke-14. Sejak dicanangkan pada Hari Bhayangkara ke-53, 1 Juli 1999, atau di zaman kapolri dijabat Dibyo Widodo, telah terjadi berapa kali pergantian pucuk pimpinan, tapi pekerjaan rumah terbesarnya tetap sama: reformasi Polri.
Banyaknya perilaku oknum anggota Polri yang melanggar hukum, seperti melakukan penganiayaan atau penyiksaan, menunjukkan reformasi di tubuh Polri belum berjalan mulus. Apalagi, pelanggaran hukum di kepolisian tak hanya melibatkan jajaran bawah, tapi juga jajaran atas seperti kasus korupsi yang menyeret jenderal bintang tiga Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Persoalan besar lainnya adalah lemahnya kinerja Polri di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada fungsi ini, polisi ini lebih terlihat sebagai ”pemadam kebakaran”, bukan mengedepankan polisi sebagai aparat yang melakukan cegah dini atau tindakan preventif.
Sosok Polisi Idaman
Melihat penampilan calon saat uji kelayakan dan kepatutan, Kamis (17/10) lalu, ada satu yang perlu dicermati, yaitu visi mewujudkan postur Polri sebagai sosok penolong, pelayan, dan sahabat masyarakat, serta penegak hukum yang jujur, benar, adil, transparan, dan akuntabel. Ini visi yang ideal, walau jelas bukan pemikiran baru. Itu sosok Polri yang diamanatkan oleh konstitusi.
Sesuai pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polrimerupakanpemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus penegak hukum, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Tugas dan fungsi yang sangat luhur dan mulia, tapi di sisi lain sulit dan berat. Semua calon kapolri, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR, menyatakan komitmennya mempercepat proses reformasi internal. Penulis sudah lima kali melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon kapolri, yaitu Da’i Bachtiar, Sutanto, Bambang Hendarso Danuri, Timur Pradopo, dan yang terbaru adalah Sutarman.
Performa Sutarman, dibandingkan empat pendahulunya, kurang lebih seimbang, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Tapi, sebenarnya, yang lebih penting adalah implementasinya. Bambang Hendarso Danuri, misalnya, tampil cukup meyakinkan dengan program akselerasi transformasi Polri menuju Polri yang mandiri, profesional, dan dipercaya masyarakat.
Akan tetapi, pelaksanaannya kurang berhasil. Timur Pradopo punya program pembenahan kinerja reserse dengan program ”Keroyok Reserse”, tapi hasilnya juga kurang terlihat. Yang visi-misi dan pelaksanaannya relatif bagus, adalah Sutanto, kapolri yang dikenal karena sikap tegas dan antikomprominya dalam memerangi perjudian, narkoba, dan premanisme. Nah, kita berharap Sutarman bisa mengikuti jejak Sutanto, visi yang bagus, dan realisasi yang memuaskan.
Kita berharap Sutarman, yang sudah mendapat persetujuan bulan dari sembilan fraksi di DPR, akan mencatatkan sejarah dengan merealisasikan percepatan reformasi birokrasi. Ya, realisasi. Sebab program dan tahapan reformasi itu praktis sudah ada, tinggal soal implementasinya. Kajiannya sudah lengkap, tinggal eksekusinya. Dengan reformasi internal diharapkan tidak ada lagi kasus seperti rekening gendut Labora Sitorus, seorang Brigadir Kepala yang simpanan uangnya mencapai Rp1,5 triliun.
Tantangan Itu
Dalam uji kelayakan dan kepatutan, Sutarman memaparkan 12 program prioritas. Kedua belas program prioritas itu di antaranya pengamanan Pemilu 2014, meningkatkan penuntasan kasus korupsi dengan koordinasi KPK dan Kejaksaan Agung, serta penanggulangan terorisme termasuk penembakan terhadap anggota. Selain itu, Sutarman juga memiliki visi membebaskan negara ini dari konflik vertikal dan horizontal dalam menjaga jalannya pemerintahan.
Ini juga visi yang tepat karena salah satu kelemahan kinerja Polri adalah dalam bidang perlindungan terhadap pelaksanaan kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya masing-masing dari ancaman kekerasan pihak lain. Di atas kertas, program prioritas Sutarman sudah cukup bagus, walau mungkin lebih efektif kalau bisa lebih difokuskan mana program yang benar-benar jadi prioritas. Tapi, kini, yang lebih penting, bagaimanaprogramprioritasitudiwujudkan, dan bagaimana komitmen dipegang dan dilaksanakan. Tugas lain adalah bagaimana meningkatkan kinerja Polri.
Ini tantangan yang unik bagi Sutarman karena kinerjanya akan kembali dibandingkan dengan kinerja Timur Pradopo. Ini ketiga kalinya Sutarman menggantikan jabatan Timur. Sebagai pengganti Timur untuk memimpin Polda Jawa Barat, kemudian Polda Metro Jaya, Sutarman disebut-sebut tidak memiliki prestasi menonjol. Ini kesempatan terakhirnya guna mematahkan anggapan itu. Tantangan berikutnya bisa jadi ajang pembuktian diri buat Sutarman. Ia digugat keberpihakannya pada gerakan pemberantasan karena dianggap sebagai pihak yang sempat ”mempersulit” KPK dalam penanganan kasus korupsi Korlantas.
Sutarman harus membuktikan dirinya punya komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi dan siap bersinergi dengan KPK. Terkait pengamanan Pemilu 2014, Polri harus bersikap independen dan netral. Sutarman, meminjam istilah kolega penulis saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR, harus menjadi Superman atau manusia super, dan tidak malah jadi Setirman atau bisa dikendalikan.
Ini karena potensi gangguan keamanan dalam Pemilu 2014 cukup besar, misal potensi konflik garagara kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Dan kemungkinan intervensi, terutama dari pihak pemegang kekuasaan, pun besar pula. Karena itu, jadilah Superman, Sutarman, bukan Setirman! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar