Rabu, 23 Oktober 2013

Perppu Penebus Dosa

Perppu Penebus Dosa
Donal Fariz  ;   Anggota Badan Pekerja ICW Divisi Korupsi Poliik
KOMPAS, 23 Oktober 2013


PRESIDEN SBY akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU tentang Mahkamah Konstitusi sebagai respons atas tertangkapnya Ketua MK (non-aktif) Akil Mochtar atas dugaan suap penanganan sengketa pilkada.
Terbitnya Perppu tentang MK menghadirkan banyak pro dan kontra dari sejumlah pihak. Ada yang setuju, ada yang tidak. Beberapa teori ketatanegaraan bisa dipakai untuk melihat kondisi MK apakah berada dalam keadaan darurat atau tidak sehingga memaksa diterbitkannya perppu. Namun, dengan sejumlah sengketa pilkada ataupun pengujian UU yang sedang diproses MK yang tengah dalam keadaan ”sakit”, baik dari sisi kelembagaan maupun kepercayaan, harus ada tindakan cepat dan tepat untuk menyembuhkannya.
Kenapa harus cepat? Karena setiap putusan MK punya dampak dan konsekuensi meluas. Jika putusan MK di sebuah sengketa pilkada terlahir karena faktor suap, dampaknya akan dirasakan seluruh masyarakat dalam ruang lingkup kabupaten/ kotamadya/provinsi tertentu. Dengan demikian, warga akan dipimpin seorang kepala daerah yang lahir dari hasil korupsi.
Bahkan, tidak hanya terkait sengketa pilkada, jika suap terjadi dalam ruang lingkup pengujian UU, dampaknya akan dirasakan lebih luas lagi, yakni oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pasal-pasal yang dibatalkan atau dipertahankan karena pengaruh suap tentu akan memengaruhi hidup hajat orang banyak. Pada titik inilah kondisi keadaan memaksa bisa ditunjukkan sebagai musabab lahirnya perppu.
Dampak yang luas, dan potensi permasalahan di depan mata sudah cukup menggambarkan urgensi lahirnya perppu. Sebagai acuan adalah lahirnya Perppu No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tahun 2008. Apakah 2008 negara ini dilanda krisis? jawabannya tidak. Oleh karena itu, diskursus seharusnya sudah bergeser pada konteks substansi perppu untuk menakar apakah secara substansi perppu ini sudah menjawab berbagai persoalan yang terjadi di MK. Tak hanya soal darurat atau bukan karena hanya akan buang energi dan kian membuat MK kehilangan legitimasi publik.
Akar masalah
Berkaca pada kasus yang menyeret Akil Mochtar, setidaknya ada tiga isu krusial di MK saat ini. Apakah tiga persoalan ini sudah dijawab di perppu? Pertama, ramainya politisi di MK. Salah satu dampak menguatnya parlemen (executive heavy) dan parpol pasca-amandemen UUD 1945 adalah menyebarnya politisi di berbagai lembaga negara, tak terkecuali MK. Politisi memang bukan ”makhluk tercela”, tetapi banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi membuat kepercayaan publik hilang. Bahkan, masyarakat jadi apatis karena maraknya politisi pragmatis.
Dengan kondisi demikian, perppu ini memberikan limitasi seorang calon hakim MK harus sudah ”pensiun” dari partai setidaknya selama tujuh tahun sebelumnya. Seorang calon hakim yang hanya berhenti sesaat sebelum menjadi hakim konstitusi patut dicurigai membawa misi partai mereka ke dalam MK.
Putusan MK pun akan kental aroma politik sehingga lama-kelamaan tiang pengawal konstitusi akan lapuk oleh penghuninya sendiri. Batasan waktu ini adalah pilihan moderat karena sesungguhnya tidak menjadikan seorang bekas politisi dalam daftar larangan menjadi hakim.
Kedua, tidak transparannya proses seleksi. Hal ini dapat dilihat dari terpilihnya Akil Mochtar dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi. Akil terpilih untuk periode kedua setelah yang bersangkutan setuju memperpanjang masa jabatan sehingga DPR tidak melakukan proses seleksi kembali. Sementara Patrialis ”sekonyong-konyong” menjadi hakim konstitusi tanpa proses uji kelayakan dan pembentukan tim seleksi sehingga akses masyarakat untuk memberikan masukan dan catatan lenyap.
Perppu ini kemudian mengatur pembentukan panel ahli yang akan melakukan uji kelayakan hakim konstitusi. Panel ini berasal dari sejumlah unsur, yakni MA, DPR, presiden, dan unsur luar yang dipilih Komisi Yudisial. Dengan adanya panel ini, kekuasaan MA, DPR, dan presiden untuk memilih hakim konstitusi bisa dikontrol dan diawasi.
Ketiga, ketiadaan pengawasan. Sejak KY ”dilarang” mengawasi hakim konstitusi, praktis lembaga ini menjadi tak terawasi. Gerak-gerik hakim menjadi leluasa. Ada yang dengan mudah mengikuti hajatan partai tanpa sadar posisi mereka saat menjadi hakim. Di sisi lain, ketiadaan instrumen pengawasan membuat hakim konstitusi pun kebingungan jika mendapat laporan pelanggaran rekan sejawatnya. Tengok saja pernyataan salah satu hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang pernah beberapa kali mendapatkan sms dan telepon soal Akil. Hakim Maria justru menunjukkan sms tersebut kepada Mahfud MD, bahkan kepada Akil sendiri. Hal ini menunjukkan memang selama ini tidak ada saluran untuk melanjutkan dan memproses laporan masyarakat.
Pengawasan
Dengan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat permanen, setidaknya bisa menjawab kekosongan pengawasan ini. Walaupun di satu sisi positif, lembaga pengawasan tersebut ke depan harus hati-hati jangan sampai menjadi ”pelampiasan sakit hati” bagi pihak yang kalah berperkara di MK. Dilihat secara jernih, perppu tersebut sebenarnya sudah mencoba menyelesaikan beberapa persoalan di MK. Tinggal saat ini komitmen politik DPR untuk menerima tawaran perbaikan di dalam perppu tersebut.
Meskipun perppu ini positif secara substansi, publik tentu tak akan lupa ihwal kesalahan presiden dalam menetapkan Patrialis sebagai hakim konstitusi karena tanpa prosedur transparan dan partisipatif. Barangkali melalui perppu ini, presiden sepertinya tengah mencoba ”menebus dosa” kesalahan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar